Mohon tunggu...
Amalia Shofie Sahirani
Amalia Shofie Sahirani Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA

Saya adalah seorang guru lulusan PPG Prajabatan gelombang 1 tahun 2023 yang memiliki hobi travelling, menonton film, dan mempelajari hal hal baru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Siklus Bullying: Korban Bisa Berpotensi Menjadi Pelaku Berikutnya

12 Maret 2024   21:00 Diperbarui: 12 Maret 2024   21:10 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perilaku Bullying bukanlah masalah baru dalam dunia pendidikan, salah satu aspek yang sering diabaikan adalah kemungkinan korban bullying berubah menjadi pelaku berikutnya. Menurut Schott (2014), bullying merupakan perilaku agresif individu baik secara fisik maupun verbal. Bullying juga terkait dengan kekerasan sosial dan disfungsi kelompok yang dinamis. Perilaku bullying tersebut berulang dan menghasilkan perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Dalam hal ini, perbedaan kekuatan mengacu pada persepsi kemampuan fisik dan mental.
Fenomena bullying ini membuka ruang bagi diskusi yang mendalam tentang bagaimana siklus bullying dapat mempengaruhi dinamika sosial di sekolah dan perlunya tindakan preventif yang lebih proaktif. Ketika seorang siswa menjadi korban bullying, pengalaman traumatis tersebut dapat memicu reaksi psikologis yang beragam. Rasa malu, rendah diri, dan perasaan tidak berdaya seringkali mendominasi pikiran korban. Sayangnya, dalam beberapa kasus, hal ini dapat merangsang perubahan perilaku yang signifikan. Sebagai contoh, korban bullying mungkin mencoba untuk menghadapi rasa tidak aman mereka dengan mengadopsi perilaku agresif terhadap orang lain. Dalam situasi ini, korban menjadi pelaku, memulai lingkaran berbahaya dari perundungan.
Tidak hanya faktor internal yang memengaruhi transformasi ini, tetapi juga faktor lingkungan di sekitar siswa. Lingkungan sekolah yang tidak responsif atau bahkan mendukung terhadap perilaku bullying dapat memperkuat siklus tersebut. Misalnya, jika siswa yang menjadi korban tidak mendapatkan dukungan dari guru atau staf sekolah, mereka mungkin merasa bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan pengakuan adalah dengan meniru perilaku yang mereka alami. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua korban bullying akan berubah menjadi pelaku.
Banyak faktor dapat mempengaruhi apakah seseorang akan terjebak dalam siklus ini, termasuk dukungan sosial yang mereka terima, keterampilan pemecahan masalah, dan kepercayaan diri mereka. Tobing & Lestari (2021) melakukan penelitian melalui kajian literatur tentang dampak bullying bagi kesehatan mental anak yang terdiri dari semangat korban yang menurun, korban merasa sakit hati setelah dibully, korban merasa paling bersalah diantara yang lainnya sehingga biasanya korban cenderung lebih sering menyendiri. Selain itu, kepercayaan diri korban menurun, berkurangnya semangat hidup korban dan cenderung tidak bergairah. Namun, bagi sebagian anak, emosi mereka dapat semakin meningkat sehingga cenderung ingin membalaskan dendam serta berniat melakukan hal yang telah mereka alami terhadap orang lain.
Dalam beberapa kasus, korban mungkin merasa bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan pengakuan atau kekuatan adalah dengan menjadi pelaku bullying sendiri. Meskipun tidak semua korban bullying akan mengalami transformasi ini, penting untuk diakui bahwa risikonya tetap ada. Oleh karena itu, langkah-langkah preventif yang lebih proaktif harus diambil di lingkungan sekolah. Program anti-bullying yang komprehensif dan terstruktur harus diterapkan, yang tidak hanya menekankan pada hukuman terhadap pelaku, tetapi juga pada dukungan yang diberikan kepada korban.
Bagaimanapun, pencegahan adalah kunci dalam menangani siklus bullying. Sekolah memiliki peran krusial dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung untuk semua siswa. Program anti-bullying yang efektif harus tidak hanya fokus pada penegakan hukuman terhadap pelaku, tetapi juga pada pendekatan yang holistik untuk meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional siswa.
Guru di sekolah memiliki peran meminimalisir adanya perlakuan bullying terhadap siswa hingga membantu mengatasinya, dalam hal ini membimbing siswa menjadi lebih baik secara moral. Setiap pendidik perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mengidentifikasi tanda-tanda perubahan perilaku pada siswa dan memberikan dukungan yang tepat kepada korban yang terlibat perlakuan bullying. Upaya serupa yaitu dengan mengoptimalkan peran guru BK, yakni melakukan pelayanan konseling seperti mengidentifikasi, menganalisis, dan mengatasi permasalahan bullying pada siswa dengan memberikan intervensi yang sesuai.
Selain itu, upaya kolaboratif dengan orang tua dan masyarakat setempat juga penting untuk menciptakan budaya sekolah yang mengutamakan keselamatan, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan. Kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat lebih luas juga penting untuk menciptakan budaya yang menolak bullying dan mempromosikan rasa saling menghargai dan empati. Dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, kita dapat menghentikan siklus bullying di lingkungan pendidikan dan menciptakan tempat belajar yang aman dan inklusif bagi semua siswa.

Daftar Pustaka
Schott, R. M., 2014. School Bullying: New Theories in Context. Cambridge: Cambridge University Press.
Tobing, J. A. D. E. & Lestari, T., 2021. Pengaruh Mental Anak Terhadap Terjadinya Peristiwa Bullying. Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(1), 1882-1889.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun