Mohon tunggu...
Alwi Muharom
Alwi Muharom Mohon Tunggu...

Mahasisa IAIN SYEKH NURJATI-CIREBON Jurusan : KPI (Komunikasi Penyiaran Islam) Semester: V (Lima)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Polemik Pendidikan di Indonesia

1 Desember 2014   05:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:23 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman Senda Gurau

Namaku Aenun Fasikhah,

Pengucapan frase diftong diawal namaku membuat sebagian teman merasa kesusahan. Seringkali diejek karena penggunaan frase yang tidak tepat, kenapa namanya tidak Ainun saja, jika pakai huruf ‘i’ akan lebih enak dilafalkan. Namun itu dulu saat aku masih bersama meraka dalam satu wadah yaitu sekolah.

Betapa kini aku kecewa setelah melihat apa yang telah kulewati lima tahun silam. Entah mengapa semangat bersekolah sudah pupus, bahkan jenuh melihat wacana formal pendidikan sekolah yang tak sesuai jalan pikiranku.

Mengurung diri di rumah memang bukan jalan yang tepat bagi masa-masa seusiaku. Terkadang pikiran kalut menyelimuti perasaan ini. Rasa rindu berkumpul bersama, diskusi pelajaran sekolah, sorak sorai tawa mereka kini sekedar bingkai yang usang. Semua bermula ketika aku merantau di Jombang-Jawa Timur, demi meuntut ilmu di salah satu pesantren dan sekolah disana.

Saat itu aku lebih senang memperhatikan tingkah tingkah pola teman-teman kelas ketimbang aku berkecimpung menikmati mata pelajaran apa adanya. Tempat ini cukup lengkap dengan struktur dan infrastruktur yang memadai, ruang laboratorium, auditorium, dan aula yang megah demi menunjang kegiatan-kegiatan sekolah. SMAN 4 Jombang memang masih menjadi sekolah favorit bagi anak-anak yang ingin melanjutkan jenjang pendidikannya. Rasa syukur senantiasa kupanjatkan untuk Allah, juga untuk kedua orangtuaku yang bersedia menuruti keinginanku bersekolah. Meski pada awalnya memang Aby melarangnya. Niat Aby agar aku fokus di kajian pesantren, tidak terbagi dengan rutinitas sekolah yang notabene-nya non pesantren.

Kendati demikian, di sela-sela do’a yang kupanjatkan kala terbangun untuk melaksanakan sholat malam, aku termangu dalam kebingungan. Sekolah memang menjadi wadah pendidikan, tempat bagi kader-kader pemimpin bangsa di masa depan. Melihat faktanya, aku rasa hal itu masih jauh dari cita-cita bapak pendidikan Indonesia dalam jurnal Taman Siswa-nya.

Dulu, saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, angka lima mentereng di barisan angka-angka hitam kolom nilai rapor masih sering kujumpai disana, walaupun aku sendiri belum pernah mendapatkan angka merah itu. Mempermalukan siswa didepan orangtuanya dengan sistem pendidikan yang demikian justru lebih efektif sebagai cambuk peningkatan kognitif, afektif, dan psikomotiknya, kurasa. Sekarang penilaian model semacam itu kandas oleh kurikulum-kurikulum baru yang sejatimya belum mengentaskan masalah pendidikan. Wacana Ujian Nasional menjadi momok menakutkan bagi sebagian anak yang berpikir idealis sepertiku. Bukannya tak sanggup menjalaninya, ujian nasional layaknya fatamorgana pencerahan yang bersembunyi dibalik kemunafikan. Guru-guruku tersenyum melihat anak didiknya lulus semua, namun dibalik senyuman itu ada tangisan duka karena nilai ijazah masih dibantu mereka.

Dan inilah jawaban dari keluh kesah yang membuatku hengkang dari sekolah sebelum ujian tiba. Aku membicarakan keluh kesah ini pada kedua orangtuaku di Tegal-Jawa tengah. Melalui telepon teman sebangku, telepon ahirnya tersambung.

“Assalamu’alaikum, maaf siapa?”seperti biasanya suara aby terdengar santun ditelepon

“Aby, ini Aenun. By, Aenun sudah ngga betah sekolah, mau berhenti saja. Kalau di pondok Alhamdulillah masih betah, Cuma sering sakit-sakitan karena capek harus bagi waktu dengan sekolah”.

“Loh, kenapa?, memangnya ada masalah apa disekolah?”, tanya Aby “kalau punya masalah ceritakan saja, ngga perlu ditutup-tutupi nak, toh aby, Umy ngga pernah mengajari kamu tertutup sama orangtua. Sekarang sehat?”

“ia sehat”

“mmmm…anu By, Aenun ngga suka dengan Ujian Nasional, ngga suka dengan kurikulum pendidikan sekarang, Aenun sudah ngga kuat mau berhenti sekolah saja”. Genangan airmata di tepian kelopak mataku meleleh di pipi. Isak tangispun tak mampu kubendung lagi.

