Menilik Ulang Makna Cinta dan Uang
Setiap rumah tangga pasti punya "lagu"nya sendiri untuk bertahan di tengah ekonomi yang tidak ramah ini. Ada yang tetap tertawa dalam keterbatasan, ada yang bungkam demi meredam badai persoalan.
Masalahnya, diam tak selalu berarti setuju dan hemat tidak sama artinya dengan bahagia. Dalam banyak kisah yang jarang disampaikan, kemampuan berhemat yang ekstrem seringkali lahir dari rasa takut dianggap gagal. Gagal jadi istri dan ibu yang baik, juga gagal memenuhi ekspektasi dan standar orang banyak.
Tren Rp 10 ribu di Tangan Istri yang Tepat bisa jadi pengingat, tentang kreativitas yang berbaur dengan ketangguhan perempuan. Namun ia juga jadi cermin yang memantulkan fakta, bagaimana masyarakat kita masih begitu pekat menormalisasi ketidakadilan peran gender.
Hemat, harus pintar mengatur dan senantiasa bersyukur adalah bagian istri, sementara keputusan finansial besar hampir selalu hanya di tangan suami.
Barangkali, sudah saatnya romantisme rumah tangga dimaknai ulang. Bukan pengorbanan sebelah pihak, namun lebih kepada kolaborasi dua insan yang setara.
Istri tak perlu lagi dipuji karena masih bisa mencukupkan diri dengan Rp 10 ribu, namun justru dihargai kejujurannya ketika dia berani berucap pada suaminya, "Sayang, maaf. Tapi ini tidak cukup untuk kebutuhan kita. Mari kita pikirkan bersama jalan keluarnya."
Karena di sanalah ada kesempatan membuat cinta tumbuh. Bukan dari siapa yang paling banyak berkorban atau paling lama bertahan, namun dari siapa yang lebih mau mendengarkan.
Kesetaraan finansial dalam rumah tangga tidak harus berarti pembagian nominal yang sama, tapi bagaimana bisa punya pembagian kendali yang seimbang. Uang bukanlah alat uji cinta, namun sarana untuk meningkatkan rasa aman bagi keduanya.
Tren Rp 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat mungkin lahir dari niat baik, atau sebatas sarana hiburan buat lucu-lucuan. Namun kita bisa belajar lebih jauh, bahwa ada sudut pandang yang bisa kita ubah. Sekarang ini bukan lagi zamannya seberapa kuat perempuan beradaptasi dengan kekurangan, namun seberapa kuat dan berani pasangan saling menopang dalam kasih, hormat, dan kesetaraan.
Karena pada akhirnya, rumah tangga bukanlah tentang selembar uang keunguan di tangan yang tepat, namun tentang dua tangan yang saling menggenggam menaklukkan badai dunia sampai maut memisahkan.