Lihat ke Halaman Asli

Taufik AAS P

jurnalis dan pernah menulis

Jimat Naga Sikoi

Diperbarui: 9 Maret 2018   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti serigala melolong di malam bulan purnama empat belas terbit, La Rakkala Pekko Ulu tak kuasa menahan marah. Hatinya panas bukan kepala menahan hina atas dirinya yang tak rupawan. Andai mungkin dirinya bisa, maka Dewata pun akan digugatnya.

Pria peladang ini terus meradang dalam gubuknya di malam yang hampir fajar, dadanya ditepuk-tepuk tanda menyesali diri. Sesekali ia mengintip lewat jendela gubuknya yang tak berdaun. Jauh di langit yang mulai keputih-putihan, bintang meredup dan satu-satu menghilang. Ia semakin perih mengingat sehari yang lalu, anak gadis kepala kampong meludah di depannya, sambil menutup hidung.

"Wajahku memang jelek tapi tubuhku tidak busuk, apalagi hatiku. Oh Dewata, bantulah diriku ini. Bertanggungjwablah telah merestui kelahiranku di mayapada ini."

La Rakkala terus membatin kakinya dihentak-hentak ke lantai tanah rumahnya. Dadanya dicakar-cakar sendiri dengan jari-jari tangannya yang kasar. Hingga lelah pria peladang ini mencabik-cabik perasaannya. Trus tumpahlah dalam mimpinya.

//

La Rakkala Pekko Ulu, trus berjalan hingga batas mata memandang. Ia terus membayangkan We Bitara Mappedda Uleng, putri kepala kampung yang cantiknya tak tertandingi. Lehernya putih dan bening, kalau minum seolah kelihatan air mengalir. Betisnya bagaikan batang padi, hidung mancung dengan bibir basah merah merekah. Matanya bening di bawah alis yang bagikan semut hitam beriring.

"We Bitara, aku akan adukan penghinaanmu pada Dewata Tuhanku."

Pria peladang itu terus berjalan dan membatin. Ia akan mencari Dewata tempatnya mengadukan rasa sakit dan perih atas sebongkah daging dalam rongga dada. Kaki-kakinya terus melangkah, menerabas duri dan onak. Detik berganti menit hingga ke jam. Berhari-hari pria berwajah kurang tampan ini terus melangkah lewati lembah, gunung, dan belantara. Hingga tenaganya terus bertambah, membuat dirinya seolah menjadi batu karang yang atos. La Rakkala Pekko Ulu, benar-benar telah jadi sebongkah batu penasaran.

//

"Rakkala Pekko Ulu, bangunlah anakku dari tapamu. Aku sudah dah tahu rasa sakit dalam dadamu."

Suara menggelegar dari langit disertai kilat dan gerimis dingin. La Rakkala Pekko Ulu yang membatu dalam tapanya, perlahan bergerak. Ada kekuatan cinta dalam dada pria ini, membuatnya terus bergerak menuju seorang lelaki tua yang berjarak lima depa darinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline