Ketegasan tanpa kekerasan bukan hanya mungkin, tapi perlu. Wibawa guru dan sekolah tidak dibangun oleh amarah, melainkan oleh sistem yang adil dan dijalankan tanpa pandang bulu.
Belakangan ini, publik dihebohkan oleh berita seorang kepala sekolah yang menampar muridnya karena kedapatan merokok. Video itu viral, dan seperti biasa, perdebatan pun memanas: apakah tindakan itu bentuk pembinaan, ataukah kekerasan?
Sebagian menilai kepala sekolah tersebut sedang menegakkan disiplin, sebagian lain menilai ia telah melampaui batas.
Peristiwa itu membuat saya teringat pada masa ketika saya memimpin sebuah sekolah di Jakarta Pusat. Di sana, kami menerapkan kebijakan "Nol Toleransi terhadap Rokok", bukan sebagai jargon, tapi sebagai prinsip hidup seluruh warga sekolah. Bedanya, saya tidak pernah menampar siapa pun.
Bahkan ketika pelanggar adalah seorang pejabat dinas, yang merokok setelah rapat di aula sekolah kami, saya tetap menindak sesuai aturan: saya denda dua ratus lima puluh ribu rupiah.
Tidak ada amarah. Tidak ada bentakan. Tidak ada kekerasan. Hanya prosedur yang berjalan sebagaimana mestinya.
Sekolah sebagai Ruang Berdaulat
Saya percaya, sekolah bukan sekadar tempat belajar matematika atau bahasa, melainkan tempat menanamkan nilai dan integritas. Karena itu, sejak awal saya menetapkan satu prinsip tak tergoyahkan: Lingkungan Pendidikan Wajib Bebas dari Rokok.
Kami membuat kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang disusun bersama guru, murid, dan orangtua. Semuanya ditandatangani dalam nota kesepahaman bermaterai, yang bukan hanya sebagai simbol administratif, tetapi sebagai janji moral bersama.
Aturannya sederhana dan adil untuk semua:
- Guru yang kedapatan merokok di area sekolah diberhentikan dari jabatan mengajar.
- Murid yang merokok akan dikeluarkan dan diminta pindah ke sekolah lain.
- Orangtua yang merokok di area sekolah akan dikenai konsekuensi: anaknya diminta pindah.
- Tamu atau pejabat dinas yang melanggar dikenai denda Rp250.000,00.