Mohon tunggu...
Konstan Aman
Konstan Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu yang Berduka di Desember

6 Desember 2020   21:53 Diperbarui: 6 Desember 2020   22:03 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture: Rilivstory.com


Suasana alam sore itu sangat sejuk dan damai. Angin timur bertiup sepoi menyejukkan gerah yang tersematkan sejak siang tadi. Kabut pun mulai menyemburkan warna jingga, menggumpal menutupi sebagian puncak bukit yang menjulang di kejauahan sana. Mentari perlahan-lahan temaram bersembunyi di balik cakrawala. Udara dingin telah terasa. Lorong-lorong kecil perlahan-lahan tampak sepi. Dari jauh, terlihat para pemuda berjaket berjalan dalam gerombolan. Mereka  terlihat penuh ria dalam senggama guyonan jenaka. gelak tawa mereka sedikit memecahkan kesunyian di senja yang sudah tampak gelap itu.


Pada penghujung senja itu, sesosok gadis penyejuk mata tengah berselimutkan sepi di bibir lapangan. Ia tampak gelisah seakan tak ada setetes kesejukan di kedua bola matanya. Mudah ditebak,  kalau saja wilayah-wilayah jiwanya seakan tak menyala lagi hingga temaram bathinnya selalu getir. Gadis  berwajah anggun itu bernama Sebet. Pada sebuah bangku panjang di tepi Taman  Sari adalah tempat akrab baginya untuk mengisahkan cerita senja. Sendiri dan menyepi adalah pilihannya setiap kali senja berpintu. Yah, kelihatan dari air mukanya ia memang seorang gadis kota pengagum  senja.
Kali ini dalam kesendiriannya yang lagi-lagi tak seperti biasanya. Ada pemandangan lain yang terpampang di wajah anggunnya itu. Ia tampak sendu. Senja pun saat itu sedikit tak memahami perasaannya. Gerimis mengundang, memaksanya  untuk tetap bermenung seorang diri. Sungguh ia kembali berseteru dalam sepi dan sunyi.


"Kenapa kata-kata yang tersimpan di bibirku akhirnya hilang begitu saja ketika aku ingin mengucapnya padamu?" rintihnya saat udara malam mulai menghela tubuhnya. "Ah barangkali segala sesuatu tak mesti butuh kata! Cukup saja kecup di mata dan itu sudah mewakili seluruh kata", desahnya dalam hati.
Ia bermenung dalam alunan detakan sang waktu. Jarum arlojinya selalu mengisyaratkan bahwa waktu terus beranjak maju. Perasaannya kian berkecamuk. Sesekali ia menyalahkan waktu entah karena terlambat ataupun terlalu cepat. Dan semakin memaksanya untuk benar-benar tersesak oleh kesakitan hatinya.
Adalah masa lalu yang membuat hatinya kini seolah-olah membisu dan tak berani untuk menerima cinta lagi.


***
Ia pernah jatuh cinta dengan seorang lelaki tampan sejak mereka berseragam putih abu-abu di sekolah yang sama di Labuan Bajo. Kala itu ia dikenal sebagai seorang pemalu dan mudah cemburu sedangkan kekasihnya itu dikenal pendiam dan murah senyum. Mereka juga berasal dari daerah yang berbeda namun menyatu dalam tujuan serupa yakni belajar untuk menggapai mimpi dan cita-cita. Ia berasal dari keluarga yang boleh dibilang bersahaja sedangkan kekasihnya berasal dari kabupaten lain di Flores dengan adat istiadat yang tentunya berbeda dengannya. Sekalipun demikian, ikatan cinta nyatanya telah menyatukan mereka berdua. Dan cinta pulalah yang mampu merekatkan perbedaan di antara mereka hingga tidak mudah goyah.


Jalinan asmara mereka nampak adem dan terus bertahan hingga mereka bersama-sama ke jenjang kuliah. Namun tempat kuliah mereka kala itu saling berjauhan. Sebet memilih untuk kuliah di kampus terdekat sedangkan kekasihnya di kampus yang sangat jauh yaitu di luar daratan Flores. Jarak dan waktu selama mereka studi di bangku kuliah membuat mereka mengerti akan arti dari sebuah kesetiaan. Suka dan duka selalu silih berganti mengiringi perjalanan cinta mereka berdua. Mulai dari kecurigaan karena tidak saling memberi kabar via telepon, pesan singkat, WA, inbox-an di Facebook dan sebagainya. Sehari saja tak saling kabar membuat rasa curiga dan gelisah terkadang memaksa air mata Sebet jatuh. Kangen-kangenan terus mendesak perasaan Sebet agar secepatnya bertemu dengan kekasihnya itu.


Memadu asmara dengan status LDR (long distance relantionship) merupakan sebuah kenyataan yang cukup berat dalam jalinan asmara mereka. Butuh pengorbanan, kepercayaan, dan perjuangan yang teguh serta dibarengi juga oleh komitmen yang tulus di antara mereka. Sekedar mengirim pesan singkat (sekalipun dengan sekedar collect pesan singkat) atau mengirim emoji senyum di pagi hari saja akan sungguh sangat berarti sebagai tanda perhatian satu sama lain. Biar bagimanapun suka duka itu mereka tetap lalui sekalipun di sela-sela kesibukan kuliah mereka masing-masing.
Empat tahun rupanya mereka berhasil melewati masa tersulit dari hubungan asmara yang mereka jalani. Kesetiaan dan saling percaya adalah taruhan sejati yang mampu meruntuhkan jarak dan waktu.
Sebet telah menjadi seorang bidan desa yang menawan. Ia mengabdi di salah satu Puskesmas di Labuan Bajo. Sedangkan kekasihnya telah menjadi seorang kontraktor di daerahnya. Dua tahun lamanya mereka menggeluti bidang pekerjaan mereka masing-masing hingga pada akhirnya mereka sepakat untuk mengikat sumpah setia seumur hidup yakni menikah. Sebet merasa dirinya sudah pantas dan dewasa untuk menjadi seorang istri bagi kekasihnya serta menjadi seorang ibu yang baik. Demikian pun kekasihnya dengan segala keyakinan yang dimilikinya bersedia untuk meminang Sebet menjadi pedamping hidupnya sampai maut memisahkan.


Untuk mewujudkan kesepakatan ini, kekasihnya pun segera menemui Sebet serta orang tuanya di Labuan Bajo. Cinta dan ketulusan telah meyakinkannya untuk memberanikan diri. Ia datang dengan perasaan yang menggelora, menemui sang bidadarinya menuju pelaminan. Sekalipun ia harus menempuh perjalanan jauh dan mengabaikan cuaca yang tak bersahabt di awal tahun.  Semangatnya tak pernah surut demi sang bidadari yang menunggunya di Labuan Bajo.


Saat itu adalah Januari 2019. Bulan di mana bumi memadu asmara dengan langit lewat rintikan hujan rindu. Bulan di mana semua rindu jatuh rubuh dan runtuh. Namun rupanya tidak bagi Sebet dan kekasihnya. Adalah orang tua Sebet yang tidak merestui niat tulus sang kekasih, lantaran perbedaan budaya yang mereka miliki. Orang tua Sebet secara kejam mematahkan tali
asmara mereka. Sungguh hati siapa yang berani bertaruh ketika kedatangan sang calon anak mantu disambut dengan wajah sinis dan masam yang ditunjukkan oleh kedua orang tua Sebet. Segala bentuk alasan penolakan mereka lontarkan dengan dialek Manggarai Barat yang sangat khas.
Bahkan semua bentakan keras dari ayah Sebet, sungguh menolak niatnya untuk meminang Sebet anak mereka untuk menjadi pendamping hidupnya. Sekali-kali ia memohon dengan air mata yang sudah tak bisa dibendung lagi menetes agar ia dibiarkan masuk untuk menemui Sebet sang kekasihnya di dalam rumah. Namun sontak mereka menolaknya dengan bahasa dan kata-kata yang menyakitkan bahwa Sebet telah memiliki calon jodohnya sendiri di Labuan Bajo.


Layaknya sebuah duri telah menikam menyayatkan hati. Sakit dan perih menghantamnya sekaligus. Sedangkan Sebet sendiri dibekam agar tidak diperkenankan bertemu dengannya. Ia dibekap di dalam kamarnya sendiri sedangkan kekasihnya itu hanya diam melantung di luar. Saat itu hujan sedang turun dengan derasnya. Mungkin juga turut merasakan duka yang meliputi kisah asmara mereka berdua saat itu. Sungguh sangat teriris dan perih hati Sebet. Bantal dan kasur adalah saksi kedukaan hatinya lewat cucuran air mata yang tak kunjung henti. Hanya air mata yang terus berlinang sebagai ungkapan hatinya yang penuh kesakitan itu.
Harus bagaimana lagi kenyataan cinta beda budaya telah berhasil meruntuhkan cinta suci mereka berdua.


***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun