Algoritma medsos, kadang membuat saya terkaget-kaget. Saya pernah follow, akun teman baik saat awal merantau di Jakarta. Kami pernah satu kantor dan ngekost di tempat yang sama, sampai beliau resign balik kampung halaman.
Tidak lama setelah follow, akun kawan-kawan di kantor yang sama bermunculan. Pada teman-teman yang dulu terhubung, satu per satu nongol di beranda medsos. Menjadi akun direkomendasikan medsos, untuk saya ikuti.
Alhasil saya ketemu lagi, teman yang pernah ngeselin ngerebut prospekan iklan. Ada akun atasan, kerap membela saya kalau dinakali marketing lain. Ada juga akun perempuan pernah saya taksir, sekaligus rival saat menaksir orang yang sama.
Dan tak kelewatan ikut juga nimbrung, akun orang yang pernah pinjam uang. Dua puluh tahun lebih berlalu, uang dipinjam tak kunjung dibayarkan. Saya benar-benar kehilangan kontak, kehilangan cara menghubungi.
Nama akun digunakan berbau agamis, mengikuti nama asli yang saya kenal dari lama. Saya tetap bisa mengenali, dari foto dipasang di profil. Dan jujurly saya baru merasakan, betapa rasa Ikhlas itu timbul tenggelam.
Ketika bertahun-tahun tidak berkomunikasi, saya telah belajar merelakan uang itu. Istilah kata, dibalikin syukur tidak dibalikin ya sudahlah. Apalagi ketika sedang banyak tabungan, keinginan menagih diurungkan.
Tetapi ketika pengutang muncul, bersamaan keuangan sedang kurang baik. Rasa kesal kembali mencuat, ingat uang yang belum dikembalikan. Saya tergelitik untuk kepo, stalking dan menelisik medsos pengutang.
Sebagus apapun postingannya, tidak mempengaruhi reputasi telah terbentuk. Meski postingannya bernuansa dakwah, bertabur quote pengingat kebaikan dan dipanggil akhi atau abi atau abu. Jejak keburukan pernah ditorehkan, tidak luntur seketika.
Melalui DM saya mengingatkan utang, sampai hari ini belum dibalas. Padahal pengutang terlihat akfif, pernah like konten video saya. Saya semakin tidak bersimpati, semakin tidak hormat kawan lama ini.
Sebagaimana pelaku kebaikan, yang akan diingat sepanjang masa oleh penerimanya. Pun utang yang teringkari, menjadi jejak buruk tak lekang waktu.