Mohon tunggu...
Amanda S
Amanda S Mohon Tunggu... Konsultan - A full time worker. A part-time student and dreamer. A singing and dancing enthusiast. A cat and book lover:) follow me on twitter @amandaind .

A full time worker. A part-time student and dreamer. A singing and dancing enthusiast. A cat and book lover:) follow me on twitter @amandaind .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Dia

3 Juni 2020   17:12 Diperbarui: 3 Juni 2020   17:26 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari kedua Lebaran di tahun 2020. 

'Can i come by later?' 

Mendadak pesan di WA dari dia tampak di layar seukuran 5,8 inchi ini. Pria ini masih berusaha menemuiku lagi untuk kedua kalinya sejak aku berkenalan dengannya. Sejak tidak ada satu pun hari yang terlewatkan tanpa ada percakapan kami di WA. Sejak tanggal 12 Maret kami bertukar sapa pertama kalinya di dunia maya. 

Tanggal tersebut menjadi sesuatu yang bermakna cukup dalam untuk aku. Sehari setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO, pada tanggal 12 Maret 2020, beberapa saat setelah tampak tulisan 'matched', muncul pesan singkat di aplikasi tersebut. Setelah saling menyapa dengan menyebutkan nama panggilan dan mengetik ucapan salam kenal, dia melontarkan pertanyaan yang masih aku ingat jelas sampai sekarang: 'Suka kopi?' 

Suatu opening line yang tidak termasuk kategori kreatif tapi juga tidak membuatku ilfil. Pertanyaan yang lugas, sederhana, seperti kesan yang aku tangkap dari foto yang ada di profilnya. Dia memiliki senyum yang ramah dan tulus, sesuai dengan pandangan matanya yang terkesan friendly. Tulisan singkat dalam bahasa Inggris yang baik di profilnya pun langsung menangkap perhatianku: 'Not sure what to expect. But why not giving this a chance. Life is already full of surprise anyway' 

Setelah 9 bulan menginstall aplikasi ini di ponsel, setelah 7 kali hampir meng-uninstall tapi selalu tidak jadi, setelah 3 kali aku menghabiskan waktu dan energi untuk berkenalan dengan tiga orang yang berbeda, dan setelah 1 kali merasakan pertama kali di-ghosting, akhirnya aku menemukan seseorang yang layak disebut sebagai teman dekat.

Yah, dibilang teman juga tidak sepenuhnya benar sih, karena setelah sekitar 1 bulan kami mengobrol di WA dengan cukup intens, dia mengucapkan terima kasih karena merasa ada yang menemani selama anjuran tidak keluar rumah karena Covid-19 ini. Dia bilang tidak sedang mencari teman dan aku juga tidak.

Setelah percakapan yang cukup jujur menjelang pergantian hari itu, obrolan kami setiap hari di WA menjadi semakin dalam dan intens. Kadang di saat kami sudah saling merebahkan tubuh di kasur masing-masing, maka obrolan di WA menjadi semakin tidak basa basi. Aku suka menulis, sehingga ketika ada seseorang yang juga suka berinteraksi dengan tulisan, maka aku menyambutnya dengan senang hati. Terkadang memang tidak semua emosi bisa tersampaikan dengan tulisan, sesimpel kadang seseorang perlu menambahkan pengulangan vocal di akhir suatu kata agar jawabannya tidak terkesan 'jutek' bagi yang membacanya.

Kembali ke aku dan dia, saat ini kami berdua sedang berada di situasi yang sama: terpaksa menghabiskan banyak waktu di rumah. Walapun tidak pernah merasa stress berlebihan karena tidak bisa beraktivitas di luar rumah dengan normal tetapi lama kelamaan kami mulai menemukan penghiburan dengan saling bertegur sapa setiap hari.

Saat ini, kami berdua sedang berada dalam situasi yang sarat dengan tantangan, kalau tidak mau disebut sebagai suatu rintangan.

Saat ini, aku cukup sering berdialog dengan diri sendiri dan terkadang mengadu kepada Tuhan di atas sajadah.

Aku takut terlalu hanyut dalam tarikan frekuensi kami yang cukup selaras. Aku takut akan kecewa kalau misalkan interaksi ini menuju ke suatu arah yang tidak sesuai harapan. Aku takut kami akan saling membuat kecewa satu sama lain. Aku takut kami tidak bisa berdamai dengan trauma masing-masing. Aku takut tidak bisa menerima dia dengan seutuhnya ataupun sebaliknya. Aku takut akan ada banyak penentangan dari orang-orang terdekat kami.

Serangkaian takut itu aku simpulkan bermuara dari satu hal: ketidakpastian. Sebenarnya, suatu hal yang pasti dalam kehidupan ini adalah ketidakpastian. Namun mengapa dalam suasana pandemi Covid-19 ini ketidakpastian menjadi sangat meresahkan? Sama seperti ketika kita sedang menjalin hubungan dengan seseorang, mengapa ketidakpastian sering menjadi tanda tanya? Sementara sejatinya tanpa ada kejadian yang luar biasa pun, dalam hidup kita sebenarnya selalu diwarnai ketidakpastian.

Ya, seseorang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok, atau bahkan beberapa jam kemudian. Manusia hanya berasumsi bahwa segala hal tidak akan mengalami perubahan di luar yang dia harapkan, sehingga cenderung merasa nyaman bahkan kadang terlalu nyaman hingga menghabiskan waktu dengan serangkaian aktivitas yang tidak berguna.

Jika memang sudah sadar bahwa ketidakpastian adalah sesuatu yang pasti dalam hidup ini, mengapa aku tidak berani mengambil risiko? memaksa diri keluar dari zona nyaman adalah cara yang efektif untuk membuat diriku semakin berkembang. Itulah inti dari suatu kehidupan bukan? selalu belajar dan berkembang menjadi lebih baik. Tanpa mau menempuh risiko apapun, maka seseorang akan berhenti berkembang dan dia tidak benar-benar hidup. Seseorang hanya akan menjadi robot yang bernafas dan menjalani hidup tanpa makna, hanya diikat oleh serangkaian rutinitas dan kebutuhan untuk menjalani hidup.

Aku meraih ponsel dan alih-alih membalas pesannya, aku justru menelponnya, menceritakan segala kegalauanku. Ternyata reaksinya tidak seperti yang aku bayangkan. Dia sangat mengerti posisi dan kondisi kami masing-masing. Yang membuat aku kaget sekaligus senang adalah dia tidak berminat untuk mundur sebelum maju mencoba. Cara dia mengambil keputusan yang tampaknya lebih banyak dilandasi oleh logika bisa mengimbangi keputusanku yang kadang terlalu banyak dilandasi oleh overthinking.

Aku memutuskan sambungan telepon. Hatiku terasa hangat dan masih susah percaya dengan rangkaian percakapan kami yang berlangsung selama hampir dua jam barusan. Aku harus menyaksikan dia mengucapkan kalimat itu di depan mataku langsung. Aku ingin melihat reaksi dia saat mengucapkannya. Aku ingin merasakan kesungguhan yang tampak di matanya saat dia mengucapkan itu.

Ponsel di genggamanku kembali bergetar pelan. Ada pesan masuk lagi dari dia.

'I'm not giving up.

And you'd better not either.

Belum dimulai, masa mau mundur'

Aku tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun