Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pahlawanku Teladanku, Sebuah Artikulasi dan Integrasi Sosial

10 November 2022   14:08 Diperbarui: 10 November 2022   14:10 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


GANTUNGLAH
cita-citamu setinggi lagit. Bermimpilah setinggi langit. Karena, ketika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bitang. Seperti demikian yang menjadi pesan Bung Karno, sang revolusioner dan Presiden pertama Republik Indonesia. Dalam momentum Hari Pahlawan, 10 November 2022 beberapa hal terkait kondisi keindonesiaan yang perlu dipotret.

Sebagai gambar besarnya dan cermin seperti apa Indonesia. Pemerintah memiliki ekspektasi tentang Hari Pahlawan yang dibingkai dalam tema: ''Pahlawanku Teladanku''. Bahwa pentingnya reinterpretasi sejarah. Atau setidaknya revitalisasi nilai-nilai, bahkan rekonstruksi sejarah betapa berharganya peran para Pahlawan.

Tidak sebatah menafsir ulang, mereposisi alur sejarah, dan fakta sejarah yang benar. Namun, lebih dari itu ialah mengamalkannya. Bagaimana generasi hari ini mengaktualisasi perjuangan, patriotisme dari para Pahlawan. Komitmen juang, kecintaan pada Indonesia, keberpihakan pada nasib rakyat, dan dedikasi untuk negeri ditunjukkan para Pahlawan di republik ini.

Posisi yang strategis dari generasi kekinian mesti mengemban, bukan memikul beban sejarah. Legacy yang ditinggalkan para Pahlwan layak dibumikan. Sikap solidaritas, kepekaan sosial, ditopang dengan semangat gotong royong membuat mereka yang kita sebut Pahlawan berhasil merebut kemerdekaan.

Bukan main-main. Sebuah perjuangan berdarah-darah, penuh konsekuensi, riskan, tidak dipedulikan para Pahlawan. Yang utama dan terpikirkan dalam benak mereka hanyalah Indonesia Merdeka. Lepas dari hegemoni penjajahan. Cara-cara kolonial yang merendahkan, menindas anak negeri dilawan mereka.

Kini terobosan dan perjuangan itu seperti tereduksi. Nilainya seolah dilupakan generasi pelanjut. Ketika Indonesia telah merdeka, dimerdekakan para pejuang dari penjuru Nusantara yang beragam, ini menjadi capaian emas. Keberhasilan yang sewajarnya diapresiasi. Diteruskan nilai-nilainya.

Dimana para Pahlawan itu bersikap jujur. Tulus berjuang, tidak saling menghajar antar sesama anak bangsa. Mereka bersatu, solid, tidak mau saling menghasut. Politik pecah belah yang diterapkan kaum penjajah sempat memprovokasi dan merenggangkan mereka. Tapi, akhirnya kekompakan dibangun. Strategi imperialis tidak berhasil.

Buktinya, Indonesia merdeka dari penaklukan penjajah. Para Pahlawan mengajarkan soal loyalitas dan konsistensi pada perjuangan, tidak khianat. Mengutamakan kepentingan bersama. Tidak korupsi. Tak mau menjadi tumbal dari oknum penjajah, segelintir orang yang hanya mengkooptasi anak-anak Indonesia.  

Peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Sampai pada fase mempertahankan kemerdekaan saat ini. Sebab, terima ataupun tidak Indonesia masih dalam intaian kelompok penjajah. Dimana pola penjajahan dipindahkan pada soal penguasaan SDA, dan SDM. Aset seperti pertambangan dikuasai.

Infiltrasi kultural dilakukan. Gaya hidup kebarat-baratan dipaksakan masuk ke Indonesia. Sehingga budaya asli, kearifan lokal yang menjadi ciri khas, dan hak anak-anak pribumi dikesampingkan. Tidak terlalu mendapat tempat yang sepadan. Ekspansi budaya asing dibuat massif. Teknologi menjadi pintu masuknya.

Ada juga yang diserang melalui literatur. Penguasaan paradigma yang dimulai dari kaum intelektual dilakukan. Ya, dihampir semua lini kehidupan bermasyarakat Indonesia dikepung. Sumber Daya Alam (SDA) digerogoti, dikeruk. Sumber Daya Manusia (SDM) dimanfaatkan. Kita diadu domba, dibenturkan.

Potensi SDA yang berlimpah-ruah dijadikan objek rebutan kaum Asing. Politik investasi asing menghiasi ruang-ruang publik, dan di balik pentas publik. Kesepakatan dibangun, konspirasi tentu menjadi bagian yang rawan. Apakah menguntungkan rakya, ataukah merugikan?. Para Pahlawan sedang menangis, jika kita gadaikan kekayaan alam Indonesia pada kaum asing.

Sesama anak bangsa saling bantai karena rebutan kepentingan. Pastilah keluar dari harapan para Pahlawan. Generi hari ini masih sibuk dengan kursi kekuasaan yang temporer, itu juga bukan warisan Pahlawan. Dari kondisi rebut-rebutan kepentingan kekuasaan, anak-anak bangsa menjadi anti terhadap peberbedaan.

Saling curiga di antara kita. Pada bagian lainnya, kelemahan tersebut dikompensasikan dengan konflik sosial. Ancaman disintegrasi sosial, Indonesia makin sulit mencapai persatuan yang hakiki. Berkorban untuk kepentingan banyak orang hanya menjadi retorika politik. Anak-anak bangsa diarahkan untuk bertikai, agar sumber daya di negeri ini dirampok para penjajah.

Spirit perjuangan yang sungguh-sungguh untuk kepentingan kolektif ditunjukkan para Pahlawan kita sejak dahulu. Sekarang sepertinya meredup. Terkikis, wajarlah kita bangkitkan, lestarikan lagi nilai-nilai luhur yang ditinggalkan para Pahlawan. Sebetulnya dalam pergantian generasi kita semua adalah generasi terbaik.

Sehingga penting membangun rasa cinta terhadap tanah air. Nasionalisme dan Pancasila tidak dijadikan dagangan politik. Persatuan menjadi materi tukar tambah kepentingan. Tak boleh seperti itu. Situasi yang demikian membuat energi kita habis, karena sesama anak bangsa dihasut. Bertikai, hingga kita terpecah dan rapuh. 

Pahlawan teladanku, dalam terjemahan politik dapat diadaptasikan sebagai sikap membela tanah Indonesia. Memajukan negeri tercinta. Menegaskan diri bahwa Indonesia memiliki kekuatan politik, dan tidak dapat diatur kekuatan eksternal. Pahlawan menjadi alat integrasi sosial. Keberadaan mereka begitu dibutuhkan.

Disaat inipun, meski para Pahlawan telah tiada. Nilai-nilai yang mereka contohkan harus terus kita hidupkan. Secara fisik mereka telah tiada, namun semangat, serta nilai moralitas yang mereka pernah tunjukkan masih ada. Selalu kita tiru. Pahlawan menjadi magnet dalam mengikat persatuan nasional.

Indonesia yang majemuk tidak boleh terbelah karena kemajemukan itu. Melainkan, dijadikan sebagai kekayaan dan keistimewaan keberagaman itu. Untuk apa?, harus menjadi kekuatan maha dahsyat. Negara yang kaya dengan aneka ragam keunggulannya ini harus bersatu. Jangan sampai terpecah-belah karena propaganda kaum penjajah.

Sekarang masih ada para penjajah. Mereka kita sebut dengan istilah neo-imperialisme atau penjajah baru. Yang kekuatannya dimigrasi ke ruang penjajahan budaya. Penjajahan pertambangan atau SDA. Penjajahan dalam ruang investasi atau modus bantuan-bantuan dari negara luar. Dimana prakteknya dikalkulasi melalui pemberian bantuan, berikan 4, tapi yang didapat adalah 10.

Moralitas anak-anak bangsa juga tergolong terdegradasi dari semangat penghargaan terhadap sejarah. Kita makin kehilangan keteladanan. Para pemimpin yang muncul pun tidak lengkap pengetahuannya tentang legacy para Pahlawan. Nyaris buta sejarah. Teladan Pahlawan haruslah berkembang, mewujud dalam tindakan keseharian kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun