(untuk Ama Boro dan rindu kepada alm. ibunya)
Â
Oleh: Ama Kewaman*
Ibu adalah satu-satunya harapan dan doa disepanjang tidur malamku. Ibu adala mimpiku dan ibu adalah segala harapan dan perjuanganku selama ini.
Aku mulai menyadari semuanya setelah ibu pergi dengan keadaan tubuh yang kaku tak bernyawah dihadapan kami anak-anaknya. Ibu pergi meninggalkan segala duka derita dan pedih perihnya hidup ini. Tak ada yang bisa kuharapakan lagi dari ibu. Ibu sekarang hanya menjadi bayang-bayang yang selalu datang dalam rupa mimpi dan kenangan yang indah.
Bersama ayah, kami mulai memperjuangkan masa depan kami masing-masing. Sudah saatnya aku mulai menaruh harapan pada ayah dan sepenuhnya pada ayah. Dan untuk ibu sendiri, aku hanya merindukannya dalam setiap bait doa. Sementara kaka lelakiku yang pertama mulai mengakhiri sekolahnya dan bersiap untuk melanjutkan kuliahnya. Aku khwatir dengan adik bungsuku yang masih kecil. Mereka sudah pasti menginginkan belaian mesramu, ibu. Aku ingat persisi ketika kami masih kanak-kanak dahulu, aku selalu memenggaruhi adik yang bungsu untuk memint jajan padamu, meski setelahnya engkau hanya memintanya pada ayah. Barankali engkau yang punya kuasa lebih atasnya, sementara yang kami harapkan dari ayah adalah oleh-oleh kasih dan lengannya yang kuat untuk kami gantungkan manja.
Mak, anak sulungmu telah berangkat beberapa bulan yang lalu ke tanah Jawa untuk melanjutkan sekolanya, sementara aku masih berseragam putih abu-abu. Aku pernah dimarahi guru karena aku menuliskan namamu pada baju sekolahku. Tidak apa-apa, mak pikirku ketika itu. Asal ibu tahu, bahwa aku selalu merindukanmu disetiap perjalanan hidupku.
Aku yakin ibu masih ingat, beberapa minggu yang lalu aku mengunjungimu dengan sebatang lilin dan harapan akan kebahagiaanmu serta berkat yang kau berikan untuk keluarga kita. Katamu ketika engkau megajakku ke pemakaman nenek, engkau mengatakan, kita harus membakar lilin bagi arwah nenek moyng kita agar mereka tidak tidur dalam kegelapan. Engaku juga yang mengatakan bahwa kita juga harus memberikan pakaian untuk mereka agar mereka bisa mengenakan pakaian yang baru. Semuanya masih tergambar jelas dalam ingatanku yang panjang. Minggu itu ketika aku datang ke pemakamanmu, aku membawa serta seperti yang engkau katakan padaku dahulu ketika kita berkunjung ke pemanakan nenek, mak.
Ujian nasional baru saja berakhir tepat pada hari kamis. Aku mulai lupa segala tentang aktivitasku di sekolah, mulai lupa mendoakanmu di tidur panjangku yang lelap, dan namamu yang melekat di bajuku karena tertutup pilox warna-warni dengan bentuk coretan yang tidak jelas. Aku berharap, segala doa dan permohonan keberhasilanku di atas makamu telah engkau sampaikan pada Tuhan, agar penerimaan amplop nanti aku bisa lulus ibu. Itu adalah harapan satu-satunya yang kupunya.