“Aduh kamu sih, tinggal setahun lagi, tanggung masa berhenti ditengah jalan. Lagian Ujian Nasional sebentar lagi, setelah itu sudah. Lulus”

“Habis mau gimana lagi, Aenun sudah berusaha kuat tapi tetap ngga bisa”, senggukan tangisku tersedu-edu di telepon.

“Ya sudah kuatka dulu untuk beberapa hari, nanti Aby sama Umy mau jenguk kamu disana. Insya Allah empat harian lagi, sabar ya nak…Assalamu’alakim”. Tuuut…tuuut suara telepon terputus sebelum aku sempat panjang lebar menceritakannya. Perasaan ini dibalut rasa bersalah, andai saja aku tidak menceritakan hal ini, tak perlu membuat repot orangtua dari Tegal ke jombang sekadar membicarakan masalah yang aneh bagi kebanyakan anak seusiaku.

***

Tapat empat hari yang dijanjikan, aku dikejutkan kedatangan Aby di area pesantren. Dengan bergegas aku memeluk erat mereka. Sempat pula ciuman Umy mendarat dipipi dan keningku, hangat. Terasa kehangatan kasih seorang Ibu.

“Kamu sehat De?”, sapa Umy ramah

“Ia sehat Umt, Cuma jarang dapat istirahat cukup karena harus bagi waktu di pondok dan sekolah”, tukasku

“Namanya juga sedang berjuang menuntut ilmu, harus ada pengorbanan dan perjuangan, kayak Aby kamu dulu De”

“Iya..iya. Maunya sekarang pulang ke rumah. heee”

Waktu itu hari selasa, aku sengaja meliburkan diri karena malas berangkat sekolah. Juga ada alasan mau menemui orangtuku hari ini. Dari situlah aku menceriakan keluh kesahku tempo hari dengan Aby di telepon .

Entah apa yang ada di pikiranku sampai nekat begini menceritakannya. Kebanyakan anak-anak putus sekolah karena himpitan ekonomi, sedangkan aku? Dianggap serba kecukupan malah ingin berhenti gara-gara tak mau mengikuti kurikulum pendidikan saat itu. Berat hati orangtua merestui kehendakku melangkah pergi dari sekolah. Namun mereka menuruti keinginanku. Melihat kondisiku yang belum beradaptasi dengan llingkungan pesantren dan sering sakit-sakitan, rupanya hari itu juga Aby izin pamit sama pak Yai dan ibu Nyai membawaku pulang untuk selama-lamanya, sedih memang harus meninggalkan teman-teman disana. Aku menangis ketika lambaian tanganku semakin menjauh dari wajah-wajah sedih mereka saat ditinggal pergi olehku.

Ada secercah kekecewaan di hati Aby melihat pola pikirku yang menyimpang dari kebanyakan anak lain, inilah yang ahirnya membuatku menjalanai aktifitas sehari-hari di rumah. sifatku yang manja acapkali mebuat pusing kepala mereka. Aku bahkan masih teringat saat merengek minta dibelika boneka Teddy Bear saat umurku masih enam tahun. Dan ak meminta boneka yang berukuran dua jengkal lebih tinggi dari badanku, pokoknya harus begitu. Itupun ahirnya mereka menuruti permintaanku.

Dikamar ini, kamar dimana aku bersenda gurau cuma dengan buku-buku, seringnya larut dalam wahana percakapan antara aku dan bukuku. Kamar yang cukup lebar dengan ukuran 4x5 meter persegi ini kudesain sendiri. Dengan rak buku yang berisi ratusan koleksi terpajang disana. Layaknya perpustakaan mini saja. Koleksi buku yang kupunya sekitar 200 lebih, dari beberapa kategori yang kusekt-sekat tatanannya. Ada buku pendidikan, remaja muslimah, auto biografi para tokoh Muslim abad pertengahan, antologi puisi, cerpen, novel, sejarah, dan lainnya. Bacaanku fariatif, ak menyukai wacana yang luas memang, kebiasaanku membaca sudah tertanam sejak aku berumur 12 tahun, 4 tahun yang lalu.

Rak buku sengaja aku tempatkan di samping kanan ranjang tidur menghadap timur, dengan posisi kepala ranjang menghadap selatan. Ini sekedar untuk memuaskan hati memandangi buku-buku ketika beranjak sebelum tidur.

Setiap hari Rabu aku mengundang anak-anak dan remaja sekitarku untuk berbagi ilmu dan belajar bersama mereka. Mungkin pengambilan hari Rabu juga karena mengingat dawuh pak Yai waktu aku masih berada di Jombang ‘Hhari Rabu merupakan hari yang bagus untuk memulai suatu pekerjaan yang baik’ kurang lebihnya demikian. Mereka yang datang berkunjung cukup antusias melihat koleksi buku-buku yang kupamerkan sebagian di meja ruang tamu.

Program belajar dengan spesifikasi topik lebih mengarah pada bedah buku aku beri nama “Kiri Buku”. Nama itu sengaja kuambil bukan berarti koleksi buku yang kumiliki bergenre kiri atau oposisi, melainkan lebih pada cara belajar non-formal. Kebalikan dari program formal sekolah yang masih kubenci sampai saat ini. Mereka yang bertandang ke rumah tak seperti anak-anak sekolah pada umumnya, bebas berpakaian asalkan masih sopan.

Kiri buku masih dalam proses menuju Taman Baca bagi anak-anak dan remaja di desaku. Disamping itu pula aku ingin membuat peta minat baca disini.

Awalnya program ini iseng-iseng karena jenuh diam terpaku tanpa ada teman yang bisa diajak diskusi bersama. Rasa kecewa yang membuaku tejatuh lama tak boleh menyurutkan semangat baca dan belajar. Pada ahirnya akau meminta restu Aby dan Umy mendirikan program ini. Sekali lagi aku benar-benar bersyukur memiliki mereka berdua.

Seringnya aku berkacak malu sendiri melihat pantulan wajahku di cermin. Wajah kuning langsat dengan bulu mata lentik menghiasi kedua kelopak mataku. Di cermin oval rak hias ini aku masih memandang lekat wajahku. Lebih banyak campuran Aby dibanding Umy. Mungkin Cuma bibir dan bentuk wajah tirus yang mirip Umy.

***

Aby yang bernama lengkap Ahmad Sufyan Faqih, atau yang akrab dipanggil Sufyan. Nama itu pemberian kakek sewaktu kakek berkunjung di kediaman KH. Sufyan At-Tsauri. Nama yang diberikan kakek merupakan faktor rasa kagum mendiang kakek terhadap petuah-petuah pak Yai yang lembut menggugah dan sarat pencerahan batin.

Aby adalah salah satu dari sekian lulusan pesantren di Lirboyo yang dianggap cukup mumpuni dalam hal agama. Hal inipun terlihat di rak kitab di runag tamu yang banyak terjejer koleksi belia. “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan jua’.

Tak sesuai bagiku layaknya anak bungsu dari kedua kakakku. Saat di pesantren dulu Aby sangat getolmengkaji ilmu agama, bahkan tak urung uang jajan terpotong setengah demi membeli kitab kuning. Dan yang menjadi rasa syukur pula memiliki Aby aku selalu berusaha mntaati peraturan yang digariskan beliau untuk keluarga ini, mengngat bahwa usiaku kini akan menginjak angka tujuh belas.

Meski aku tak seperti Aby dalam hal agama, setidaknya aku bisa membanggakan beliau dengan sesuatu yang kubisa. Sesuatu yang menurutku akan bermanfaat bagi orang lain. Membayangkan proses belajar di kelas, dikejar-kejar timeline sekolah yang mepet sebelum gerbang terkunci, atau berkumpul bersama tema-teman di kantin saat istirahat jam belajar seringkali membuatku iri dengan teman-teman yang masih menggunakan seragam putih abu-abu itu. Sekali lagi aku terpuruk ketika ingatan-ingatan semacam itu teralihkan oleh sistem belajar sekolah yang membuatku muak.

Entah sekolah manapun kurasa, sistem belajar paket yang menuntut siswa aktif dengan materi yang di sajikan dalam bentuk silabus atau buku paket membua kreatifitas anak tak berkembang, terkungkung karena dijejali mata pelajaran yang menumpuk. Belum lagi kalau nilai kelulusan harus diukur dengan standarisasi nilai yang tak sesuai kapasitas anak didik. Terlampau cepat memikirkan kemajuan bangsa tanpa melihat aspek psikologi.

Menjadi perempuan penikmat aroma khas isi buku dan pembaca arus perubahan di tiap lini pendidikan memang sudah kujalani dua taun yang lalu. Fasilitas Wi-fi dengan kapasitas 72 Mbps 3g yang diberikan Aby cukup membuatku mengenal dunia luar tanpa harus mengetaui secara nyata di lapangan. Aku memanfaatkan jaringan internet sebagai bahan wawasan diri.

Perangkat laptop yang takjauh dari meja rias sering kugunakan saat waktu senggang kala deru nyanyian angin terdengar jelas di puncak malam. Alangkah patutnya disyukuri pemberian untukku ini. Masih berapa banyak pelajar yang tak memilikinya, berapa banyak mereka yang kesulita mendapatkan buku bacaan. Semua itu kembali pada diri sendiri. Ya, hanya diri sendiri.

Meski tak seperti teman-temanku yang masih bergulat dengan bangku sekolah di Jombang, aku cukup menerima kekalahan dan memutuskan begini. Ini jalanku, jalan yang telaah kutempuh satu tahun belakangan ini. Mesipun begitu watak dasar manusiawi itu mahluk sosial. Entah kapan ada waktu bisa bangkit bersekeolah lagi, atau biar saja aku ditemani buku-buku yang terkadang menatap keluh kehilangan waktu bersama teman-teman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun