Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebatas Pengertian Waktu

13 Juli 2016   02:07 Diperbarui: 13 Juli 2016   02:14 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Butir demi butir gerimis dari kedua mata, terus berguguran di atas kertas usang, melunturkan tinta pada sebagian puisi, terlebih, menyempitkan ruang dada hingga terasa penuh sesak.

Di bayang cermin berembun, nampak wajah pucat memilukan, dan terdengar lirih batin memaki arti diri yang berulang enggan beranjak melupa kesakitan cinta, walau warna esok tlah tiada harapan untuk sekedar jumpa bahagia.

Aku tahu, inilah kesungguhan rindu yang terabaikan, atau bahkan terkesan murahan, yang menjadikan jiwa-jiwa pen-cinta semakin memahami seberapa pentingkah arti diri dalam harapan.

Mungkin, aku perlu berjuta-juta detik untuk sekedar merangkaki waktu, dan membunuh perasaan. Tetapi, pernahkah sedikitpun engkau berpikir, sesungguhnya perasaanku tlah melupa waktu dengan detik-detiknya? Sedang engkau hanya mampu menenggelamkan wajah diri dalam kepasrahan tangis, berteduh sebagai luka, dan melantunkan kesedihan di jiwamu sendiri.

Sungguh aku tiada ingin memiliki kenyataan ini. Seperti-ku hanya menikmati kerinduan pada cermin berembun, di ruang jauh yang sepi, dengan kenisbian cinta yang berbalut keharuan kalam-kalam arwah puisi.

Entah?

Baiknya aku diam. Karena bagiku, diam akan lebih mengerikan dari sebuah proses kematian. Lalu, di saat mereka merayakan kebahagian, aku berharap, engkau akan mampu menempati ruang kejujuran tanpa adanya puisi tentang kita, juga tanpa menumbuhkan kenangan secuilpun tentang segala waktuku.

Aku tersenyum, kini, dan akan selalu tersenyum manis ketika malam tlah kembali mengusung gelapnya, hingga memenuhi alam kesadaranku, meski tiada lagi warna esok, tiada lagi engkau mengingatku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun