Mohon tunggu...
Ama Atiby
Ama Atiby Mohon Tunggu... Just Me

"Pencari ilmu yang takkan pernah berhenti menambah ilmu"

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Siti Nurbaya (Episode 3)

4 Januari 2011   14:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:58 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Sudahlah Ama... Jangan menangis gitu ah, jadi jelek tuh.” Candanya saat ku mengantarnya ke teras.

Ah... bisa-bisanya dia bercanda disaat seperti ini.

“Boleh Ama bertanya sesuatu? Dan kali ini Ama mau abang jujur.” Tanyaku serius.

“Sebenarnya bagaimana sih perasaan abang terhadap Ama? Selama ini tak pernah pun abang terbuka tentang perasaan...” Belum sempat aku melanjutkan kata-kata, dia langsung meraih lenganku dan mengecup keningku.

“Ini adalah bukti perasaan cinta abang, jangan pernah pertanyakan lagi, semoga ini kecupan pertama di kening Ama. Maaf kalau abang lancang” Ujarnya lirih.

Oh... Betapa kaget aku dibuatnya. Dia memang selalu memberiku kejutan, tapi kali ini sudah keterlaluan. Mengapa dia harus meninggalkan jejaknya di keningku dan sorot mata kesedihan itu baru pertama kali aku melihatnya. Tak tahukah dia, itu semua akan membuatku semakin susah untuk melupakannya.

“Abang pulang dulu ya, selamat untuk pernikahannya. Kamu pasti cantik sekali. Maaf kalau abang tidak bisa hadir karena sejujurnya abang ga begitu tegar melihat kamu mengenakan gaun pengantin cut nyak dhien dan bersanding dengan orang lain.”

Itu adalah pertemuan dan kata-kata terakhiryang diucapkannya sebelum pernikahanku. Dia berlalu, pergi meninggalkanku ditengah kebimbangan dan rasa hampa dalam hati.

***

Butiran bening di pelupuk mata ini sudah terlalu berat untuk ditahan. Hancurlah sudah topeng yang tengah kukenakan. Tak ada keberanian dariku untuk menatap suamiku setelah ijab kabul itu dilaksanakan, apalagi memandangi ayahku yang sedang mengharu biru. Saat ini aku sedang terisak dan larut dalam perasaanku sendiri. Ya Allah... Demi janjiku padamu, telah kupersembahkan hidupku untuknya sejak hari ini, lelaki yang baru sebulan yang lalu kukenal.Ujarku dalam hati.

Pesta pernikahan berlangsung meriah, tak kurang dari 1500 tamu undangan yang hadir menyelamatiku. Kulihat raut wajah kedua orang tuaku yang tampak sangat bahagia karena telah menunaikan tanggung jawab terbesarnya untukku, anak gadis tertuanya.Sebaliknya, tampak sekali wajah keterkejutan sahabat-sahabatku yang datang karena melihatku bersanding di pelaminan dengan seseorang yang tidak mereka kenal. “kutunggu cerita selengkapnya waktu arisan nanti ya...” Bisik Rina saat menyelamatiku, sebelum berlalu pergi bersama sahabat-sabahatku yang lain.

Ah... Rina, sahabatku, maafkan aku klo ini telah mengejutkanmu, tapi aku terlalu larut dengan perasaanku sendiri, sehingga aku tak sempat menceritakannya kepadamu. Mungkinpun karena aku sengaja tak ingin membicarakannya karena nasehat dan pendapat kalian hanya akan membuatku bertambah ragu dan gusar.

Dipelaminan ini kami bagaikan orang asing, tak ada kata yang terucap selain kata-kata terima kasih untuk tamu undangan. Segala macam upacara adat juga dilakukan sekedarnya tanpa komunikasi terlebih dahulu, hanya ada komando dari sesepuh adat dan orang tua kampung. Lelah dan capai sih, tapi aku terus menunjukkan wajah ceriaku seolah-olah ini adalah hariku, hari bahagiaku.

“Kak Ama, kata bunda udah boleh istirahat di kamar, tamu-tamu juga dah ga banyak lagi” Ujar firda yang kemudian membantuku naik ke kamar pengantinku.

“Kak... Firda segan lah ma suami kakak” bisik Firda di telingaku.

Adikku yang satu ini emang kadang ga diduga-duga, pertanyaannya memang wajar, karena diapun sesungguhnya belum terlalu kenal dengan abang iparnya itu.

“ntar juga terbiasa, orangnya emang agak pendiam.” Balasku tersenyum.

Wangi melati tercium menusuk sekali saat aku naik ke kamarku yang terpisah dari rumah utama. Kamar-kamar dilantai dua yang terdiri dari ruang belajar, kamar tidur dan kamar mandi telah banyak di renovasi. Sebelumnya, tidak ada yang menempati kamar di lantai dua sejak selesai dibangun dua tahun yang lalu. Kami semua memilih untuk tidur di rumah utama, selain karena agak terpisah dan tangganya terdapat digarasi, adik-adik dan abangku pun malas kalau setiap hari harus turun tangga. Jadilah kamar-kamar ini terbengkalai. Sejak memutuskan menikah, aku sendiri yang meminta pada bunda untuk menempati kamar tersebut, karena tak ingin bunda pindah dari kamar utamanya.

Memang sudah menjadi adat disini kalau pasangan yang baru menikah akan tinggal dulu sementara di rumah dara baroe (pengantin perempuan) sebelum mereka punya rumah sendiri. Karena itu bunda benar-benar menyiapkan kamar pengantinku semaksimal mungkin.

Untuk dekorasi dan pemilihan perabotan, kuserahkan sepenuhnya kepada bunda, Frida, dan Farah. Sedari awal aku tidak banyak ikut campur dengan persiapan pernikahaan ini. Selain karena aku sibuk bekerja, akupun sedang mempersiapkan diri untuk kuliah lagi, yang berarti harus mengikuti serangkaian tes dan pelatihan pemantapan Bahasa Inggris.

Di ruangan belajar hanya terdapat sebuah sofa panjang dan ambal tebal yang menutupi lantai keramik. Ruangan yang berukuran 4x4 ini masih terlihat kosong, belum ada buku-buku, apalagi meja dan kursi belajar, karena aku belum sempat memindahkannya dari kamarku. Hanya ada sebuah dispenser beserta galonnya dan beberapa gelas minum di atas meja kecil berukuran 60x60 cm disudut ruangan sebelah kiri. Ini pasti meja yang terdapat disudut ruang tamu yang dipindahkan kesini, pikirku. Diruangan ini juga terdapat pintu yang menuju ke kamar tidur yang kosennya telah dihias dengan bunga-bunga hidup, bunga-bunga itu didominasi oleh melati dan mawar yang berwarna merah dan pink dan terlihat masih segar karena dekorasi baru dilakukan tadi pagi, saat aku masih di salon.

Kamar tidur yang berukuran hampir sama dengan ruang tamuku ini juga tak lupur dari tangan bunda. Tempat tidur, lemari, dan meja rias semuanya terbuat dari kayu jati. Kepala tempat tidur juga didekorasi dengan bunga-bunga hidup. Wangi melati dan sedap malam terasa sangat menusuk di kamar ini, belum lagi perpaduannya dengan aroma kayu jati yang memberikan nuansa tersendiri. Kulihat ada sisa kelopak bunga yang berjatuhan di lantai dan tempat tidur. Tamu-tamu yang datang melihat kamar ini mungkin tak kuasa juga untuk menjamah atau mencium bunga-bunga yang begitu menggoda ini. Hm... kalau gorden, ini pasti pilihannya Farah karena berwarna cream dan peach, warna kesukaannya.

Ah... akhirnya bisa menyendiri juga dari keramaian. Baju pengantin dan segala pernak perniknya sudah sangat membuatku gerah. Belum lagi assessoris yang berat di kepalaku, sungguh membuatku pusing. Menjadi pengantin itu melelahkan juga. Tak sabar rasanya untuk merebahkan tubuhku diatas ranjang yang besar ini.

“dek... kamar mandinya mana, abang mau sholat dzuhur”. Perkataan suamiku membuyarkan lamunanku.

Astagfirullah, aku baru sadar kalau aku tidak sendirian di dalam kamar ini. Dengan sigap dan buru-buru aku kancingkan kembali baju pengantinku. Dia hanya memandangiku dengan lugu sambil tersenyum. “Mau abang bantu bukain?” ujarnya. Aku tau dia cuma ingin menggodaku, tapi kenapa aku jadi tersipu malu? Akh... masa bodoh... yang penting aku segera bebas dari pakaian yang menyesakkan ini. Ada pulak ni baju pake acara nyangkut dengan Simplah (perhiasan dada yang terbuat dari perak yang pemakaiannya dengan digantungkan pada kedua pundak dengan cara menyilang dibagian dada dan punggung). Aaarrghhh...

“Sini... abang bantu bukain hiasan kepalanya” Kali ini kuterima saja bantuannya yang ingin membantu membuka culok ok (tusuk sanggul yang menyerupai bunga cempaka) dan ceukam sanggoy (tusuk sanggul yang menyerupai bunga tanjung Sembilan tingkat). Harus sabar memang, salah-salah bisa nyangkut di rambut dan melukai kulit kepalaku. Menyesal juga tadi tak kuajak Firda mengantarku sampai kekamar, kan dia bisa membantuku.

Setelah selesai, kukibaskan rambut panjangku. Kepalaku  terasa lebih ringan sekarang. Kulirik suamiku yang berjarak hanya beberapa centimenter dariku. Kedekatan ini sungguh tak mengenakkan. Aku tak kuasa untuk menatap dirinya, entah karena malu, entah karena asing, entahlah... Ku palingkan wajahku dari tatapan dan matanya. Aku tahu aku berdosa, istri macam apa aku ini yang menolak tangan suami yang hendak menyentuhku.

***

Sebelumnya :

Bukan Siti Nurbaya (Episode 1)

Bukan Siti Nurbaya (Episode 2)

Selanjutnya :

Bukan Siti Nurbaya (Episode 4)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun