Mohon tunggu...
Alvina Sahri
Alvina Sahri Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan lagi mahasiswa

I love animals but no for insect

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eufimisme: Sebutan Berprinsip Kesantunan bagi Disabilitas

17 Desember 2020   11:05 Diperbarui: 17 Desember 2020   11:10 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penyandang Disabilitas (Sumber: Shutterstock)

Bahasa bagaikan sepasang kekasih sedang dilanda rasa bucin, selalu mengikuti keinginan dan jejak pasangan ke manapun pergi. Bahasa bersifat dinamis, mengikuti arah perkembangan zaman yang kian berubah-ubah tiap eranya. Pada pemanfaatannya, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi yang paling vital dalam menjalin hubungan sosial. Bahasa digunakan sebagai pengungkapan ekspresi yang dapat berbentuk lisan maupun tulisan. Di dalam sebuah bahasa terdapat makna yang mengikat, makna tersebut lah yang akan berkembang menyesuaikan kebutuhan suatu masyarakat tertentu.

Tidak jarang manusia mencoba untuk menutupi kenyataan dengan tidak segan demi menjaga kenyamanan orang lain, baik yang sudah dekat maupun baru kenal. Di dalam Pragmatik terdapat prinsip kesantunan yang dipopulerkan oleh Leech yang dibuat atas dasar untuk mematuhi norma kesantunan atau norma interaktif. 

Prinsip tersebut memiliki bidal-bidal yang berupa, bidal kebijaksanaan, kedermawanan, penerima, kerendah hatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Berdasarkan keenam bidal tersebut, Leech meyakini dalam sebuah komunikasi tidak mesti semuanya termaktub di dalamnya. Selain pada komunikasi yang diatur dalam mematuhi norma tersebut, terdapat hal-hal lain yang dibuat sengaja untuk memperhalus atau mempersantun agar terkesan lebih nyaman untuk diucap dan didengar, seperti pada istilah-istilah yang dibuat bagi penyandang disabilitas.

Secara penampilan, penyandang disabilitas memiliki ‘ciri khas’ yang berbeda dari manusia pada umumnya. Banyak penelitian yang mengungkapkan anggapan masyarakat terhadap penyandang disabilitas dengan istilah ‘buruk’ yang diakibatkan pemahaman negative awareness tentang disabilitas dan siapa itu penyandang disabilitas (Widinarsih, 2019: 128). 

Masyarakat normatif melahirkan pelabelan negatif yang menimbulkan momok bagi penyandang disabilitas untuk berekspresi karena dianggap ‘berbeda’, hal tersebut yang pada akhirnya menimbulkan tindakan diskriminasi dan stigma. Sudah banyak di antaranya punya kesadaran atas hak yang sama pada penyandang disabilitas, oleh sebab itu banyak lahir gerakan-gerakan inklusi untuk membangun kesadaran terhadap mereka yang memiliki ‘ciri khas’.

Sejarah Terbentuknya Istilah Disabilitas di Indonesia

Indonesia memiliki perkembangannya sendiri dengan istilah bagi penyandang disabilitas, data menyebutkan sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga 2011 sudah ada kurang lebih sepuluh istilah resmi yang digunakan untuk merujuk atau menyebut penyandang disabilitas dalam interaksi sehari-hari (Widinarsih, 2019: 129). 

Beberapa di antaranya, yakni (ber) cacat dengan kategori sebagai kata kerja yang bermakna memiliki kekurangan dan tidak sempurna. Istilah tersebut juga masih memiliki pandangan yang negatif dari masyarakat, khususnya bagi penyandang. Lalu, beberapa kali dirombak dan tercetus sebutan ‘tuna’ yang pernah dipergunakan sebagai istilah dalam dokumen resmi negera. Kata ‘tuna’ diambil dari bahasa Jawa yang memiliki arti rusak atau rugi, sehingga istilah tersebut berujung memiliki nasib yang sama dengan istilah pertama, yaitu ‘(ber) cacat’.

 Setelah mengalami perombakan hampir empat kali sesaat istilah ‘tuna’ digunakan, pemerintah menetapkan istilah ‘penyandang disabilitas’ setelah meratafikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD). Istilah tersebut diperkenalkan secara umum dalam rangka mendorong ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Penyandang Cacat yang diadakan tahun 2009 (Widinarsih, 2019: 130). 

Umumnya, istilah tersebut dianggap lebih menghargai dan bersifat positif. Banyak pemerhati, penyandang, dan LSM yang sepakat akan istilah cacat memiliki arti yang mengandung negatif dari segi bahasa. Istilah ‘cacat’ juga hadir di antara masyarakat akibat suatu kekuasaan yang semena-mena memberikan pelabelan pada kelompok manusia yang dianggap cacat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun