Mohon tunggu...
Achsinul Arfin
Achsinul Arfin Mohon Tunggu... Freelancer - Suka membaca dan menulis

Suka menulis, baca buku, review buku, serta semangat belajar dalam hal literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jasa Tanpa Balas

23 Desember 2022   16:20 Diperbarui: 23 Desember 2022   16:25 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pexels.com/igorpaltov

Mataku sembab dan riuk tangis pecah ketika melihat ibu berada di hadapanku, dia tersenyum menangis sambil membelai wajahku.

"Anak ibu tidak boleh cengeng." pintanya.

Seorang ibu bisa menguatkan hati anaknya yang sedang rapuh, entah belajar sihir dari mana tiap perkataannya selalu memenangkan hati, bahkan ketika hati ini sedang remuk.

Aku yang kala itu menempuh pendidikan di kota jarang sekali pulang, memang beberapa kali ibu sempat menelpon, apakah tidak ada keinginan untuk liburan di rumah seusai semester?

Sebenarnya aku tidak ingin pulang, karena di pedesaan begitu membosankan, ketika malam menjelang suasana menjadi lebih sepi, hanya  suara jangkrik yang meramaikan. Sedangkan di kota, meski sudah menunjukkan jam satu dini hari tetap ramai, hiruk pikuk kendaraan dan canda tawa masih nyaring bunyinya.

Setelah beberapa kali negosiasi akhirnya aku mau untuk pulang, dan dari suara telepon di seberang sepertinya ibuku terdengar riang gembira, bahkan sambil sedikit tertawa mengabarkan kepada Bapak kalau aku akan pulang di minggu ini.

Waktu yang dinantikan tiba. Jarak tempuh dari kota ke desa kulalui selama dua jam perjalanan, sesampai di depan rumah kuketuk pintu beberapa kali, tapi nihil, tidak ada jawaban, hingga akhirnya aku pergi ke sawah untuk memastikan keberadaan Ibu dan Bapak..

Ternyata benar, mereka masih di sawah untuk tandur padi, tapi ada yang aneh, biasanya seluruh sawah ditanami tanaman sejenis, akan tetapi pemandangan yang kulihat berbeda, karena sebagian sawah kami ditanami jagung, hal tersebut diluar kebiasaan Ibu dan Bapak.

Ketika melihatku di samping sawah, Ibu yang sadar atas kedatanganku langsung berlari  dan memeluk tubuh anaknya yang beberapa bulan tidak pulang kampung.

Dekapan yang ditujukan untukku sangat menenangkan, mungkin inilah yang membuatku rindu untuk pulang, meski awalnya kutolak.

Tampak dari jauh Bapak hanya tersenyum melihat aku dan Ibu. Mungkin secara tidak sadar saking gemesnya ibu melumuri wajahku dengan lumpur, padahal aku sedang mengenakan kemeja putih.

***

Singkat cerita setelah menunggu pekerjaan Ibu dan Bapak selesai kami bertiga pulang ke rumah, tampak tidak ada perubahan sama sekali, kamarku pun masih bersih dan tertata rapi seperti saat aku tinggalkan sebelumnya.

Karena dirasa sudah cukup untuk berbincang-bincang akhirnya aku pun pergi ke kamar untuk tiduran, tapi sayup-sayup terdengar suara bapak dan ibu sedang mengobrol.

"Pak, aku tidak enak jika harus membicarakan hal ini kepada anak kita, aku tidak tega apabila bilang dia harus berhenti untuk kuliah."

"La bagaimana lagi, kita sudah tidak mampu untuk membiayai keperluannya."

Sontak rasa kantuk yang menyelimutiku hilang seketika, jadi sebenarnya mereka sudah tidak kuat membiayai kehidupanku di kota.

Angan-angan wisuda, kebersamaan dengan teman-teman tiba-tiba tersebut menyeruak, akankah semua berakhir di sini. Aku mulai termenung,  tanpa terasa meneteskan air mata. Mungkinkah aku selama ini menjadi beban bagi kedua orangtuaku?

Rupanya tanpa terasa di tengah-tengah termenung tiba-tiba rasa kantuk datang dan mulai merampas kesadaranku.

Aku menunggu di antara Bapak dan Ibu membangunkanku, tapi kenyataannya tidak ada, hingga pagi menjelang.

Karena tidak ada seorangpun yang membangunkan, akhirnya aku berinisiatif untuk mandi kemudian jalan-jalan ke sawah, menyambangi kedua orang tuaku yang sudah berada di sana. Kami ngobrol ngalor ngidul, banyak yang kami bicarakan, hingga akhirnya Ibu mengatakan apabila sawah satu-satunya milik keluarga kami sebagian dijual ke Pak Wiriya, salah satu tetangga kami.

Sekarang aku tahu, jadi inilah alasan kenapa sebagian sawah tanamannya berbeda. Hatiku menjadi sangat miris, mengingat ketika di masa kecil ibu pernah bilang jika sawah tersebut adalah warisan tidak ternilai harganya. Demi aku Ibu rela untuk melepaskan sebagian kepemilikannya. Meski ada pertentangan dari Bapak, tapi keras kepala dan tekad Ibu untuk menyekolahkanku jauh lebih besar.

***

Memori tersebut muncul secara tiba-tiba setelah waktu berjalan selama 25 tahun, semoga kelak aku bisa membahagiakan Ibu dan Bapak, meski mereka hanya bisa melihat dari tempat jauh nan di sana. Doakan anakmu ini mempunyai sifat yang rendah hati dan selalu berbakti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun