Menyingkap Tirai Realitas: Sebuah Ulasan Buku "Tafsir Sosial Atas Kenyataan"
Arif Ardiansyah
Kita sering kali beranggapan bahwa realitas itu sesuatu yang ya, apa adanya. Bangun tidur di pagi hari, lalu minum kopi, melihat matahari terbit, dan menjalani hari dengan keyakinan penuh bahwa dunia ini adalah seongok fakta yang tak bisa diganggu gugat. Tapi, bagaimana kalau keyakinan ini sendiri adalah ilusi terbesar yang pernah kita ciptakan? Pertanyaan inilah yang dengan berani diangkat oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam karya besar mereka, The Social Construction of Reality, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi "Tafsir Sosial Atas Kenyataan" dengan pengantar dari Frans M. Parera. Ini bukan sekadar buku teori sosiologi biasa; ia seperti pandangan lain yang memaksa kita melihat ulang bagaimana pondasi masyarakat dibangun, dan tentu saja, bagaimana kita memahami apa itu "kenyataan" itu sendiri.
Inti dari teori konstruksi sosial, yang menjadi tulang punggung buku ini, sebenarnya cukup sederhana tapi dampaknya luar biasa: realitas yang kita anggap normal atau objektif, sejatinya adalah hasil bentukan sosial yang kita ciptakan bersama melalui interaksi dan kesepakatan. Artinya, apa yang kita anggap "nyata" hari ini, dulunya mungkin hanyalah sebuah ide atau kebiasaan yang kemudian mengeras menjadi sebuah aturan tak tertulis.
Untuk memudahkan kita mencerna gagasan besar ini, Berger dan Luckmann membaginya menjadi tiga pilar utama yang saling terkait:
1. Eksternalisasi
Pikirkan ini sebagai langkah pertama, yang paling mendasar. Kita sebagai manusia, dengan segala ide dan perilaku kita, tidak hanya menerima dunia apa adanya. Sebaliknya, kita memproyeksikan diri kita ke dalamnya. Lewat tindakan dan pikiran, kita "mencurahkan" ide, nilai, dan bahkan kebiasaan kita ke lingkungan sekitar. Kita bukan penonton pasif; kita adalah pencipta makna.
Sederhananya, jika tak ada yang pernah "menciptakan" atau "membentuk" sesuatu, maka tak akan ada masyarakat seperti yang kita kenal. Buku ini dengan baik menunjukkan bahwa kehidupan sehari-hari kita itu penuh dengan eksternalisasi, mulai dari obrolan ringan di warung kopi sampai proses besar pembentukan sebuah institusi. Kita terus-menerus menciptakan pola dan makna dalam dunia kita, dan ini adalah awal dari segalanya.
2. Dari Ide Menjadi "Fakta": Objektivasi
Nah, setelah ide atau pola itu "dikeluarkan" (eksternalisasi), ia mulai perlahan mengeras dan menjadi "objektif." Maksudnya, ide itu seperti mendapat nyawa sendiri, seolah-olah sudah ada dari dulu, terpisah dari siapa pun yang menciptakannya. Ini terjadi karena ide atau pola tersebut terus-menerus diulang dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Poin pentingnya di sini adalah: apa yang awalnya cuma ide manusia, lambat laun terasa seperti "fakta" atau "kenyataan" yang berdiri sendiri di luar diri kita. Proses ini sering sekali terjadi melalui institusionalisasi, di mana kebiasaan atau cara melakukan sesuatu menjadi terstruktur dan mapan dalam masyarakat. Misalnya, antrean mau bayar di supermarket; dulu mungkin cuma ide agar tertib, tapi kini jadi norma yang kita ikuti tanpa pikir panjang.