Â
Istilah 'honorer' sesungguhnya menyimpan ironi mendalam dalam tubuh birokrasi Indonesia. Secara hukum, istilah ini tidak pernah memiliki pijakan kuat, tetapi dalam praktik, ia justru menjadi instrumen vital dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tenaga honorer hadir menambal kekurangan sumber daya manusia di berbagai instansi, namun keberadaan mereka sekaligus menyingkap paradoks birokrasi: dibutuhkan, tetapi tak sepenuhnya diakui.
Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah tenaga non-ASN mencapai 1,23 juta orang. Dari angka itu, 1,09 juta diusulkan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), sementara 140 ribu lainnya dibiarkan menggantung tanpa kepastian.
Ironisnya, laporan DPR memperkirakan jumlah sebenarnya bisa mencapai 5,6 juta jika memasukkan aspirasi masyarakat. Kesenjangan data ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cermin rapuhnya tata kelola birokrasi, yang membuka ruang manipulasi sekaligus menunjukkan lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah.
Secara etimologis, kata 'honorer' berasal dari kata Latin honor yang berarti "kehormatan" atau "penghargaan." Jejaknya masih bisa kita temukan dalam istilah akademik honoris causa yang diberikan sebagai gelar kehormatan, atau dalam kata honorarium yang berarti "imbalan jasa". Bahkan dalam bahasa Inggris modern, honor  tetap berasosiasi dengan 'martabat', 'penghargaan', dan 'nilai luhur'.
Namun dalam praktik birokrasi Indonesia, makna luhur itu mengalami distorsi menyakitkan. Kata yang semestinya melambangkan penghargaan kini berubah menjadi penanda status kerja serba timpang: tanpa jaminan, tanpa kepastian, dan tanpa perlindungan. Pergeseran makna ini bukan sekadar soal bahasa, tetapi simbol bagaimana birokrasi memelintir kata untuk melegitimasi ketidakadilan struktural.
Secara sosial, tenaga honorer menempati kasta terbawah dalam hierarki birokrasi. Mereka bekerja berdampingan dengan ASN, tetapi diperlakukan dengan standar berbeda. Ketimpangan itu paling telak tampak pada profesi guru honorer.
Di ruang kelas, mereka memikul beban sama beratnya dengan guru ASN: mengajar, membimbing, bahkan membentuk karakter generasi muda. Namun penghargaan yang diterima nyaris tak sepadan. Banyak guru honorer hanya menerima gaji ratusan ribu rupiah per bulan: angka yang bahkan tak cukup untuk ongkos hidup dasar.
Kisah-kisah tragis derita mereka bertebaran. Di pelosok, seorang guru honorer bisa digaji Rp300 ribu per bulan, tak cukup untuk ongkos transportasi apalagi kebutuhan keluarga. Ada yang harus berjalan kaki berjam-jam menuju sekolah, tetap dituntut profesional, menyusun perangkat pembelajaran, hadir rapat, hingga mendampingi siswa dalam lomba. Semua kewajiban ASN melekat pada mereka, tetapi hak-hak dasar tetap diabaikan.
Ketidakadilan itu diperburuk oleh praktik nepotisme dalam rekrutmen dan ketidakseragaman kebijakan antarinstansi. Guru honorer di daerah terpencil lebih terjepit: fiskal daerah yang terbatas membuat peluang mereka diangkat sebagai PPPK semakin kecil. Sistem birokrasi yang seharusnya berbasis merit justru melanggengkan diskriminasi.