Keresahan Modern
Pernyataan Soimah tentang seleksi menantu sempat memicu perdebatan: apakah cara orang tua menguji calon pasangan anaknya masih relevan di masa kini?
Sebagian menganggap wajar karena orang tua ingin memastikan anaknya mendapat pasangan yang kuat mental. Sebagian lain menolak karena cinta dianggap lebih penting daripada lolos "tes" keluarga.
Perdebatan ini sebenarnya selaras dengan keresahan yang sering muncul di media sosial lewat tagar #MarriageIsScary. Bukan tanpa alasan.
Mereka melihat pernikahan bukan hanya soal gaun pengantin dan pesta meriah, melainkan realita panjang yang penuh tanggung jawab: cicilan rumah, biaya hidup yang kian tinggi, hingga dinamika hubungan dengan pasangan dan keluarga besar.
Ketakutan itu makin kuat ketika di sekitar mereka ada kisah perceraian, orang tua yang bertahan dalam pernikahan tidak bahagia, atau teman yang baru menikah lalu stres. Wajar bila banyak yang bertanya, "Apa aku sanggup?"
Di tengah gambaran yang berat itu, terbit pula pertanyaan lain: apakah pernikahan memang selalu menakutkan, atau sebenarnya cara kita memandangnya yang berubah?
Kilasan Kearifan Jawa -- Bibit, Bebet, Bobot
Di Jawa, memilih pasangan tak sekadar soal hati yang saling jatuh cinta. Orang tua dahulu punya panduan bijak yang unik dan klasik: bibit, bebet, bobot.
Bibit, atau asal-usul keluarga, menjadi pertimbangan pertama. Keluarga yang bermoral baik diyakini menurunkan watak dan budi pekerti yang serupa.
Bebet menyentuh status sosial, pendidikan, dan ekonomi; calon pasangan yang stabil secara materi dan sosial dianggap mampu membangun rumah tangga yang aman.