Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 23.45. Hujan deras mengguyur Stasiun Cawang. Rio, seorang arsitek muda, menghela napas panjang. Proyeknya membuat ia harus lembur, dan sekarang ia terjebak. Kereta terakhir sudah seharusnya datang, tapi yang ia lihat hanyalah peron kosong dan kegelapan yang pekat.
Tiba-tiba, suara klakson nyaring memecah keheningan. Sebuah kereta tua, berkarat dan tampak usang, perlahan memasuki stasiun. Lampunya berkelap-kelip, memancarkan cahaya kuning kusam yang menambah kesan mistis. Rio mengerutkan dahi. Ia belum pernah melihat kereta seperti itu sebelumnya. Namun, tak ada pilihan lain. Ia harus pulang.
Ia melangkah masuk, disambut aroma apak dan lembap. Gerbong itu kosong, hanya ada beberapa penumpang yang duduk di ujung sana. Mereka semua tampak aneh. Ada seorang wanita tua dengan wajah pucat dan mata cekung, seorang pria bertopi fedora yang wajahnya tertutup bayangan, dan seorang anak kecil yang duduk sendirian sambil memeluk boneka usang.
Rio memilih kursi di tengah gerbong, jauh dari mereka. Ia mengeluarkan ponsel, mencoba mencari sinyal, namun nihil. Ia menoleh ke luar jendela, melihat pepohonan yang tampak seperti siluet monster di bawah guyuran hujan. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin menusuk tulang.
"Kamu mau ke mana?"
Rio menoleh terkejut. Wanita tua itu kini duduk di kursi depannya, tatapan kosongnya menembus mata Rio.
"Saya... saya mau ke Stasiun Depok," jawab Rio dengan suara bergetar.
Wanita itu tersenyum tipis. Bibirnya yang kering dan pecah-pecah tertarik membentuk senyum yang lebih mirip seringai. "Kereta ini tidak menuju Stasiun Depok, Nak."
"Lalu... ke mana?" tanya Rio, jantungnya berdegup kencang.
"Ini kereta senja. Kereta yang hanya datang untuk mereka yang tersesat," bisik wanita itu.