Mohon tunggu...
Rublikpol
Rublikpol Mohon Tunggu... Lembaga Diskusi Kampus

📍 Jakarta, Indonesia | 🎓 Founded at FISIP UIN Syarif Hidayatullah | 🎙️ Voice of Critical Politics Rublikpol (Ruang Publik Politik) is a youth-driven socio-political media organization committed to enriching Indonesia’s public discourse. Founded in 2016 within the Faculty of Social and Political Sciences at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rublikpol has grown into a vibrant space for critical dialogue, political literacy, and civic engagement. 🎯 Our Mission To ignite critical thinking and foster informed discussions on politics, society, and governance—bridging academia, grassroots perspectives, and youth activism through accessible content and community-driven events. 💡 What We Do 1. Interactive Forums & Events - From our flagship *Publik Berbisik* series (where politics meets music and art) to academic discussions and open forums. 2. Multimedia Content – Thought-provoking podcasts, infographics, and political explainers for digital natives. 3. Grassroots Political Education – Training, workshops, and content aimed at strengthening democratic values among young voters and students. We’re not just talking about politics—we're building a generation that critically engages with it.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Resmi! MK larang Wamen Rangkap Jabatan, Sebuah Refleksivitas Demokrasi?

1 September 2025   18:35 Diperbarui: 1 September 2025   18:35 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: MelihatIndonesia

Oleh: Ruri Anggraini

Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi melarang wakil mentri atau wamen untuk rangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara serta perusahaan swasta.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Surhartoyo dalam sidang yang digelar di Gedung MK pada Kamis (28/8/2025) di Jakarta, yang termuat dalam Putusan Perkara Nomor: 128/PUU-XXIII/2025. Perkara tersebut diajukan oleh advokat bernama Viktor Santoso Tandiasa dan Didi Supandi, seorang driver online. Viktor Santoso melayangkan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara. Tujuan dilayangkannya gugatan mereka, tak lain untuk memastikan agar wamen tidak merangkap jabatan layaknya menteri.

Mereka berdalih, gugatan yang diajukan ialah sebagai produk keresahan beberapa pihak yang diakibatkan oleh banyaknya wamen mulai mengambil posisi dan jabatan tambahan di luar tugas pokok mereka sebagai seorang wakil menteri. Hal ini, dikhawatirkan memicu kerancuan dalam sistem, yang mana akan berpotensi memecah kosentrasi dan maksimalisasi kinerja para wakil menteri itu sendiri. Oleh karena itu, Viktor Santoso, selaku advokat yang memiliki kedudukan hukum, mewakili keresahan beberapa pihak, menyampaikan gugatan ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Keresahan yang muncul, bukan tanpa sebab. Berdasarkan data dari laman CNBC Indonesia, tercatat ada 32 wakil menteri dari Kabinet Indonesia Maju yang menjabat sebagai komisaris dan merangkap sebagai jabatan di sejumlah BUMN. Tak hanya itu, kembali melansir dari laman yang sama, terdaftar 15 menteri dan wamen menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini, menjadi bukti sumber ke-khawatiran yang konkret bagi sejumlah pihak. Sudah sepantasnya pihak-pihak yang memiliki legalitas dalam bidang pengawasan dan hukum memberikan titik perhatian penuh pada pejabat-pejabat negara, terkhusus menteri dan wakil menteri.

Selain itu, putusan yang melarang wamen untuk merangkap jabatan ini, selaras dengan prinsip dasar dalam penyelenggaran negara yang tertera pada UUD 1945. Dengan kata lain, segala bentuk penyelenggaran negara harus bebas dari konflik kepentingan, bersih, dan mampu melaksanakan tata kelola pemerintah yang baik.

Ditinjau dari aspek lain, momentum ini tidak hanya menjadi wujud penerapan prinsip dasar penyelenggaraan negara yang baik, tetapi juga merupakan upaya untuk membatasi kekuasaan negara beserta organ-organnya. Sebagaimana ditegaskan John Emerich Edward Dalberg-Acton, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Acton, seorang sejarawan sekaligus politisi Inggris abad ke-19, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Ungkapan ini, sejatinya menjadi pengingat kokoh bagi kita semua, bahwa kekuasaan memiliki potensi besar untuk membutakan moralitas, dan pada akhirnya dapat melahirkan praktik-praktik penyalahgunaan wewenang.

Ditambah lagi, menjadi suatu keharusan untuk menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal dan pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sebab, setiap bentuk kekuasaan, selalu memiliki kecenderungan untuk melahirkan penyimpangan yang menyalahi aturan, bahkan merugikan. Oleh karena itu, kekuasaan harus senantiasa dibatasi melalui mekanisme yang memecahnya ke dalam beberapa cabang dengan sifat checks and balances.

Fenomena rusaknya moralitas yang disebabkan silaunya kekuasaan, telah terjadi belakangan ini. Meskipun bukan lagi hal anyar, tapi penyimpangan ini tetap menjadi luka bagi rakyat dan bangsa. Bagaimana tidak? belum lama terjadi, ramai diberitakan oleh media massa, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenzer Gerungan, tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapannya ini, terkait dugaan kasus pemerasan K3 dan menerima suap senilai Rp 3 milliar, dengan total kerugian negara mencapai angka Rp 81 miliar. Jumlah yang fantastis dan cukup membuat negara bangkrut akan hal ini.

Persoalan kekuasaan yang kerap berujung pada hasrat akan harta memang senantiasa pelik. Namun, pengawasan terhadap ke mana dan untuk apa kekuasaan serta kewenangan diberikan terhadap individu terpilih, harus selalu dipertanyakan sejauh mana lekuk porsi, dan urgensinya bagi kita para pengawas kedaulatan, sekaligus demokrasi negara. Sebab, sudah menjadi agenda tahunan bagi pejabat-pejabat negara dengan segala kerancuan dan penyimpangan mereka, untuk berlomba-lomba mengukir rentetan kasus korupsi, yang seolah-olah dibungkus dalam harmoni birokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun