JAKARTA - Indonesia tengah menjalankan strategi ambisius untuk melepas ketergantungan pada ekspor bahan mentah melalui kebijakan hilirisasi yang dipercaya mampu memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Langkah ini menjadi semakin krusial di tengah dinamika ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
Selama ini, Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah seperti batubara, kelapa sawit, dan nikel. Kondisi ini membuat perekonomian nasional rentan terhadap guncangan eksternal seperti krisis finansial, fluktuasi harga komoditas, dan ketidakpastian geopolitik.
Momentum Hilirisasi Dimulai
Kebijakan hilirisasi mulai mendapat momentum signifikan sejak 2020, ketika pemerintah berani mengambil keputusan kontroversial melarang ekspor bijih nikel. Langkah ini mendorong pembangunan smelter dan pengembangan industri baterai kendaraan listrik di dalam negeri.
"Hilirisasi bukan hanya meningkatkan nilai tambah produk nasional, tetapi juga menjadi penggerak penting dalam memperkuat ketahanan ekonomi," ungkap peneliti ekonomi yang mengkaji dampak kebijakan ini.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa lebih dari sepuluh smelter baru telah dibangun pascapenerapan larangan ekspor nikel, yang memperluas kapasitas pengolahan nikel menjadi produk bernilai tinggi.
Dampak Positif Mulai Terasa
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa investasi di Indonesia semester I 2025 mencapai Rp 942,9 triliun, ditopang oleh sektor hilirisasi. Angka ini menunjukkan kepercayaan investor terhadap strategi industrialisasi berbasis sumber daya alam.
Kebijakan ini juga membuka peluang besar bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk terhubung dengan rantai pasok hilirisasi. UMKM berkesempatan naik kelas melalui inovasi produk, digitalisasi, dan diversifikasi usaha.
Tantangan dan Resistensi
Meski menjanjikan, strategi hilirisasi menghadapi tantangan serius. Transformasi ekonomi ini menuntut investasi besar dalam infrastruktur, teknologi, dan pengembangan sumber daya manusia.