Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Epitaf Sang Penyair

17 Desember 2016   10:38 Diperbarui: 17 Desember 2016   10:58 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

terlampau ke-dalam ; aroma Kenanga tercatat di pusara imajinasi haru.

 

Dari alam yang masih tak ku-paham

ada telaga di detak jantungmu

udara menanam bunga-bunga sajak

jejak napasmu memanggil esok tanpa jarak.

 

Ada suara yang menyeru gagah

“Terkembanglah bersama kalamku (Sang Penyair)

Saat bayang gemawan senja melingkar teduh, menyesap keutuhan makna luruh... dan janganlah gerak ambisimu gaduh!”

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun