Kemudian, dua metode penentuan awal Ramadhan yakni metode rukyat dan metode hisab memeberikan pelajaran bahwa perbedaan awal puasa itu hal lumrah. Perbedaan awal Ramadhan yang kerap terajadi seyogyanya menjadikan umat Islam terbiasa menyikapi perbedaaan. Perbedaan yang melahirkan sikap saling menghormati, menghargai. Perbedaan sebenarnya wajib dipahami sebagai rahmat seperti yang diajarkan nabi Muhamad SAW. Rahmat akan menghadirkan kedamaian, ketenangan masyarakat luas.
Selain itu, bilangan tarawih juga berbeda. Jumlah rokaat salat tarawih ada yang 20, ada yang 8. Kedua pendapat  memiliki dalil atau argumentasi kuat. Umat Islam sudah terbiasa menghadapi perbedaan itu. Dua masjid berdampingan bisa melaksankan salat tarawih dengan khusuk walau berbeda jumlah rakaatnya. Bahkan, ada sebagian masjid yang mempersilahkan jamaahnya untuk mundur, meninggalkan masjid pada rokaat kesembilan bagi mereka yang ingin salat tarawih delapan rakaat. Mereka bisa langsung melaksanakan witir.
Buya Hamka pernah mengatakan, puasa di tengah-tengah lingkungan yang banyak godaan, nilai puasanya bisa semakin besar. Mereka ini ibarat orang yang lulus setelah melalui ujian dan tantangan yang amat berat. Kualitas keimanan dan ketaqwaannya benar-benar teruji.
Kaitan dengan buka warung di siang Ramadhan, pemerintah daerah sepantasnya berlaku bijak. Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan beberapa daerah itu kudu mempertimbangkan banyak hal. SE harus mepertimbangkan keberadaan mereka yang tak berpuasa, juga kegiatan ekonomi rakyat. Aparat hukum dalam hal ini Satpol PP diminta tidak over acting seperti harapan Mendagri. Sehingga ibadah puasa lebih bermakna. Puasa menghadirkan kehidupan yang damai. Bulan berkah itu menjadi berkah untuk semua. Semoga. Wa Allahu Alam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI