Dalam kehidupan sosial, ada kebiasaan yang sulit dihapus, menilai seseorang dari masa lalunya. Entah itu kesalahan moral, pelanggaran hukum, atau sekadar reputasi lama yang tak sempat diperbaiki, masa lalu sering diperlakukan sebagai identitas permanen. Padahal, manusia sejatinya bukan makhluk statis. Ia tumbuh, berubah, dan belajar melalui pengalaman, termasuk dari kesalahannya sendiri.
Pertanyaan mendasarnya, apakah kesalahan di masa lalu harus selalu menjadi beban di masa kini? Secara normatif, masyarakat sering menjawab "ya", dengan alasan keadilan dan kehati-hatian. Namun dalam konteks kemanusiaan dan keagamaan, jawabannya tidak sesederhana itu. Islam, misalnya, menempatkan tobat sebagai jalan pemulihan eksistensial. Dalam QS. Az-Zumar ayat 53, Tuhan menegaskan bahwa semua dosa dapat diampuni selama manusia tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Artinya, di hadapan Tuhan, perubahan bukan hanya mungkin tetapi juga dihargai.
Masalah muncul ketika masyarakat tidak berjalan seirama dengan prinsip tersebut. Mantan narapidana yang telah menjalani hukuman, misalnya, sering tetap diperlakukan sebagai "penjahat" meskipun secara hukum mereka telah menebus kesalahan. Fenomena ini menunjukkan ketimpangan antara keadilan legal dan keadilan sosial. Hukum negara menuntaskan perkara dengan hukuman, sedangkan masyarakat memperpanjangnya melalui stigma. Akibatnya, proses reintegrasi sosial menjadi berat, dan kesempatan untuk berubah benar-benar terbatas.
Dalam sejarah Islam, terdapat figur-figur yang justru membalik persepsi ini. Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid, misalnya, adalah contoh bagaimana manusia dapat melampaui masa lalunya. Umar yang dahulu keras dan terlibat dalam praktik jahiliah berubah menjadi pemimpin yang adil. Khalid yang sempat memerangi umat Islam kemudian menjadi panglima besar yang dijuluki Saifullah al-Maslul (Pedang Allah yang Terhunus). Dua nama ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap seseorang seharusnya lebih berpijak pada kondisi dan kontribusi setelah perubahan, bukan pada kesalahan yang telah berlalu.
Namun, pandangan semacam ini bukan berarti meniadakan tanggung jawab moral terhadap masa lalu. Perubahan yang sejati selalu lahir dari kesadaran, bukan sekadar pengakuan verbal. Tobat, dalam pengertian Islam maupun etika sosial, menuntut tiga hal: pengakuan atas kesalahan, penyesalan yang tulus, dan usaha nyata untuk memperbaiki diri. Di sinilah ruang moral masyarakat dibutuhkan, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mengawasi dan memberi kesempatan.
Jika masyarakat terus mengurung seseorang di balik citra masa lalunya, maka yang lahir bukanlah keadilan, melainkan dendam yang disamarkan sebagai moralitas. Padahal, salah satu ciri peradaban yang matang ialah kemampuannya memisahkan antara hukuman dan stigma, antara evaluasi dan penghukuman ulang.
Islam sendiri memberi teladan keseimbangan itu. Nabi Muhammad SAW pernah ditegur oleh Allah dalam QS. 'Abasa, karena secara tidak sengaja mengabaikan seorang buta yang ingin belajar. Ayat ini mengingatkan bahwa bahkan seorang Nabi pun diajari untuk memperbaiki sikapnya. Jika Nabi masih diberi ruang untuk koreksi dan perubahan, mengapa manusia biasa tidak?
Pada akhirnya, memandang manusia dari siapa dirinya hari ini bukan berarti menghapus sejarahnya, tetapi mengakui bahwa masa lalu tidak selalu menjadi takdir. Mungkin di sekitar kita ada seseorang yang sedang berjuang keluar dari masa lalunya, seseorang yang kita pandang sebelah mata karena catatan lama yang sudah selesai. Kita hanya perlu sedikit keberanian moral untuk melihat mereka dengan mata yang baru.
Seperti firman Allah dalam QS. Thaha ayat 130: "Maka bersabarlah engkau atas apa yang mereka katakan..." mungkin kalimat itu bukan hanya penghiburan bagi orang yang berubah, tetapi juga peringatan bagi kita semua agar tidak terlalu cepat menghakimi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI