Mohon tunggu...
Ama Atiby
Ama Atiby Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Pencari ilmu yang takkan pernah berhenti menambah ilmu" http://lovewatergirl.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Siti Nurbaya (Episode 9)

10 Januari 2011   12:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:45 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini sudah yang ketiga kalinya kubunyikan klakson mobil. Kesabaranku sudah hampir habis.

“Kak Ama ni buru-buru banget sih” Gerutu Farah sambil merapikan jilbabnya di sebelahku.

“Dah tau mau bareng, siap-siap kek dari tadi” jawabku kesal.

“Kenapa sih kakak ga minta diantarin aja sama bang Mun? Mobil kan bisa Farah yang pake.”

“Yeee... maunya pake aja, minyak diisniin juga ne, empat hari make mobil bisa sampe sekarat gini.” Ujarku kesal.

Dari dalam mobil kulihat suamiku yang berdiri di teras rumah. Dari bibirnya muncul senyum tipis yang getir. Entah apa yang dia pikirkan, entahlah... kulajukan mobil dengan cepat keluar dari halaman rumah.

“Kak Ama... Farah ga ada uang ne.”

“lho... Emang dibawa kemana uang bulanan kamu itu?”

“Kemarin Farah belanja baju, kirain masih ada sisa, rupanya uangnya dah Farah pake bayar hutang beli parfume. Mau minta ma bunda, kakak tau ndiri kan bunda orangnya pelit banget. Mana mau nambah-nambah jatah bulanan. Klo kak Ama ga kasih, ntar siang Farah bisa kelaparan di kampus. Ga kasihan apa lihat adek minta-minta dan ngutang sana sini yar bisa makan siang” Ujarnya

Huh... pinter banget memelas. Dari dulu adikku yang satu ini memang manja dan pinter banget mengambil hati orang.

“Coba cari dompet dalam tas , ambil dua ratus ribu aja, cukup-cukupin tuh sampe bulan ini.”

Dengan cepat Farah meraih tas ku, mencari dan merogoh dompet kulitku.

“Kak... kayaknya HP nya bergetar nih, Farah angkat telponnya yah... Belum sempat aku menghalangi niatnya, getaran HP telah duluan berhenti. Ah.. syukurlah. Pikirku

“Lho.. kayaknya Cuma Miscall.”

“Far... Tarok balek tu HP dalam tas!! “ Perintahku keras dengan mempelototi matanya.

Dengan segera ia bergegas meletakkan kembali HP tersebut ke dalam tasku. Suasana menjadi hening seketika.

Tak lama kemudian, mobil sudah memasuki pekarangan kampusnya.

“Nanti kalau mau pulang minta jemput sama kak Firda... Ingat..!! Jangan pulang berdua lagi dengan Ryan..!!”

“Iya ah... Kak Ama ne, sekarang dah sama cerewetnya dengan bunda. Huh...” Ujarnya kemudian sambil menutup pintu mobilku.

Baru kemarin rasanya dia menjadi adik kecilku yang lucu, betapa tak kusadari dia telah tumbuh jadi dewasa, sejak beberapa hari yang lalu saat aku dan suamiku memergoki dia jalan dengan Ryan, yang katanya senior di kampusnya. Aku janji tidak akan mengadukan hal ini pada Bunda asalkan dia berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya itu.

*****



“Pagi Ama... tumben cepet banget si penganten baru ini datang.” Sapa Astrid yang melihatku sedang berjalan di parkiran mobil.

“Iya lah... masa berlama-lama terus di rumah.” Jawabku ramah dan menghampirinya.

“Kantor terasa sepi banget ga ada kamu, Ma.”

“ha ha ha... masa sampe segitunya sih.”

Kami berjalan bersama menaiki setiap anak tangga. Ruangan kerja kami memang terletak di lantai 2. Sebuah ruangan yang berukuran 6x10 meter. Didalamnya terdapat enam meja kantor. Tak ada sekat di antara meja-meja tersebut sehingga ruangan ini menjadi kelihatan sangat luas. Diatas mejaku terdapat seperangkat PC yang terhubung dengan internet dan beberapa barisan file binder yang tersusun rapi. Aku memang masih bekerja di salah satu organisasi perwakilan UN (PBB) yang bergerak di bagian pemberdayaan masyarakat korban tsunami. Fokus area kami adalah Kota Banda Aceh, khususnya di kecamatan Meuraxa. Proyek ini adalah salah satu proyek yang masih dipertahankan setidaknya sampai dua tahun kedepan. Sudah hampir dua tahun aku bekerja disini terhitung sejak aku menyelesaikan kuliah di awal tahun 2007. Hanya ada 5 orang karyawan kantor, dan seorang project manager yang berkebangsaan Amerika, namanya David. Diantara karyawan kantor hanya aku yang orang Aceh, sedangkan Astrid berasal dari Medan, Marina dan Budi dari Jakarta, dan Andika dari Bandung. Mereka dulu bekerja sebagai tim relawan sebelum akhirnya bekerja di proyek ini.

Bekerja dengan NGO asing seperti ini memang menjanjikan dari segi pendapatan yang hampir tiga kali lipat dari gaji dan tunjangan pegawai negeri strata III/A. Tapi itu sebanding dengan kerja keras kami, dimana kami harus selalu bekerja dibawah pengawasan seorang professional yang tentu menciptakan peluang terjadinya atmosfir kerja yang under pressure, memicu stress karena harus selalu melakukan pengawasan di lapangan dan membuat laporan, membutuhkan skill dan kecakapan penguasaan teknologi informasi dan tentunya bahasa Inggris, dan sering kali kami harus lembur. Tapi aku sangat menikmati saat-saat bekerja di kantor ini. Walaupun mungkin hanya tinggal beberapa minggu lagi, karena aku berniat akan mengundurkan diri demi meraih cita-citaku.

Hanya ada aku dan Astrid diruangan ini, Andika dan Budi sudah pergi kelapangan, sedang Marina menemani David meeting di kantor pusat. Kulirik Astrid disebelahku sedang sibuk mengecek email. Dengan cepat aku melangkahkan kaki ku ke rest room, tak lupa kuselipkan HP kedalam saku rokku.

Di dalam kamar yang kecil itu, dengan cekatan aku mencari-cari sebuah nomor telepon dan membuat panggilan untuk nomor tersebut. Tak ada jawaban.

Kuulangi lagi membuat panggilan... Ah... dia mengangkatnya... Hening. Tak ada suara.

Kucoba memulai pembicaraan.

“Apa Kabar?”

“eum... baik. Kamu sudah dikantor?”

“Iya.” Jawabku singkat.

“Belakangan ini setiap malam abang selalu merasa gelisah.

eum... abang belum bisa terima kalau Ama sudah menjadi milik orang lain. Abang masih ga terima, bunga hati abang dipetik dan dimiliki orang lain. Maafkan abang, seharusnya abang tidak menceritakan ini pada Ama. Seharusnya abang tidak mengganggu Ama lagi. Tapi abang tidak bisa... Abang bisa gila kalau begini terus.”

Astagfirullah..! Ingat sama Allah bang... Ama bukanlah yang terbaik untuk abang, Insya Allah abang pasti menemukan gadis yang lebih baik dari Ama.” Jawabku iba.

“Jadi inilah penolakanmu...?! Apa itu pemikiran Ama selama ini? Apa menurut Ama gampang untuk melupakan semua cerita kita? Abang jadi berpikir, jangan-jangan Ama yang tidak serius dan tulus mencintai abang, sehingga dengan mudah menerima pinangan orang lain”

“Kok ngomong gitu? Bukan itu yang Ama maksud, sungguh...”

“Sekarang jawab pertanyaan abang... Apa sekarang Ama bahagia?”

Tak bisa lagi rasanya kubendung air mata ini... Mengapa dia mempersoalkan ini...

“Jawab Ama... Apa sekarang Ama bahagia??”

“Iya bang... Ama bahagia.” Jawabku terisak.

Ku berusaha untuk bersikap tegar. Aku harus bisa menyakinkan bahwa cerita kami telah berakhir. Aku tak ingin lebih menyakitinya lagi.

“Ini sudah jalan hidup kita... Ama mungkin tidak membawa berkah untuk abang, lihat saja kehidupan abang sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya, abang mendapatkan pekerjaan yang bagus, percayalah suatu hari nanti abang pasti mendapatkan gadis yang lebih baik pula, lebih baik dari Ama bahkan”

Ya Tuhan... mengapa berat sekali rasanya mengungkapkan semua ini.

“Oh... jadi kamu bahagia sekarang. Kamu tau Ama.. Kamu itu egois... Apa pernah kamu berpikir bagaimana perasaan abang ketika bersama kamu? Kamu yang sukses di pendidikan, Kamu yang sukses di karir. Kamu yang selalu mendapatkan apa yang kamu mau. Kamu yang selalu bercerita tentang pekerjaan-pekerjaanmu di kantor, tanpa memperhatikan betapa iri dan mindernya abang waktu itu. Kalau seandainya abang tidak memperdulikan kamu dan keluargamu, sudah dari dulu abang pinang kamu, walau itu harus dengan menggadaikan motor abang, tapi abang tidak melakukannya, kamu tahu kenapa? Karena abang begitu mencintai kamu dan selalu berpikir untuk memberikan yang terbaik buat kamu, lebih dari apa yang telah kamu dapatkan selama ini. Dan ketika itu sudah abang dapatkan, dengan mudahnya kamu berpaling dari abang, mengapa kamu tidak bisa bersabar... padahal hanya tinggal sebentar lagi saja... “

Kudengarkan dan kucermati setiap perkataannya disela isak tangisnya. Perkataannya telah menggoyahkanku... Ya Tuhan... kenyataan apa lagi ini...

Bersambung

Selanjutnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 10)

Sebelumnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 8)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun