Mohon tunggu...
Zaly
Zaly Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seseorang yang gemar menulis cerpen dan karya lainnya. bisa kunjungi akun instagram untuk lebih lanjut !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jendela di Sudut Ruang Tunggu

28 Agustus 2025   12:39 Diperbarui: 28 Agustus 2025   12:39 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara jarum jam dinding berdetak pelan, memecah kesunyian di ruang tunggu rumah sakit. Di luar, rintik hujan menari di atas aspal basah. Aku duduk di salah satu kursi, menggenggam sebuah buku yang tidak kubaca. Mataku terus melirik ke arah pintu, menunggu seorang perawat keluar dan menyebutkan namaku.

Sudah tiga jam aku di sini. Tiga jam yang terasa seperti selamanya. Tiga jam di mana setiap detik adalah sebuah peperangan antara harapan dan ketakutan. Harapan bahwa ia baik-baik saja, dan ketakutan bahwa ia tidak.

Pandanganku jatuh pada sebuah jendela besar di sudut ruangan. Jendela itu menghadap ke taman rumah sakit, yang kini terlihat samar-samar di balik tirai hujan. Sejenak, aku teringat pada hari itu, di taman yang sama.

Baca juga: Momen Tak Biasa

"Lihat, Langit! Burung-burung itu lucu, ya?" kataku, menunjuk seekor burung pipit yang sedang mematuk remah roti.

Ia tersenyum, senyum yang selalu bisa membuat hatiku tenang. "Ya, mereka lucu. Tapi bagiku, kamu lebih lucu."

Pipiku merona. "Ih, gombal!"

"Ini bukan gombal, Asmara. Ini fakta."

Aku terkekeh. "Fakta apaan? Fakta bahwa kamu lagi berusaha bikin aku malu?"

Ia hanya tertawa, tawa yang sangat kurindukan.

Kembali ke ruang tunggu. Kenangan itu terasa begitu nyata, begitu dekat, seolah-olah ia masih di sini, duduk di sampingku. Aku memejamkan mata, berusaha mengusir air mata yang mendesak keluar.

Tiba-tiba, sebuah suara membuatku tersentak.

"Asmara?"

Aku membuka mata. Seorang perawat berdiri di ambang pintu, tersenyum ramah. Jantungku berdebar kencang.

"Ya, saya Asmara."

"Mari ikut saya. Langit sudah sadar."

Rasanya seperti ada ribuan kembang api meledak di dalam dadaku. Air mata yang tadi kutahan kini mengalir deras, air mata kelegaan. Aku berdiri, kakiku gemetar. Perawat itu menuntunku ke sebuah kamar. Pintu kamar itu terbuka, dan di sana, terbaring sosok yang sangat kurindukan.

Ia terlihat pucat, tapi matanya terbuka. Ia menoleh ke arahku, dan senyumnya merekah, senyum yang sama seperti saat di taman.

"Asmara," bisiknya pelan.

Aku berjalan cepat menghampirinya, menggenggam tangannya erat. Tangannya terasa dingin, tapi sentuhannya menghangatkanku.

"Langit," suaraku bergetar. "Aku takut."

"Jangan takut," katanya, suaranya parau. "Aku di sini."

"Aku tahu. Aku tahu kamu kuat."

"Aku kuat karena kamu. Kamu yang memberiku kekuatan."

Aku menunduk, mencium tangannya. "Aku sangat merindukanmu."

"Aku juga. Aku merindukan tawamu, merindukan omelanmu, merindukan segalanya tentangmu."

"Kamu janji ya, setelah ini kita ke taman lagi? Kita lihat burung-burung itu. Kita lihat matahari terbenam."

Ia mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Aku janji. Dan setelah itu, kita akan menikah."

Pipiku kembali merona. Ia masih bisa membuatku malu, bahkan setelah semua ini. Tapi kali ini, aku tidak protes. Aku hanya tersenyum, mencium keningnya. Dan di luar, hujan telah berhenti. Sebuah pelangi muncul, melengkung indah di atas taman rumah sakit. Jendela di sudut ruang tunggu, seolah menjadi saksi bisu dari janji yang baru terucap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun