Lihat ke Halaman Asli

Ade Sansuniar

Wiraswasta

Wisuda Sekolah Era '80 (Mungkin) Nggak Ada

Diperbarui: 7 Mei 2025   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kelulusan sekolah ( sumber: Gemini AI)

Jika Anda adalah bagian dari generasi yang menempuh bangku sekolah dasar atau menengah pada era 1980-an, mungkin Anda akan sepakat bahwa kata "wisuda" belum familiar dalam budaya kelulusan sekolah saat itu. Tidak ada toga, tidak ada prosesi resmi, tidak ada panggung mewah dengan fotografer profesional yang menangkap momen "haru" dan "bangga" menyerahkan ijazah simbolis. Kelulusan? Itu hanya pengumuman di papan tulis kayu atau kertas putih yang digantung di papan pengumuman sekolah. Tapi justru di situlah keunikan dan kekuatan memori masa lalu: sederhana, tetapi berkesan.

Mari kita mulai dari proses kelulusan itu sendiri. Di era 80-an, siswa tidak menunggu amplop resmi atau undangan khusus untuk mengetahui nasibnya. Cukup datang ke sekolah pada hari pengumuman, berdesakan dengan teman-teman untuk membaca secarik kertas yang menampilkan daftar nama dan nilai EBTANAS murni (atau yang dikenal sebagai DANEM). Nilai itu juga dapat dicek melalui kantor Tata Usaha bagi yang ingin lebih rinci. Tidak ada selebrasi bombastis---hanya rasa syukur, lega, dan semangat menyongsong masa depan.

Perpisahan Sekolah yang Sederhana dan Hangat

Yang ada hanyalah "acara perpisahan" yang biasanya digelar di halaman sekolah. Dengan panggung sederhana, siswa, guru, dan orang tua berkumpul dalam suasana yang hangat. Acara itu dibuka oleh sambutan kepala sekolah, disambung oleh wakil orang tua murid, lalu ditutup sambutan siswa, biasanya siswa berprestasi atau perwakilan kelas. Setelah itu, barulah sesi hiburan, yang bisa berupa pentas seni sederhana, pembacaan puisi, atau menyanyi bersama. Tidak ada toga, tidak ada medali, tidak ada sesi foto formal. Tapi yang hadir adalah ketulusan dan kebersamaan yang autentik  dengan ciri khas di eranya.

Apa kelebihannya? Banyak. Pertama dan yang paling penting: hemat biaya. Tidak ada iuran khusus, tidak ada kewajiban sewa toga atau gedung. Siapa pun murid bisa hadir tanpa harus mengkhawatirkan biaya. Kedua, acara ini bersifat non-formal, sehingga hubungan siswa dan guru menjadi lebih personal. Bercanda, berpelukan, atau menangis bersama adalah hal yang lumrah, karena tidak ada batasan protokol. Guru dan siswa berbicara sebagai manusia, bukan sekadar peran fungsional.

Ketiga, karena semua murid dapat hadir, maka tidak ada diskriminasi ekonomi. Tidak ada yang merasa minder karena tak mampu menyewa pakaian atau membeli suvenir acara. Inklusivitas terjadi secara alami. Inilah salah satu momen langka di mana kesetaraan tidak dikampanyekan, tapi dijalankan.

Tantangan Budaya era Wisuda Millenium

Saat ini hampir setiap sekolah diberbagai tempat mengadakan kegiatan wisuda kelulusan di akhir tahun ajaran.

Kini, kita menghadapi fenomena berbeda. Wisuda sekolah menjadi semacam "ritual wajib", bukan hanya di perguruan tinggi, tetapi juga di tingkat TK, SD, SMP, bahkan PAUD. Budaya ini menghadirkan panggung megah, pakaian seragam, penyewaan auditorium, serta berbagai paket dokumentasi. Tentu, semua ini membutuhkan biaya yang tidak kecil. Maka, pertanyaannya menjadi penting: apakah budaya ini benar-benar perlu?

Apakah mungkin mengadakan acara wisuda tanpa biaya sepeser pun? Jawabannya realistis: sangat sulit. Bahkan untuk sekadar sewa toga atau konsumsi sederhana tetap memerlukan dana. Maka, kita harus jujur menanyakan: apakah acara ini tidak membebani orang tua, khususnya yang penghasilannya terbatas?

Lalu, bagaimana dengan hubungan siswa-guru? Dalam banyak wisuda formal, momen antara siswa dan guru kerap menjadi formalitas belaka. Suasana kaku, interaksi dibatasi waktu, dan momen personal berganti menjadi sesi foto bareng. Apakah ini meninggalkan kesan mendalam? Ataukah sekadar menjadi "konten Instagram"?

Yang lebih penting lagi, kita harus berani bertanya: apakah budaya wisuda sekolah ini relevan untuk semua murid, termasuk yang berasal dari keluarga kurang mampu? Atau jangan-jangan, budaya ini tanpa sadar menciptakan kelas sosial baru di antara siswa: mereka yang bisa merayakan dan mereka yang memilih absen karena tak mampu membayar?

Bukan Soal Nostalgia Tapi bersikap Arif dan Bijaksana

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline