Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tren Rp 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat, Romantisme atau Kekerasan Finansial Terselubung?

5 Oktober 2025   00:59 Diperbarui: 5 Oktober 2025   01:00 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rp 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat (dokpri) 

Akhir-akhir ini, timeline sosial media saya sedang diramaikan oleh sebuah tren : "Rp 10 ribu di tangan istri yang tepat". Merujuk pada konten-konten ringan tentang seorang istri yang mampu "menyulap" uang sepuluh ribu rupiah menjadi menu makanan keluarga yang terlihat lezat dan dibuat dengan penuh cinta.

Entah konten dibuat dalam kondisi sebenarnya atau hanya untuk lucu-lucuan, namun banyak juga warganet yang menanggapinya dengan rasa kagum setengah tak percaya. Hebat sekali ya perempuan, in this economy, ternyata masih bisa mengubah uang dengan nominal kecil menjadi bagian dari suatu kebahagiaan rumah tangga.

Tapi di balik kekaguman itu, ada sesuatu yang menggelitik saya, benarkah ini potret romantisme kehidupan rumah tangga, atau justru cermin kekerasan finansial yang diam-diam berkuasa?

Realita Rp 10 Ribu di Bandung

Gara-gara tren ini, saya jadi kepo dengan realita Rp 10 ribu di Kota Bandung, tempat saya tinggal saat ini. Dapat apa sih uang segini? 

Saya biasa belanja kebutuhan di pasar tradisional. Tadi pagi (4/10) saya cek, harga beras kualitas medium Rp 12.000/kg ,minyak goreng curah (bukan kemasan bermerk) Rp 15.500/liter, telur ayam Rp 27.000/kg, sayur lokal seperti kangkung/bayam rata-rata Rp 2.000 seikat dan tempe ukuran kecil Rp 4000.

Dengan daftar harga tersebut, maka Rp 10 ribu di tangan saya "cuma" bisa dapat beras kg dan 1 papan tempe atau 2 butir telur. Dengan kondisi 4 orang anggota keluarga dengan 2 batita, sangat sulit menyiapkan menu masakan dengan gizi lengkap. Belum lagi kalau kita bicara gasnya, bumbu dapurnya...

Kondisi demikian sudah menggambarkan perekonomian yang dihadapi banyak rumah tangga saat ini. Biaya hidup naik, sementara daya beli masyarakat kian merosot. Di tengah situasi semacam ini, mengidealkan kemampuan seorang istri "menghidupi keluarga" dengan Rp 10.000 tak bisa lagi dianggap pujian, namun sudah jadi bentuk penyangkalan terhadap realita ekonomi yang kian menekan.

Romantisme dalam Rumah Tangga yang Hangat Namun Sesat

Perempuan Indonesia masih hidup dalam budaya yang menuntutnya untuk selalu "berhemat" dan "berkorban". Masyarakat kita masih menilai sosok istri idaman yang pandai mengelola finansial keluarga sebagai simbol kesetiaan dan ketangguhan domestik.

"Istri yang baik itu bisa bikin hemat suami!" ucap orang-orang yang lumrah saya dengar. Kedengarannya seperti pujian yang manis sekali, padahal aslinya semacam menaruh beban moral besar bagi perempuan.

Romantisme semacam ini kerap membuat istri merasa harus selalu kuat, padahal aslinya sudah kelewat lelah lahir batin menambal kebutuhan yang tidak pernah cukup.

Tentu tak ada salahnya menjadi istri yang hemat. Masalahnya penghematan yang banyak terjadi ini kerap lahir dari keterpaksaan. Suara istri seperti dibungkam karena tidak diberi akses dan keleluasaan untuk mengatur keuangan keluarga. Dan di sinilah, romantisme itu berubah jadi tekanan tak tertahankan.

Perempuan --para istri khususnya-- perlu punya kemampuan untuk bisa membedakan cinta yang menumbuhkan dengan cinta yang mengekang. Jangan sampai tersesat. Cinta sejati bukanlah omong kosong yang memuja kemampuan menahan lapar. Cinta adalah tentang berkembang bersama dalam kesetaraan.

Kekerasan Finansial Terselubung

Sering luput menjadi perhatian banyak perempuan, kekerasan tidak selalu berwujud pada fisik. Ada yang bentuknya begitu samar, kerap terjadi dan punya dampak sama beratnya terhadap diri perempuan, yakni kekerasan finansial. 

Kekerasan finansial biasanya terjadi ketika salah satu pihak (umumnya suami) mengontrol, membatasi, juga mengendalikan penuh finansial keluarga tanpa memberi ruang dialog untuk pasangannya.

Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2024 mengungkap, terjadi 507.259 kasus kekerasan terhadap perempuan Indonesia sepanjang tahun 2023. Dari angka tersebut, kekerasan dalam ranah rumah tangga menyumbang angka tertinggi. Bentuknya beragam, bisa kekerasan fisik, seksual, mental, juga finansial.

Meski yang disebut terakhir seringkali tidak terdata secara eksplisit, namun banyak laporan yang menyebut perempuan kerap tidak punya akses ke pendapatan keluarga atau dilarang bekerja.

Berbeda dengan kekerasan fisik yang bisa tampak "heboh", kekerasan finansial bisa hadir dalam wujud paling sederhana bahkan dianggap biasa saja. Misalnya suami yang memberi nafkah pas-pasan, tapi menuntut meja makan harus selalu penuh. Atau melarang istri mengakses rekening bersama. Versi lebih parah, ada suami yang marah dan melarang istrinya bekerja, namun dia sendiri tidak menafkahi dengan layak.

Ini hal sepele yang sering terjadi di sekitar kita, namun berdampak sangat besar bagi perempuan. Perlahan namun pasti, istri jadi merasa kehilangan otonomi, kepercayaan diri, juga kesempatan untuk menentukan arah hidup sendiri.

Saat "uang di tangan istri" dianggap simbol tanggung jawab namun tanpa kekuasaan, maka di situlah cinta dan romantisme berubah menjadi kontrol. Dan itulah wujud sebenarnya kekerasan terselubung yang sangat kerap terjadi, namun jarang disadari, bahkan oleh mereka yang mengalaminya sendiri.

Menilik Ulang Makna Cinta dan Uang

Setiap rumah tangga pasti punya "lagu"nya sendiri untuk bertahan di tengah ekonomi yang tidak ramah ini. Ada yang tetap tertawa dalam keterbatasan, ada yang bungkam demi meredam badai persoalan.

Masalahnya, diam tak selalu berarti setuju dan hemat tidak sama artinya dengan bahagia. Dalam banyak kisah yang jarang disampaikan, kemampuan berhemat yang ekstrem seringkali lahir dari rasa takut dianggap gagal. Gagal jadi istri dan ibu yang baik, juga gagal memenuhi ekspektasi dan standar orang banyak.

Tren Rp 10 ribu di Tangan Istri yang Tepat bisa jadi pengingat, tentang kreativitas yang berbaur dengan ketangguhan perempuan. Namun ia juga jadi cermin yang memantulkan fakta, bagaimana masyarakat kita masih begitu pekat menormalisasi ketidakadilan peran gender.

Hemat, harus pintar mengatur dan senantiasa bersyukur adalah bagian istri, sementara keputusan finansial besar hampir selalu hanya di tangan suami.

Barangkali, sudah saatnya romantisme rumah tangga dimaknai ulang. Bukan pengorbanan sebelah pihak, namun lebih kepada kolaborasi dua insan yang setara.

Istri tak perlu lagi dipuji karena masih bisa mencukupkan diri dengan Rp 10 ribu, namun justru dihargai kejujurannya ketika dia berani berucap pada suaminya, "Sayang, maaf. Tapi ini tidak cukup untuk kebutuhan kita. Mari kita pikirkan bersama jalan keluarnya."

Karena di sanalah ada kesempatan membuat cinta tumbuh. Bukan dari siapa yang paling banyak berkorban atau paling lama bertahan, namun dari siapa yang lebih mau mendengarkan.

Kesetaraan finansial dalam rumah tangga tidak harus berarti pembagian nominal yang sama, tapi bagaimana bisa punya pembagian kendali yang seimbang. Uang bukanlah alat uji cinta, namun sarana untuk meningkatkan rasa aman bagi keduanya.

Tren Rp 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat mungkin lahir dari niat baik, atau sebatas sarana hiburan buat lucu-lucuan. Namun kita bisa belajar lebih jauh, bahwa ada sudut pandang yang bisa kita ubah. Sekarang ini bukan lagi zamannya seberapa kuat perempuan beradaptasi dengan kekurangan, namun seberapa kuat dan berani pasangan saling menopang dalam kasih, hormat, dan kesetaraan.

Karena pada akhirnya, rumah tangga bukanlah tentang selembar uang keunguan di tangan yang tepat, namun tentang dua tangan yang saling menggenggam menaklukkan badai dunia sampai maut memisahkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun