Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Suara petir sesekali menyambar, menerangi wajah Rian yang terlihat tegang. Ia dan Andika berdiri di depan sebuah rumah tua berarsitektur Belanda di ujung gang sempit. Rumah itu tampak gelap, diselimuti tumbuhan liar yang merambat.
"Lu yakin, Yan? Gue merinding," bisik Andika, suaranya bergetar.
Rian menoleh, tatapannya menantang. "Jangan jadi penakut, Ndi. Kita udah jauh-jauh ke sini. Cuma buat membuktikan kalau semua cerita itu cuma omong kosong."
Mereka berdua adalah mahasiswa semester akhir yang sedang mengerjakan tugas video dokumenter tentang mitos urban. Rumah ini adalah objek terakhir mereka. Konon, rumah ini bekas tempat tinggal seorang dukun yang membunuh seluruh keluarganya. Sejak itu, sering terdengar tangisan dan bisikan dari dalam rumah.
Dengan hati-hati, Rian mendorong pintu gerbang yang berdecit nyaring. Ia menyalakan senter ponselnya dan melangkah masuk, diikuti Andika. Udara di dalam terasa dingin dan lembap. Bau apek menyeruak, menusuk hidung.
"Kok gelap banget, ya?" tanya Andika.
"Ya iyalah, namanya juga rumah kosong," jawab Rian, berusaha terdengar santai, meskipun ia juga merasa cemas.
Mereka menyusuri ruang tamu yang dipenuhi debu dan furnitur usang yang ditutupi kain putih. Suara langkah mereka terdengar bergema. Tiba-tiba, Andika menghentikan langkahnya.
"Yan, lu denger itu?"
Rian terdiam. Ia menajamkan pendengarannya. Sebuah bisikan lirih terdengar dari arah tangga. Suaranya terdengar seperti seorang wanita yang sedang menangis.