Oleh: Ruri Anggraini
Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi melarang wakil mentri atau wamen untuk rangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara serta perusahaan swasta.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Surhartoyo dalam sidang yang digelar di Gedung MK pada Kamis (28/8/2025) di Jakarta, yang termuat dalam Putusan Perkara Nomor: 128/PUU-XXIII/2025. Perkara tersebut diajukan oleh advokat bernama Viktor Santoso Tandiasa dan Didi Supandi, seorang driver online. Viktor Santoso melayangkan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara. Tujuan dilayangkannya gugatan mereka, tak lain untuk memastikan agar wamen tidak merangkap jabatan layaknya menteri.
Mereka berdalih, gugatan yang diajukan ialah sebagai produk keresahan beberapa pihak yang diakibatkan oleh banyaknya wamen mulai mengambil posisi dan jabatan tambahan di luar tugas pokok mereka sebagai seorang wakil menteri. Hal ini, dikhawatirkan memicu kerancuan dalam sistem, yang mana akan berpotensi memecah kosentrasi dan maksimalisasi kinerja para wakil menteri itu sendiri. Oleh karena itu, Viktor Santoso, selaku advokat yang memiliki kedudukan hukum, mewakili keresahan beberapa pihak, menyampaikan gugatan ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Keresahan yang muncul, bukan tanpa sebab. Berdasarkan data dari laman CNBC Indonesia, tercatat ada 32 wakil menteri dari Kabinet Indonesia Maju yang menjabat sebagai komisaris dan merangkap sebagai jabatan di sejumlah BUMN. Tak hanya itu, kembali melansir dari laman yang sama, terdaftar 15 menteri dan wamen menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini, menjadi bukti sumber ke-khawatiran yang konkret bagi sejumlah pihak. Sudah sepantasnya pihak-pihak yang memiliki legalitas dalam bidang pengawasan dan hukum memberikan titik perhatian penuh pada pejabat-pejabat negara, terkhusus menteri dan wakil menteri.
Selain itu, putusan yang melarang wamen untuk merangkap jabatan ini, selaras dengan prinsip dasar dalam penyelenggaran negara yang tertera pada UUD 1945. Dengan kata lain, segala bentuk penyelenggaran negara harus bebas dari konflik kepentingan, bersih, dan mampu melaksanakan tata kelola pemerintah yang baik.
Ditinjau dari aspek lain, momentum ini tidak hanya menjadi wujud penerapan prinsip dasar penyelenggaraan negara yang baik, tetapi juga merupakan upaya untuk membatasi kekuasaan negara beserta organ-organnya. Sebagaimana ditegaskan John Emerich Edward Dalberg-Acton, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Acton, seorang sejarawan sekaligus politisi Inggris abad ke-19, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Ungkapan ini, sejatinya menjadi pengingat kokoh bagi kita semua, bahwa kekuasaan memiliki potensi besar untuk membutakan moralitas, dan pada akhirnya dapat melahirkan praktik-praktik penyalahgunaan wewenang.
Ditambah lagi, menjadi suatu keharusan untuk menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal dan pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sebab, setiap bentuk kekuasaan, selalu memiliki kecenderungan untuk melahirkan penyimpangan yang menyalahi aturan, bahkan merugikan. Oleh karena itu, kekuasaan harus senantiasa dibatasi melalui mekanisme yang memecahnya ke dalam beberapa cabang dengan sifat checks and balances.
Fenomena rusaknya moralitas yang disebabkan silaunya kekuasaan, telah terjadi belakangan ini. Meskipun bukan lagi hal anyar, tapi penyimpangan ini tetap menjadi luka bagi rakyat dan bangsa. Bagaimana tidak? belum lama terjadi, ramai diberitakan oleh media massa, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenzer Gerungan, tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapannya ini, terkait dugaan kasus pemerasan K3 dan menerima suap senilai Rp 3 milliar, dengan total kerugian negara mencapai angka Rp 81 miliar. Jumlah yang fantastis dan cukup membuat negara bangkrut akan hal ini.
Persoalan kekuasaan yang kerap berujung pada hasrat akan harta memang senantiasa pelik. Namun, pengawasan terhadap ke mana dan untuk apa kekuasaan serta kewenangan diberikan terhadap individu terpilih, harus selalu dipertanyakan sejauh mana lekuk porsi, dan urgensinya bagi kita para pengawas kedaulatan, sekaligus demokrasi negara. Sebab, sudah menjadi agenda tahunan bagi pejabat-pejabat negara dengan segala kerancuan dan penyimpangan mereka, untuk berlomba-lomba mengukir rentetan kasus korupsi, yang seolah-olah dibungkus dalam harmoni birokrasi.