Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di SMP BBS Kota Bogor, lulusan Antropologi UNPAD, tinggal di Bogor. Belajar dan Berbagi untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keresahan Tanpa Ujung di Dunia Pendidikan

16 Oktober 2025   16:17 Diperbarui: 16 Oktober 2025   16:00 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: radiosilaturahim.com

Apapun yang dilakukan para guru dalam  upaya mendidik anak-anak akan selalu berada pada posisi yang salah atau lemah.  Mengapa? Sebab negara ini sedang tidak memuliakan pendidikan.  Pendidikan harusnya merupakan ibu kandung kehidupan.  Apa yang tidak ditemukan dalam dunia pendidikan kita?  Sistem penerimaan siswa yang selalu bermasalah, siapa pelaku utamanya, justru orang-orang yang harusnya jadi teladan agar sistem itu berjalan.  Anak titipan pejabat, baik dari lingkungan pemerintahan, dari orang dinas pendidikannya sendiri, anggota DPRD, LSM penjual bangku sekolah dan oknum lainnya.  Dari awal sekolah dibuat tak berdaya.  Jual beli terjadi karena akses yang tidak merata. 

Masalah lain di dunia pendidikan, yang pada masa kepemimpinan Nadiem disebut sebagai tiga dosa besar pendidikan di Indonesia yaitu; pertama pelecehan seksual kerap terjadi,  karena di lingkungan sekolah ada hubungan kuasa yang timpang. Hubungan ini menjadi semakin diberi jalan ketika siswa hanya dijejali bagaimana mengejar nilai Kriteria Ketuntasan Tujuan Pembelajaran (dulu KKM). Dengan iming-iming nilai, oknum guru memanfaatkan kuasa ini.  Pelecehan juga terjadi di kalangan siswa, misal melakukan cat calling.  Kedua perundungan juga karena relasi kuasa yang timpang, siswa-siswa yang lemah menjadi objek dari perundungan. Ketiga, intoleransi yang semakin menguat, intoleransi terjadi tidak hanya pada sesuatu yang berbeda,  pada keyakinan yang sama pun kerap terjadi.  Selain itu selalu ada titipan program ke sekolah dari berbagai instansi, karena merasa sekolah belum cukup memberikan informasi dengan peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat.

Cara berempati pada bagaimana beratnya tugas guru adalah dengan berkaca keadaan di rumah,  dua atau tiga anak saja di rumah dapat dipastikan pasti ada berantemnya, ada saja perilakunya yang membuat kesal orang tua.  Dapat dibayangkan di sekolah, satu kelas ideal pada jenjang SMA itu 36 siswa per kelas.  Jika tiap angkatan pada satu sekolah menerima 9 kelas, maka 9 x 36 = 324 siswa per angkatan dikali tiga jenjang kelas (X, XII,XII) maka ada 972 siswa dalam setiap tahun ajaran.  Gurunya, paling banyak 50-60 guru per sekolah.  

Pada kasus SMAN 1 Cimarga, sekitar 630 siswa mogok, berarti tiap angkatannya hanya menerima 6 kelas.  Dapat dipahami karena bukan berada di perkotaan.  Tetap saja itu adalah jumlah yang tidak sebanding dengan jumlah guru untuk pengawasannya.  

Mereka datang dari berbagai latar belakang keluarga yang berbeda-beda cara mendidiknya.  Siswa yang datang pun sudah datang dengan masalah yang melekat pada dirinya, ada anak hasil perceraian orang tua, yatim, masalah ekonomi, belum masalah harian yang bersifat spontan, emosi di jalanan, terlambat bangun, ketinggalan hp.  Semua masalah itu hadir di sekolah, ada yang terdeteksi dari awal, ada yang spontan kejadian, dan saat zaman media sosial seperti sekarang tinggal menunggu pemantiknya.  

Sekolah Tanggung Jawab Siapa

Jawabannya bukan pada aspek formalitas.  Misal paling bertanggung jawab kepala sekolah, itu pasti.  Namun banyak guru yang menghindari tanggung jawab untuk menegur siswa yang melanggar aturan.  Itu sikap paling aman.  Beban adminsitrasi yang tidak pernah berkurang, sudah kelelahan mengajar di kelas, maka ketika ada siswa yang melanggar aturan, dengan tidak menegur maka tidak terbebani dengan masalah emosi tambahan.  Apalagi kondisi perlindungan yang semakin melemah pada para guru.  

Ada beberapa kasus, meskipun kejadiannya di luar sekolah, yang pertama kali disebut dan dipanggil adalah sekolahnya.  Bahkan sekolah dinilai abai, padahal tanggung jawab pendidikan seperti disampaikan Ki Hajar Dewantara tidak hanya pada sekolah, tetapi ada unsur keluarga dan masyarakat.  Inilah yang akhirnya menjadi dilema kepala sekolah dan guru-guru.  Mereka akhirnya demi nama baik sekolah dengan segala daya berusaha keras mendisiplinkan siswa.  Fenomena ini yang terjadi di SMAN 1 Cimarga Lebak Banten. Ibu Dini selaku kepala sekolah lepas kendali, dan terjadilah kontak fisik, lepas dari menimbulkan bekas tamparan atau tidak,  arah pendidikan tidak lagi menoleransi pendekatan disiplin fisik.  Namun menyalahkan sepenuhnya Bu Dini jelas tidak tepat,  apalagi membawa ke ranah hukum.  Dapat kita bayangkan, kalau sebaliknya sekolah yang melaporkan siswa yang merokok, apalagi di lingkungan kawasan tanpa rokok, siswa akan terkena  pidana hukuman penjara paling lama 6 bulan atau denda maksimal 50 juta. Haruskah ini yang dilakukan guru?  Lalu apa fungsi pendidikan?   

Moral Guru

Sejak awal moral guru sudah dijejali kalimat-kalimat idealis.  Menjadi guru adalah panggilan jiwa.  Menjadi guru harus dilandasi keikhlasan dalam pengabdian.  Guru adalah pahlawan yang bekerja dalam senyap.  Guru adalah fondasi bangsa.  Dia harus menjadi teladan, digugu dan ditiru.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun