Mohon tunggu...
Ama Atiby
Ama Atiby Mohon Tunggu... Just Me

"Pencari ilmu yang takkan pernah berhenti menambah ilmu"

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Siti Nurbaya (Episode 2)

3 Januari 2011   08:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:00 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Maimun.” Jawabnya singkat. “Klo ade panggilannya apa?” Sambungnya lagi.

“Panggil aja Ama.”

Lelaki ini betul-betul pendiam, pikirku. Pembicaraan hampir selalu aku yang memulai dan mendominasi. Ini memang pertama kalinya kami keluar berduaan. Semenjak bertemu di luar restoran, tak banyak kata yang dia ucapkan. Aku memang tidak mengizinkannya untuk menjemputku dirumah. Pertemuan kami terbilang singkat. Aku tiba 30 menit sebelum waktu berbuka puasa, dan pulang lebih awal karena mengejar sholat tarawih. Dia juga kelihatan sangat canggung, seperti baru pertama kali keluar dengan seorang wanita (baru ku kuketahui kemudian ternyata pertemuan ini memang kali pertamanya berta’aruf dengan wanita di luar rumah).

Aku banyak bercerita perihal pekerjaan, cita-cita dan keinginan untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri yang berarti harus tinggal berpisah dan berjauhan, dengan memberi penekanan bahwa aku tak ingin dibatasi dan terikat (maksudku ingin membuatnya mundur dari niatnya melamarku, karena aku tidak mungkin menolak, maka aku ingin membuatnya untuk mundur dengan cara ‘halus’). Tapi ternyata respon yang aku dapatkan malah sebaliknya.

“apapun yang ade lakukan, asal demi kebaikan, abang tidak akan melarang dan membatasi”.

Ya Tuhan... Ternyata orang ini benar-benar sungguh dengan niatnya. Entah dengan cara ‘halus’ apalagi yang bisa aku katakan untuk mengurungkan niatnya. Aku tak mungkin menceritakan tentang hubunganku dengan pacarku, yang berarti secara terang-terangan menolaknya.

“Bagaimana pertemuannya?” Tanya bunda yang menyambutku di depan pintu. Tak bisa kubendung lagi rasanya air mata ini.

“Percepat aja terus nikahnya, biar semua cepat selesai. Habis mau gimana lagi? Bunda juga ga mau kan kakak ingkar ma Janji, dia mau pernikahannya dilangsungkan habis lebaran. ”

“Apa..?!!! Habis lebaran?? Kakak ga sedang merajuk kan bilang gitu?” Seru bunda kaget.

“ Kenapa buru-buru? Kita belum ada persiapan apa-apa. Apa ga sebaiknya kalian tunangan dulu.”

“Dia ga mau bertunangan karena dalam waktu dekat ini kakak akan berangkat ke luar negeri, dia mau langsung nikah aja biar semua ada kejelasan dan kepastian” Ujarku lemah.



***



Semua persiapan pernikahan dilakukan setelah lebaran oleh kedua orang tuaku, mulai dari tempat akad nikah, pesta, sampai dengan pemilihan baju pengantin dan tetek bengek lainnya. Sedang aku... Aku terus sibuk dengan pekerjaan-pekerjaanku. Pergi pagi-pagi sekali dan pulang menjelang magrib. Sms dan telepon dari calon suamiku jarang bahkan tak pernah kugubris dan kutanggapi.

Aku justru memikirkan bagaimana cara memberitahukan rencana pernikahan ini pada pacarku yang saat ini sedang menghabiskan liburan puasa dan hari raya di kampungnya. Dia tahu klo aku akan di lamar, tapi dia tidak kuberi tahu kalau rencana pernikahanku yang di percepat. Hatiku telah terlanjur sakit mendengar pengakuannya yang belum siap menikahiku, karena alasan klasik, belum mendapatkan pekerjaan tetap. Ah... Persetan dengan pekerjaan, yang kubutuhkan cuma kepastian klo dia berniat untuk serius denganku, setidaknya untuk menyakinkan kedua orang tuaku. Dan ternyata ia belum punya cukup nyali untuk melakukannya.

Dua minggu menjelang acara, orang tuaku semakin intense mempersiapkan pesta pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Dari persiapan kamar pengantin, dekorasi rumah, pelaminan, jumlah undangan, menu hidangan, ah... terlalu kompleks untuk aku jelskan satu persatu. Entah bagaimana cara mereka melakukan semuanya dalam waktu yang singkat begitu. Tapi yang jelas, satu yang kutanggap, orang tuaku benar-benar bahagia dengan pernikahan ini, seolah-olah peristiwa ini adalah hal yang paling mereka nantikan. Tak bisa kulupakan bagaimana senangnya bunda memilihkan perabotan baru untuk kamar pengantinku. Berlebihan memang, tapi itulah bunda yang tak mampu menghilangkan sisi glamornya termasuk untuk pesta pernikahan ini.

“Kak Ama... ada tamu...!” Seru Farah yang memanggilku dari kamar.

“Siapa Far...?”

Kelihatan ragu-ragu farah menjawab “Bang Satria.”

Dengan bergegas aku mengenakan kembali jilbabku dan keluar berlari ke teras. Oh... Betapa aku merindukannya, sungguh...aku sangat merindukannya. Melihat sosoknya yang sedang memarkir Yamaha Scorpio kesayangannya. Rasanya tak kuasa diri ini untuk menumpahkan seluruh rasa sesak di dada.

“Kok murung gitu? Bukannya senang abang datang” Sapanya ditengah kebisuanku. Dia lalu menjulurkan satu kantong plastik yang sudah bisa kutebak apa isinya, ikan asin kegemaranku yang khas dari kampungnya.

Tak terbilang rasa yang berkecamuk dalam diri ini. Ya Tuhan... Bagaimana caraku menceritakan acara pernikahan ini? Mengapa dia tiba-tiba datang seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Tak tahukah dia betapa dia telah sangat mengecewakanku? Tak tahukah dia betapa aku membutuhkannya saat ini?

“Jadi, ga dipersilahkan masuk ne?” Bisiknya, membuyarkan lamunanku. “atau mau abang ajak jalan-jalan, kayaknya dah rapi dan cantik banget”

“Ama baru pulang, tadi ke pasar dengan bunda.” Jawabku sekaligus mempersilahkan dia masuk.

“Hm... kok kayaknya ada yang lain dengan dekorasi rumah ini”.

Setelah berbasa-basi dengan orang tua dan adik-adikku, dia lalu menghampiriku.

“Memang tadi kemana aja dengan bunda?” Tanyanya setelah kupersilahkan dia duduk.

“Ke toko perabot” Tanpa memberi kesempatan untuknya bertanya lebih lanjut, aku langsung balik bertanya maksud kedatangannya.

“Kok ga bilang-bilang mau mampir? Memang kapan balik dari Nagan (Nama kabupaten di Provinsi Aceh)?” Tanyaku jutek.

“Tadi malam. Sengaja mau kasih kejutan. Sekaligus abang mau mendengar cerita langsung tentang pembicaraan kita yang sempat terputus lewat teleponbeberapa waktu yang lalu. ” Suasana menjadi hening seketika.

“Maksudnya apa? Bukankah abang sudah mengambil sikap klo abang belum siap untuk menikah dalam waktu dekat ini. Jadi ga ada yang perlu dibahas lagi.” (Ah... mengapa mulut ini menjadi tak terkontrol seperti ini)

“Abang akui telah menggantung Ama selama tiga tahun ini, tapi mohon pengertiannya. Bukan tak ada niat untuk melamar, tapi kan tidak segampang itu untuk malamar anak orang, bukan perinsip abang mengharapkan bantuan dari orang tua untuk menikah. Ama tau sendiri kan abang baru aja selesai kuliah dan lagi dalam proses mencari pekerjaan. Abang serius dengan hubungan ini dan sangat ingin berumah tangga dengan Ama.”

“Sebenarnya beberapa waktu yang lalu abang ikut tes pegawai di bank **** dan abang sudah berniat, kalau lulus nanti, abang akan mengajak orang tua abang untuk melamar Ama. Sebenarnya abang maunya ini menjadi rahasia dulu. hehe“ lanjutnya lagi.

“Kemarin pengumumannya, dan ternyata abang lulus, makanya langsung kesini ingin berbicara langsung dengan Ama, dan semoga abang belum terlambat.”

Tersentak aku mendengar pengakuannya. Bukan jawaban ini yang kuharapkan. Ini tak seperti yang kubayangkan. Mengapa kemarin-kemarin dia tidak menjelaskan ini. Mengapa harus ada rahasia. Tiga tahun belakangan ini tak ada pun keseriusannya untuk membahas masalah pernikahan. Bahkan sempat tepikir olehku kalau dia sebenarnya tidak mencintaiku dan tidak ingin serius denganku.

“Lho... Kok diam” Ujarnya ditengah kebingunganku.

“Percuma... Sudah terlambat” Ujarku lirih.

“Lamaran sudah dilaksanakan. Tanggal 20 nanti Ama akan menikah” Lanjutku tanpa bisa membendung lagi air mata yang mengalir dipipi ini.

Aku tau ini tak adil untuknya, apalagi untukku. Pikiranku kosong... Hampa... Oh Tuhan... Mengapa jadi seperti ini. Mengapa dia tidak mengatakan niat itu sebelumnya dan mengapa hanya karena kesal dan merajuk aku jadi terburu-buru mengambil keputusan untuk menerima lamaran itu. Rasanya aku tak sanggup berkata-kata karena air mata sekali lagi telah membisukanku di ruang tamuku ini.

***

Sebelumnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 1)

Selanjutnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 3)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun