Akhir-akhir ini, timeline sosial media saya sedang diramaikan oleh sebuah tren : "Rp 10 ribu di tangan istri yang tepat". Merujuk pada konten-konten ringan tentang seorang istri yang mampu "menyulap" uang sepuluh ribu rupiah menjadi menu makanan keluarga yang terlihat lezat dan dibuat dengan penuh cinta.
Entah konten dibuat dalam kondisi sebenarnya atau hanya untuk lucu-lucuan, namun banyak juga warganet yang menanggapinya dengan rasa kagum setengah tak percaya. Hebat sekali ya perempuan, in this economy, ternyata masih bisa mengubah uang dengan nominal kecil menjadi bagian dari suatu kebahagiaan rumah tangga.
Tapi di balik kekaguman itu, ada sesuatu yang menggelitik saya, benarkah ini potret romantisme kehidupan rumah tangga, atau justru cermin kekerasan finansial yang diam-diam berkuasa?
Realita Rp 10 Ribu di Bandung
Gara-gara tren ini, saya jadi kepo dengan realita Rp 10 ribu di Kota Bandung, tempat saya tinggal saat ini. Dapat apa sih uang segini?Â
Saya biasa belanja kebutuhan di pasar tradisional. Tadi pagi (4/10) saya cek, harga beras kualitas medium Rp 12.000/kg ,minyak goreng curah (bukan kemasan bermerk) Rp 15.500/liter, telur ayam Rp 27.000/kg, sayur lokal seperti kangkung/bayam rata-rata Rp 2.000 seikat dan tempe ukuran kecil Rp 4000.
Dengan daftar harga tersebut, maka Rp 10 ribu di tangan saya "cuma" bisa dapat beras kg dan 1 papan tempe atau 2 butir telur. Dengan kondisi 4 orang anggota keluarga dengan 2 batita, sangat sulit menyiapkan menu masakan dengan gizi lengkap. Belum lagi kalau kita bicara gasnya, bumbu dapurnya...
Kondisi demikian sudah menggambarkan perekonomian yang dihadapi banyak rumah tangga saat ini. Biaya hidup naik, sementara daya beli masyarakat kian merosot. Di tengah situasi semacam ini, mengidealkan kemampuan seorang istri "menghidupi keluarga" dengan Rp 10.000 tak bisa lagi dianggap pujian, namun sudah jadi bentuk penyangkalan terhadap realita ekonomi yang kian menekan.
Romantisme dalam Rumah Tangga yang Hangat Namun Sesat
Perempuan Indonesia masih hidup dalam budaya yang menuntutnya untuk selalu "berhemat" dan "berkorban". Masyarakat kita masih menilai sosok istri idaman yang pandai mengelola finansial keluarga sebagai simbol kesetiaan dan ketangguhan domestik.
"Istri yang baik itu bisa bikin hemat suami!" ucap orang-orang yang lumrah saya dengar. Kedengarannya seperti pujian yang manis sekali, padahal aslinya semacam menaruh beban moral besar bagi perempuan.