Ketika Pojok Baca Rakyat Tumbuh, Nurani Pejabat Mandek
Di gang-gang sempit perkotaan dan halaman sekolah di pelosok desa, pojok baca tumbuh dari bawah, dibangun dengan semangat gotong royong, rak kayu bekas, dan buku sumbangan. Anak-anak duduk bersila, membaca dongeng, komik edukatif, atau buku sejarah lokal. Di sekolah-sekolah, reading corner mulai menggantikan poster bertuliskan "Dilarang Berisik", kini diganti dengan ajakan: "Mari Dengarkan Dunia Lewat Buku."
Namun, di sisi lain, di gedung-gedung megah kementerian dan dinas daerah, ruang rapat ber-AC penuh jadwal, tapi ruang baca nyaris tak ada. Rak buku (jika ada) lebih sering berdebu, berisi laporan tahunan yang tak pernah dibuka, atau buku protokoler yang hanya dipajang saat kunjungan tamu VIP. Literasi kelembagaan berhenti pada angka survei: 73,52%. Angka yang indah di atas kertas, tapi tak menyentuh nurani kebijakan.
Inilah jurang yang menganga:
Rakyat membaca untuk memahami hidup.
Pejabat (jika membaca) sering kali hanya membaca untuk membenarkan keputusan.
Literasi yang Tak Berjiwa: Ketika Angka Menggantikan Empati
Indeks Pembangunan Literasi memang naik. Tapi apakah kenaikan itu membuat seorang pejabat lebih peka ketika rakyatnya keracunan karena program pangan yang buruk? Apakah angka 73,52% membuat seorang menteri berhenti sejenak, lalu bertanya: "Apa yang sebenarnya dirasakan rakyat di balik data ini?"
Kasus Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan menuai kritik karena dugaan kontaminasi logam berat dengan jenis-jenis makanan tertentu adalah cermin nyata dari krisis literasi empatik di kalangan birokrat. Daripada mendengarkan jeritan orang tua yang anaknya sakit, respons awal justru defensif: "Program ini sudah sesuai SOP." "Pasti ada yang sabotase." "Kalau hanya satu kasus, berarti ada 99% yang berhasil."
Alih-alih membuka ruang evaluasi berbasis nurani, yang muncul adalah pembelaan proyek, bukan perlindungan terhadap nyawa. Apakah proyek nasional tidak bisa direvisi dan dibatalkan sekalipun itu memakan rakyatnya sendiri?
Di sinilah letak kegagalan literasi kelembagaan:
Literasi diukur dari akses, bukan dari kemampuan mendengar.
Dari jumlah buku, bukan dari kedalaman refleksi.
Dari laporan tahunan, bukan dari tangisan di dapur rakyat.
(olahan GemAIBot, dokpri)
Mengapa Kementerian Perlu Pojok Baca yang Berbeda?
Pojok baca di kementerian tidak boleh sama dengan pojok baca di taman kota. Ia harus menjadi ruang transformatif, tempat di mana pejabat tidak hanya mengonsumsi data, tapi mengolah empati.
Berikut jenis bacaan yang harus diutamakan di setiap pojok baca instansi pemerintah: Pertama, Psikologi Pelayanan Publik. Buku seperti "The Service Revolution in Government" (Janet Denhardt) atau "Human-Centered Government" mengajarkan bahwa pelayanan bukan transaksi, tapi relasi. Pejabat belajar bahwa warga bukan "objek kebijakan", tapi subjek yang punya martabat.