Setelah rangkaian kegiatan bersama komunitas Malang Old Foto berakhir, kami sempat beristirahat sejenak sebelum mengantar anak sulung kami kembali ke Bogor.
Perpisahan di terminal bus terasa biasa, tapi tetap meninggalkan ruang kecil di hati. Ada rasa lega karena perjalanan berjalan lancar, tapi juga sedikit kosong ketika satu kursi di mobil tiba-tiba kosong. Begitu bus mulai melaju, kami melambaikan tangan sambil tersenyum, meski diam-diam ada rindu kecil yang ikut terbawa ke arah utara.
Namun perjalanan belum selesai. Kami berempat, saya, istri, si kakak dan si bontot, memutuskan untuk melanjutkan ke Batu dan menginap dua malam di sana. Udara semakin sejuk ketika mobil mulai menanjak, pepohonan di kanan-kiri tampak seperti membentuk gerbang alami menuju kota kecil di kaki gunung itu.
Batu selalu punya cara membuat siapa pun merasa tenang: udaranya dingin, tapi suasananya hangat.
Malam pertama, kami memilih untuk berjalan ke Alun-Alun Batu. Tempatnya hidup dan penuh warna. Lampu-lampu besar berbentuk apel raksasa menyala terang, anak-anak berlarian di sekitar air mancur, sementara pedagang kaki lima memenuhi sisi jalan dengan aroma yang menggoda. Ada jagung bakar, ketan bubuk, bakso bakar, dan minuman hangat yang mengepul di udara dingin.
Kami tak ingin terburu-buru. Hanya duduk di bangku sambil menikmati hiruk pikuk malam sudah cukup membuat bahagia.
Dari kejauhan terdengar musik dari pengeras suara, mungkin dari wahana bianglala yang berputar pelan membawa penumpangnya menikmati langit Batu di malam hari.
Tak jauh dari situ, di pasar kecil di samping Alun-Alun, pasar Laron namanya, kami melanjutkan malam dengan makan sederhana tapi nikmat. Meja kayu, lampu neon putih, dan suara wajan beradu dengan spatula menciptakan suasana khas yang tak tergantikan.
Kami pesan nasi goreng, mi godog, dan susu jahe hangat. Si bontot tentu tak mau kalah , kali ini dia menang, porsi makannya lebih cepat habis dari siapa pun di meja. "Balas dendam," katanya sambil tertawa, mengingat kekalahan telak waktu makan di Kayutangan.
Udara dingin Batu membuat setiap tegukan minuman terasa lebih nikmat. Kami tak banyak bicara malam itu, hanya menikmati suasana, orang-orang lewat, aroma makanan, dan denting sendok dari warung sebelah. Kadang kebahagiaan memang sederhana: cukup bersama orang terdekat di tempat yang membuat hati tenang.
Menjelang malam, kami berjalan kembali ke penginapan, melewati jalan yang sepi dan berkabut tipis. Lampu jalan berpendar kuning lembut, dan dari kejauhan terdengar suara jangkrik samar. Batu malam hari terasa seperti pelukan, dingin di luar, tapi hangat di dalam hati.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI