Mohon tunggu...
Zaly
Zaly Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seseorang yang gemar menulis cerpen dan karya lainnya. bisa kunjungi akun instagram untuk lebih lanjut !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seratus Hari Menuju Senja

3 September 2025   09:19 Diperbarui: 3 September 2025   09:19 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalanan gang sempit itu selalu berbau basah, campuran dari air selokan, minyak goreng, dan aroma tanah yang tak pernah kering. Di sinilah Bima, mahasiswa sosiologi tingkat akhir, menghabiskan sebagian besar waktunya. Bukan di kafe-kafe hipster dekat kampus, melainkan di warung kopi milik Pak Jaya, sebuah gubuk reyot dengan dinding tripleks yang miring.

"Mahasiswa kok nongkrong di sini, Mas Bima? Gak ada tugas apa?" tanya Pak Jaya sambil menuangkan kopi hitam kental ke cangkir kaleng.

Bima tersenyum, "Tugas saya ya di sini, Pak. Belajar langsung dari 'teori' hidup."

Sudah seratus hari Bima menjalani "proyek penelitian"nya. Ia ingin mengamati bagaimana sebuah gagasan, yang selama ini hanya berputar-putar di ruang diskusi kampus, bisa menyentuh dan membumi di tengah masyarakat. Setiap sore, ia datang, duduk di bangku kayu yang sudah licin, dan mendengarkan. Mendengarkan cerita Pak Jaya tentang harga pupuk yang naik, keluhan Bu Siti tentang anaknya yang putus sekolah, dan suara-suara lain yang tak pernah ia dengar di ruang kuliah ber-AC.

Suatu hari, Bima membawa sebuah ide. "Pak, saya punya proposal untuk program bank sampah. Nanti kita olah sampah plastik jadi kerajinan, hasilnya bisa buat biaya operasional dan sisanya untuk warga."

Pak Jaya mengernyitkan dahi. "Bank sampah? Mendingan bank duit, Mas. Kalau bank sampah, kapan bisa beli beras?"

"Tapi ini kan bisa jadi penghasilan tambahan, Pak. Lagipula, lingkungan kita juga bersih," Bima mencoba menjelaskan, suaranya terdengar terlalu bersemangat.

"Ide bagus. Tapi kalau cuma ide, ya cuma jadi angin lewat," sahut seorang pemuda lain, bernama Rahmat. Ia adalah buruh pabrik yang baru saja pulang, seragamnya masih berbau oli. "Rakyat butuh kepastian, bukan janji. Kami butuh makan hari ini, bukan untung besok."

Baca juga: Malam Kereta Senja

Dialog itu seperti tamparan keras bagi Bima. Ia menyadari, ada jurang yang menganga lebar antara pemikirannya dengan realitas yang dihadapi warga. Konsep-konsep seperti "pembangunan berkelanjutan" atau "ekonomi sirkular" hanyalah kata-kata asing yang tidak bisa mengisi perut lapar.

Malam itu, Bima tidak bisa tidur. Ia mencoret-coret proposalnya, menghapus kata-kata teoretis, dan menggantinya dengan perhitungan sederhana: berapa harga botol plastik per kilogram, berapa jam yang dibutuhkan untuk membuat satu kerajinan, dan berapa rupiah keuntungan bersih yang bisa didapat. Ia juga menambahkan poin tentang "dana darurat" dari hasil penjualan untuk membantu warga yang membutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun