Mohon tunggu...
Alvin Wahyu Kurnia
Alvin Wahyu Kurnia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis untuk Belajar, Bukan Menulis untuk Menggurui

Saya adalah seorang Mahasiswa Universitas Terbuka Semester 4 yang baru mendalami ilmu kepenulisan. Kegiatan sehari-hari kuliah, Pengacara (Pengangguran Banyak Acara), Jualan Desain Vektor bersama Teman, Bersepeda, dan tidak suka bermain game.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pantai Selatan akan Tsunami

27 Juli 2021   07:37 Diperbarui: 27 Juli 2021   07:40 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Marno melaut setiap hari, menjaring ikan teri, melaut tiada terkira, namun hidupnya tak kaya-kaya seperti Saudagar Haji Mabrur pemilik perahu dukung yang selalu ditumpanginya ketika pergi ke tengah Samudra. 

Hari-harinya sangat muram, membosankan, Istri selalu menuntut apa yang seharusnya tidak perlu dituntut, Anak kelayapan tidak tahu waktu, mabuk di perempatan seolah-olah hidup bebas merdeka. Bayaran tak selalu bisa membuat perut kenyang, kenyang pun karena makan Ikan dari sisa melaut. 

Setelah melaut, dirinya pergi ke Kedai Kang Anhar, ngopi hingga subuh, Istri dan Anaknya tidak ada yang khawatir dengan kebiasaannya karena sudah lumrah, setiap hari ia lakukan tanpa memikirkan apapun yang akan terjadi maupun yang sudah terjadi. 

Ia mangkrak bersama Toyan, teman melautnya setiap hari. Toyan hidup sebatang kara, tinggal sendirian, hidup seadanya, tanpa memikirkan apa-apa. Hari-harinya ia habiskan bersama Toyan untuk melaut dan mangkrak di Warung kopinya Kang Anhar.

Suatu hari, Marno bersama Toyan, berangkat melaut pukul 17.00, berbekal seadanya, tanpa membawa apapun selain parang untuk berjaga-jaga ketika terjadi sesuatu. Mesin perahu berbunyi tepat pukul 18.00, kemudian berlabuh ke tengah Samudera, menjelang senja, hingga pagi tiba.

"Ada yang aneh, namun tidak ada bukti. Hanya karena tidak ada bukti, bukan berarti itu tidak benar"...

Toyan tiba-tiba berceletuk bijak, tidak biasanya seperti itu. Marno pun membalas...

"Ngomong apa seeee, tidak biasanya dirimu seperti itu"...

Toyan pun hanya terdiam dan tidak merespon. Marno berfirasat tentang sesuatu. Namun, dirinya tidak pernah bisa memikirkannya. Toyan adalah seorang religius, meskipun dirinya sebatang kara, namun hati dan pikirannya tidak pernah sendirian. Apa yang dirasakannya, akan dia katakan lewat petuah bijak, namun sulit untuk dimengerti. Petuah tersebut adalah tanda akan terjadi sesuatu, namun tidak tau kapan, bisa saja nanti, bisa saja besok.

Sontak, Marno mengingat kejadian 7 tahun lalu....

.

.

.

7 tahun lalu, terjadi sebuah tragedi besar, menimpa nasib para Nelayan yang melaut di tengah Samudera lepas ketika malam tiba. 20 nelayan hilang tanpa jejak, tidak ada tanda apapun untuk mengetahui keberadaan mereka, hingga tim SAR dan para penjaga Laut pun lepas untuk mencari keberadaan mereka, namun hasilnya nihil tak ada hasil. 

Nelayan yang melaut malam itu berjumlah 25, yang selamat hanya 5 orang, salah satunya adalah Toyan. Nasibnya, dari 5 orang yang telah selamat, hanya Toyan lah yang masih berprofesi sebagai Nelayan sampai sekarang, sedangkan ke 4 sisanya beralih profesi, dan memilih keluar dari daerah tersebut.

Semenjak kejadian tersebut, Toyan depresi hingga berbulan-bulan. Ketika itu, Marno sempat sambang ke rumah Toyan. Marno sempat bertanya ke Toyan, apa yang sebenarnya terjadi, namun Toyan hanya terdiam dengan keadaan linglung dan bingung, matanya terbelalak melolong menakutkan seperti hantu Suzanna, sempat terucap satu kali di bibir hitamnya sebuah kata....

"Dia ada, dan akan selalu ada"....

Marno sempat bingung dengan hal tersebut, dia berusaha untuk mengerti dengan apa yang dikatakan Toyan, namun lagi-lagi Marno tidak bisa memahaminya, jika tidak dijelaskan secara gamblang. 

Semenjak kejadian itu, keadaan Toyan berubah, ibadahnya selalu 5 waktu, kebijaksanaannya dalam berkata terkadang benar, dan tidak bisa diragukan. Toyan seakan-akan tahu, sebelum semua orang tahu, seperti mempunyai sebuah gambaran mengenai masa depan. Namun, Toyan hanya berprasangka, tidak bisa menyatakan sebuah kebenaran. 

Toyanlah yang selalu menasehati Marno, agar dirinya berubah menjadi sosok yang lebih baik...

Tempo hari, Toyan sempat berujar...

"Berubahlah, mumpung masih ada waktu sebelum terlambat, pastilah dirimu akan menyesali kemudian"...

Seakan-akan apa yang dikatakan Toyan adalah pertanda buat Marno bahwa hidupnya tidak lama lagi. Marno hanya menimpalinya dengan celotehan halus dan guyon tidak serius, karena bagaimanapun, Marno sudah menganggap Toyan sebagai saudara sendiri, Marno hanya bisa memahaminya serta memakluminya.

Seiring berjalannya waktu, hari-hari Marno semakin runyam saja, Istri dan Anaknya tidak bisa lagi menerima keadaan yang hanya makan dari hasil melaut saja, mereka mempunyai semacam rencana untuk meningkatkan taraf hidup yang serba pas-pasan tersebut, mereka tidak mau lagi hidup bersusah payah. Akhirnya, yang dikhawatirkan Marno pun terjadi. 

Hal ini, sebenarnya sudah ia ketahui semenjak lama, bahkan, di daerahnya, sudah banyak yang menggunakan ilmu tersebut, semata-mata hanya untuk meningkatkan taraf hidup menjadi kaya dan tidak merana.

Toyan yang pada waktu itu sedang ngopi di warungnya Kang Anhar, duduk disebelah Marno, tiba-tiba berujar bijak....

"Jangan kau sesali jika hal itu sudah terjadi. Jika tidak ingin terjadi, pikirkanlah baik-baik sebelum bertindak"

Marno pun menjawab dengan nada kesal.....

"Tapi bagaimana, apakah ada cara lain untuk meningkatkan taraf hidup selain dengan cara itu"...

Daaaaaaaaan.......

"Jancokkkkkk..... hanya mimpi"....

Marno tiba-tiba bangun dari tidurnya, agak kelakapan, bangun setengah sadar, agak linglung.

.

.

Hari sudah subuh menjelang fajar, adzan berkumandang dari tadi, sholat subuh pun sudah selesai.

Tiba-tiba siaran dari speaker masjid...

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un... telah meninggal dunia, bapak Toyan............

Sontak, Marno beranjak dari tempat tidurnya, langsung berlari menuju rumah Toyan, banyak orang terdekat sudah berada di rumah gubuk tersebut, dia kaget dan setengah linglung, ingin menangis tetapi tidak bisa, matanya hanya berkaca-kaca melihat sebujung mayat yang ada di depannya. Toyan...... sudah duluan dipanggil Yang Maha Kuasa, tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan meninggal, tidak pula meninggalkan pesan untuk dirinya. Ia pun duduk dengan lesu, sembari melihat jenazah Toyan yang dimandikan, kemudian dishalatkan, dan dikuburkan.

********

7 hari sudah berlalu, semenjak kematian Toyan, Marno cenderung menutup diri, tidak mau berkata apapun, bahkan Istri dan Anaknya pun entah dimana.....

"Ohhh yaaaa..... dimana mereka".. Celetuknya bingung.

Dia baru sadar, mereka menghilang semenjak 7 hari kematian Toyan, Marno pun mencari mereka kemana-mana, namun tidak ketemu. Ia pun cemas, hampir putus asa, karena tidak kunjung ada hasil dalam pencarian tersebut.

Malam Pun tiba, namun mereka juga tidak kunjung datang. Akhirnya, Marno pun mangkrak di warungnya Kang Anhar, sembari mencari-cari keberadaan Anak dan Istrinya.

Jam menunjukkan pukul 02.00 WIB, seperti biasa, Marno mengakhiri mangkraknya. Lalu, tak disangka-sangka......

Ketika sampai rumah, betapa terkejut dirinya..... Sebuah mayat terbujur kaku, mayat anaknya......

Tubuh marno pun mendadak lesu dan tak berdaya, dia menatap lamat-lamat wajah anaknya tersebut, wajah pucat, mata terbelalak melolong menakutkan, Marno hanya bisa menangis sejadi-jadinya, hingga terdengar oleh para tetangga, tetangganya pun terheran-heran dengan suara tangisan tersebut, hingga akhirnya rumah Marno pun didatangi oleh banyak orang.

Ketika para tetangga mendatangi rumahnya, mereka hanya menyumpal hidung, dan tidak mau mendekat ke mayat Anaknya.

Pikir dia kenapa?.....

Dia tidak paham dengan tingkah orang-orang tersebut, seolah-olah, mereka mencium aroma tak sedap. Mereka tidak berani menegur Marno ataupun memberitahunya, apalagi mendekati mayat Anaknya. Ketika itu, hanya Kang Anhar yang bisa mendekatinya, dia kebetulan disitu serta turut berduka cita atas keadaan Marno, ia pun memberitahukan keadaan tersebut.

Sembari menyumpal hidung, Kang Anhar pun mendekati Marno.

"No, mayat anakmu bau busuk..."

Mendengar hal itu, dengan nada kaget, sambil terisak tangis, Marno menimpali omongan Kang Anhar...

"Haaaa... serius kang???"...

Kang Anhar pun menjawabnya dengan nada agak guyon....

"Iya, serius atuh, mana aku kalau ngomong nggak serius"... 

Marno pun hanya bisa terheran-heran, karena dia sendiri tidak mencium bau busuk yang keluar dari tubuh anaknya tersebut.

*********

Ketika itu, matanya sempat melihat ada sebuah kejanggalan di tubuh anaknya.

"Apa itu"... 

Ujarnya...

Marno mendapati tali ban merah yang diikat di lengan kiri Anaknya, diapun tanpa pikir panjang mencopot lengan ban tersebut. Seketika itu, aroma busuk yang keluar dari tubuh Anaknya menghilang.

"Apa ini, yang membuat Rahmat (nama Anaknya) meninggal?"...Ujar Marno penuh keheranan.

Kang Anhar yang kebetulan masih disitu, melihat apa yang dilakukan oleh Marno. 

Tak disangka-sangka....

"Marno (dengan nada penuh kaget dan ingin menangis).... ternyata benar dugaanku selama ini".... Tegas Kang Anhar.

Marno pun menimpali "Kenapa Kang?"...

Kang Anhar lantas tiba-tiba pergi meninggalkan Marno yang sedang terheran-heran sambil sesenggukan.

Marno pun harus rela kehilangan Anak semata wayangnya tersebut. Dukanya pun semakin mendalam, setelah ditinggal Teman karibnya, sekarang Anaknya pun sudah pergi mendahuluinya.

"Tidak menyangka akan secepat ini"... pikir Marno.

.

.

.

.

.

*******

1 bulan, semenjak kematian Anaknya, Marno pun hidup seperti biasanya, melaut dari sore hingga tengah malam, rasa lelahnya dia lepaskan di Warung Kang Anhar hingga subuh tiba.

Waktu itu, saat perjalanan pulang menuju rumahnya, tiba-tiba..... hepppppppppp....

.

.

.

.

.

.

.

"Ahhh, pening sekali".... batin Marno...

Marno gelagap, matanya buram, dia berusaha untuk fokus ke penglihatannya, seperti berada di sebuah tempat yang pernah dikunjunginya.

"Dimana ini"... pikir Marno

Ketika penglihatannya mulai normal kembali, dia pun kaget, dan hampir saja menangis takut, dia hendak kabur, namun tubuhnya diikat pada sebuah batu cadas lancip yang tertancap ke tanah pasir.

"Ya allah, ini kan daerah Pantai Nusa, kok bisa bisanya aku disini"... guman Marno lirih.

Dia tidak menyangka akan kembali ke tempat tersebut.

Marno hanya bisa terisak tangis, membayangkan dirinya yang mungkin tidak akan selamat di tempat itu, karena dulu, banyak kerabatnya yang tidak kembali setelah datang ke tempat tersebut.

********

20 tahun lalu, sebelum menjadi nelayan, Marno hidup bahagia di daerah Mojo bersama Istrinya, Ayah dan Ibunya juga masih hidup pada saat itu. Makanan berkelimpahan, Istrinya masih perawan nan ayu, serta penurut dan mencintai Marno secara tulus, Rahmat masih kecil dan lucu. Mereka sangat makmur dan tidak kurang-kurang dalam menjalani hidupnya. 

Pada saat itu, Marno masih berprofesi sebagai Karyawan BUMN di Kota Sampur, serta dijamin kesejahteraannya oleh pemerintahan Prostat. 

Namun, semuanya berubah ketika Ayah dan Ibu Marno meninggal secara aneh, mereka ditemukan mati mengenaskan di daerah pantai Nusa.

Saat itu, Marno sangat terpukul dan menyesal, "kenapa harus secepat ini terjadi", pikirnya waktu itu. Tidak lama setelah itu, ekonominya lambat laun mulai berubah, tiba-tiba, perusahaan BUMN tempatnya bekerja, mengalami penurunan kinerja ekosistem, sehingga mau tidak mau, manajer atas harus melakukan perampingan organisasi. Sehingga, para tenaga kerja lama yang sudah hampir menginjak kepala tiga seperti Marno, harus rela di keluarkan dari perusahaan.

Atas kejadian tersebut, dirinya memilih pindah ke daerah Nusa, yang sekarang ia tinggali tersebut. Disitulah ia memilih bekerja sebagai Nelayan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. 

*******

Suatu hari di masa itu, beredar rumor, jika ingin kaya, datanglah ke daerah Pantai Nusa. Karena penasaran, Marno pun sempat mengunjungi tempat tersebut. Di tempat itu, bertemulah dirinya dengan Ken Zaman, orang inilah yang bertugas menghubungkan setiap orang yang datang ke tempat tersebut, dengan sang Ratu Ular Pantai Selatan... NYI BLORONG...

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun