Ardan menghela napas panjang. Udara di desa ini begitu lembap dan beraroma tanah basah. Ia, mahasiswa arsitektur dari ibu kota, tak pernah membayangkan akan menghabiskan dua bulan masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa bernama Giri Mukti. Desa ini sunyi, jauh dari hingar-bingar kota yang biasa ia nikmati.
"Ini benar-benar di luar dugaanku," gumamnya pada Risa, teman satu timnya, saat mereka membereskan barang di posko. "Tak ada sinyal, tak ada kafe, tak ada hiburan."
"Sudahlah, Dan. Anggap saja liburan," Risa terkekeh, meski ia sendiri terlihat kurang antusias.
Hari-hari pertama adalah siksaan bagi Ardan. Ia merasa terasing. Proyek KKN mereka, membangun perpustakaan mini, terasa membosankan. Namun, semua berubah di siang keenam, saat ia sedang menggambar sketsa bangunan di pinggir jalan desa.
Sebuah sepeda tua berhenti tak jauh darinya. Seorang gadis turun, keranjang di boncengannya penuh dengan kue-kue tradisional. Rambutnya disanggul sederhana, dengan senyum ramah yang seolah menyatu dengan hijaunya pepohonan pinus di kejauhan.
"Masnya dari kota, ya?" tanya gadis itu, suaranya lembut.
Ardan mendongak. "Iya. Saya Ardan, mahasiswa KKN."
"Saya Kembang. Ini kue bikinan Ibu, mau coba?" Ia menyodorkan sebungkus getuk lindri berwarna-warni.
Ardan ragu sejenak, lalu mengambilnya. Ia terkejut. Rasanya manis dan lembut, jauh lebih enak dari kue-kue di mal. "Enak sekali," pujinya tulus.
Sejak hari itu, Ardan dan Kembang mulai sering bertemu. Kembang bercerita tentang keindahan desanya: sawah yang menghampar hijau, sungai yang jernih, dan kearifan lokal yang masih terjaga. Ia menunjukkan Ardan jalan setapak menuju hutan pinus yang rindang, mengajarinya memetik daun teh, dan menceritakan legenda tentang bukit di belakang desa.