Ketupat merupakan makanan dari beras yang dibungkus oleh daun kelapa muda (janur) kemudian dimasak dengan cara direbus. Biasanya di berbagai daerah terutama di Jawa dihidangkan bersama opor ayam, rendang, soto dan masih banyak lagi. Begitu pula di Kediri, ketupat biasanya masih dihidangkan dengan opor ayam akan tetapi ditambahkan hidangan lainnya seperti berbagai jenis lodeh. Lodeh merupakan sayur yang berkuah santan dengan berbagai variasi bumbu rempah. Lodeh memiliki berbagai jenis kuah, ada yang berkuah putih, kuning, dan kuning kemerahan. Lodeh juga sering dihidangkan di kota Kediri yang merupakan kota Tahu, dimana para pendatang dari berbagai daerah juga sering mengantongi tahu sebagai oleh-oleh khas Kediri. Begitu pun tahu dapat dipadupadankan ke berbagai makanan Indonesia. Salah satunya ialah lodeh tahu, di daerah Gurah biasanya masyarakat memasak tahu sebagai campuran lodeh dengan bumbu kuning kemerahan. Di dalamnya juga terdapat cecek, kentang, dan beberapa orang menambahkan tempe serta sayur seperti nangka muda. Memiliki rasa asin, gurih, dan sedikit pedas kadang memiliki kuah bertekstur kental serta encer seperti pada foto di atas (lihat foto 1).
Pada umumnya memang tradisi kupatan dilaksanakan oleh masyarakat hampir di seluruh pelosok di pulau Jawa. Termasuk di Kediri tepatnya sekitar seminggu atau beberapa hari setelah lebaran usai. Tradisi ini dilaksanakan dengan membagikan ketupat, lodeh tahu, opor, dan biasanya ditambah lontong ke tetangga-tetangga di sekitar rumah. Biasanya para masyarakat saling memberi satu sama lain sehingga dapat mempererat tali silaturahmi dan momen kebersamaan antar tetangga. Karena kupatan di Kediri sudah menjadi tradisi turun temurun tentunya terdapat beberapa perbedaan dalam pelaksanannya. Dahulu kisaran tahun 2007-2010 di pedesaan masih banyak yang membuat ketupat bersama keluarga besar. Pada waktu itu masih banyak yang sanak saudaranya masih tinggal di satu lingkup. Mayoritas dari mereka biasanya memiliki lahan yang  banyak ditanami pohon kelapa. Sehingga mereka (mayoritas laki-laki) biasanya memanen daun kelapa muda (janur) lalu dianyam hingga berbentuk selayaknya ketupat oleh mayoritas ibu-ibu pada waktu itu (lihat foto 2). Lalu mereka memasak bersama serta makan bersama kemudian dikemas dalam wadah terpisah dan dibagikan ke tetangga-tetangga sekitar lingkungan mereka.
Seiring berjalannya waktu para pendatang maupun penduduk asli melebur menjadi satu. Banyak dari penduduk desa yang merantau dan banyak dari masyarakat luar yang datang. Sehingga tradisi masak bersama tersebut sulit terlaksana karena sanak saudara yang mulai merantau. Akan tetapi sekarang banyak dari pedagang-pedagang menjual ketupat yang masih belum diisi beras di pasar, di toko-toko kecil, hingga ke pedagang sayur keliling. Karena dinilai lebih praktis dan efisien, biasanya mayoritas dari masyarakat yang ingin melaksanakan tradisi kupatan akan langsung membeli janur dalam bentuk ketupat dengan harga Rp. 10.000 per-ikat (isi 10). Akan tetapi kepraktisan tersebut tanpa sadar melunturkan tradisi kupatan yang dilaksanakan beberapa keluarga besar guna membangun kebersamaan. Namun meskipun mayoritas masyarakat sudah jarang melaksanakan tradisi kupatan bersama tersebut mereka masih dapat melaksanakannya bersama keluarga kecil dari rumah ke rumah. Biasanya masyarakat akan membuat hidangan ketupat dan saling membagikannya dengan tetangga sekitar dan memulai merajut kebersamaan kembali dengan skala kecil di berbagai daerah Kediri (lihat foto 3).Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI