Mohon tunggu...
Amanda S
Amanda S Mohon Tunggu... Konsultan - A full time worker. A part-time student and dreamer. A singing and dancing enthusiast. A cat and book lover:) follow me on twitter @amandaind .

A full time worker. A part-time student and dreamer. A singing and dancing enthusiast. A cat and book lover:) follow me on twitter @amandaind .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Dia

3 Juni 2020   17:12 Diperbarui: 3 Juni 2020   17:26 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku takut terlalu hanyut dalam tarikan frekuensi kami yang cukup selaras. Aku takut akan kecewa kalau misalkan interaksi ini menuju ke suatu arah yang tidak sesuai harapan. Aku takut kami akan saling membuat kecewa satu sama lain. Aku takut kami tidak bisa berdamai dengan trauma masing-masing. Aku takut tidak bisa menerima dia dengan seutuhnya ataupun sebaliknya. Aku takut akan ada banyak penentangan dari orang-orang terdekat kami.

Serangkaian takut itu aku simpulkan bermuara dari satu hal: ketidakpastian. Sebenarnya, suatu hal yang pasti dalam kehidupan ini adalah ketidakpastian. Namun mengapa dalam suasana pandemi Covid-19 ini ketidakpastian menjadi sangat meresahkan? Sama seperti ketika kita sedang menjalin hubungan dengan seseorang, mengapa ketidakpastian sering menjadi tanda tanya? Sementara sejatinya tanpa ada kejadian yang luar biasa pun, dalam hidup kita sebenarnya selalu diwarnai ketidakpastian.

Ya, seseorang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok, atau bahkan beberapa jam kemudian. Manusia hanya berasumsi bahwa segala hal tidak akan mengalami perubahan di luar yang dia harapkan, sehingga cenderung merasa nyaman bahkan kadang terlalu nyaman hingga menghabiskan waktu dengan serangkaian aktivitas yang tidak berguna.

Jika memang sudah sadar bahwa ketidakpastian adalah sesuatu yang pasti dalam hidup ini, mengapa aku tidak berani mengambil risiko? memaksa diri keluar dari zona nyaman adalah cara yang efektif untuk membuat diriku semakin berkembang. Itulah inti dari suatu kehidupan bukan? selalu belajar dan berkembang menjadi lebih baik. Tanpa mau menempuh risiko apapun, maka seseorang akan berhenti berkembang dan dia tidak benar-benar hidup. Seseorang hanya akan menjadi robot yang bernafas dan menjalani hidup tanpa makna, hanya diikat oleh serangkaian rutinitas dan kebutuhan untuk menjalani hidup.

Aku meraih ponsel dan alih-alih membalas pesannya, aku justru menelponnya, menceritakan segala kegalauanku. Ternyata reaksinya tidak seperti yang aku bayangkan. Dia sangat mengerti posisi dan kondisi kami masing-masing. Yang membuat aku kaget sekaligus senang adalah dia tidak berminat untuk mundur sebelum maju mencoba. Cara dia mengambil keputusan yang tampaknya lebih banyak dilandasi oleh logika bisa mengimbangi keputusanku yang kadang terlalu banyak dilandasi oleh overthinking.

Aku memutuskan sambungan telepon. Hatiku terasa hangat dan masih susah percaya dengan rangkaian percakapan kami yang berlangsung selama hampir dua jam barusan. Aku harus menyaksikan dia mengucapkan kalimat itu di depan mataku langsung. Aku ingin melihat reaksi dia saat mengucapkannya. Aku ingin merasakan kesungguhan yang tampak di matanya saat dia mengucapkan itu.

Ponsel di genggamanku kembali bergetar pelan. Ada pesan masuk lagi dari dia.

'I'm not giving up.

And you'd better not either.

Belum dimulai, masa mau mundur'

Aku tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun