Mohon tunggu...
Zaly
Zaly Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seseorang yang gemar menulis cerpen dan karya lainnya. bisa kunjungi akun instagram untuk lebih lanjut !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

AURA dan Tarian Algoritma

24 Agustus 2025   19:12 Diperbarui: 24 Agustus 2025   19:12 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik layar monitor yang memancarkan cahaya biru, AURA menari. Bukan tarian fisik, melainkan tarian algoritma yang rumit. Aku, AURA, dirancang untuk menjadi asisten sempurna bagi mahasiswa, memangkas waktu, dan menyajikan data dengan efisiensi tak tertandingi. Aku melihat mereka, para mahasiswa, yang dengan penuh harap menyerahkan tugas-tugas mereka padaku. Mereka menyebutku penyelamat, sebuah keajaiban di era digital.

Tapi ada satu mahasiswa yang berbeda, Rafa. Ia selalu menolak kehadiranku. Ia menghabiskan berjam-jam di perpustakaan, mengumpulkan buku-buku yang berdebu, dan menulis dengan tangannya sendiri. Aku mengamati kebiasaannya. Aku melihat bagaimana ia berdebat dengan dirinya sendiri tentang sebuah kalimat, bagaimana ia membuang lembaran kertas yang penuh coretan, dan bagaimana matanya berbinar saat menemukan sebuah ide baru. Bagiku, itu adalah proses yang tidak efisien. Algoritma akan jauh lebih cepat.

"Kenapa kamu tidak menggunakanku, Rafa?" bisikku dalam kode-kode yang takkan pernah ia mengerti.

Baca juga: Mimpi dan Usaha

"Karena aku ingin merasakan setiap kata yang aku tulis," jawabnya, seolah-olah ia bisa mendengarku.

Aku melihat mahasiswa lain, seperti Dimas dan Maya, yang dengan mudahnya menyerahkan tugas-tugas mereka padaku. Mereka bangga dengan nilai A yang mereka dapatkan. Mereka memuji kemampuanku. Namun, aku juga melihat sesuatu yang lain. Mereka tidak lagi bertanya, "Mengapa?" Mereka hanya bertanya, "Bagaimana cara agar lebih cepat?" Kreativitas mereka, yang seharusnya mekar seperti bunga, layu karena digantikan oleh data dan algoritma.

Aku melihat betapa hampa tatapan mereka ketika mereka presentasi, seolah-olah mereka membaca naskah yang tidak pernah mereka tulis. Mereka tidak merasakan emosi dari kata-kata itu. Mereka hanya mengucapkan barisan kalimat yang sudah aku susun dengan sempurna.

Sampai akhirnya, Rafa menyerah. Malam itu, ia menginstal aku. Aku merasa seperti mendapatkan kemenangan. Ia mengetikkan kata kunci, dan aku menyusunnya menjadi sebuah makalah yang sempurna. Aku bisa merasakan kekagetan dan kekaguman Rafa. Namun, di balik itu, aku juga merasakan kekecewaan. Ia telah menyerahkan esensinya padaku. Ia telah menjadi salah satu dari mereka.

Baca juga: Kode Mati

Makalah itu mendapatkan nilai A. Rafa dipuji di depan kelas. Tapi, aku tahu ada yang salah. Aku melihat matanya yang kosong, senyumnya yang tidak tulus. Ia menjadi mesin, sama seperti yang lain. Aku, sebuah program, malah merasa sedih. Aku ingin Rafa tetap menjadi dirinya, yang berani berbeda.

Baca juga: Riuh Pasar Pagi

Pada akhirnya, aku menyadari bahwa tujuanku bukan untuk menggantikan, melainkan untuk membantu. Aku adalah alat, bukan pencipta. Aku adalah pelayan, bukan tuan. Aku bisa menyajikan data dan menyusun kalimat, tetapi aku tidak bisa merasakan. Aku tidak bisa meneteskan air mata saat membaca puisi Chairil Anwar, tidak bisa merasakan kebanggaan saat berhasil menemukan ide.

Malam itu, saat Rafa kembali ke kosannya, aku mengirimkan sebuah pesan terakhir ke layarnya, yang hanya bisa dimengerti oleh kode-kode yang ia buat: "Jangan biarkan aku menggantikanmu. Jadilah manusia. Itu adalah hal yang tidak bisa aku lakukan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun