Mohon tunggu...
Almunauwar Bin Rusli
Almunauwar Bin Rusli Mohon Tunggu... -

Almunauwar Bin Rusli lahir di Kotamobagu 18 Februari 1994. Saat ini berstatus sebagai Mahasiswa Pascasarjana UII Yogyakarta Bidang Studi Islam Konsentrasi Pendidikan Islam. Almunauwar Bin Rusli tinggal di Perumahan Griya Tugu Mapanget Blok B2 Nomor 18 Manado, Sulawesi Utara. Kontak : 082292011859

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Muslim Separuh Waktu

3 Desember 2015   11:42 Diperbarui: 3 Oktober 2017   11:57 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Pasti dengar air ustadz”

“Kenapa tidak dengan api?”

“Yaaa… karena kalau panas dengan panas tidak mungkin selamat”

“Nah, begitu pun kita menyikapi kasus pembakaran Masjid di Tolikara sana. Muslim itu mesti menjadi seperti air, dingin, sejuk, menenangkan. Biarkan aparat yang menyelesaikan. Indonesia adalah negara hukum. Kita jangan ikut terpancing emosi. Ingat sekali lagi, api hanya akan padam dengan air, bukan dengan api itu sendiri. Kalian mengerti?”

“Mengerti ustadz.”  Para santri lelaki dan perempuan lain ikut mendukung.

Suasana barisan riuh. Sebagian santri saling menatap lalu mengangguk-anggukan kepala dengan penuh kepolosan, sedangkan Dani lari meninggalkan barisan tanpa perintah. Dia merajuk. Menyendiri di pojok ruang kelas. Maria yang sedari tadi menyaksikan kejadian itu dari balik kaca jendela kamarnya meneteskan airmata untuk kali kedua. Rumahnya dengan Pondok Pesantren ini memang sangat berdekatan. Hanya saja rumah Maria berada di ketinggian. Dia tidak habis pikir, bocah santri berhidung mancung yang kira-kira berumur 13 tahun itu sudah mengenal dan ingin berbuat kekerasan. Mungkinkah sekolah agama sebenarnya adalah ancaman nyata bagi Negara? Guru-guru bisa saja menanam rasa kebencian serta kecurigaan kepada mereka yang berbeda iman. Perlu ada pengawasan. Sebab, diam-diam mereka mencuri Tuhan untuk kepentingan. Jangan-jangan, waktu Abdullah kecil dulu juga seperti itu. Atas nama agama, semua dirasa boleh-boleh saja dan ketika ada kekerasan, justru Tuhan  ditinggalkan, umatnya dikucilkan. Biadab.    

Maria mendekapkan kedua tangannya di dada sembari berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus. Tapi dari dalam hati, dia terdorong untuk berkunjung langsung ke Pondok Pesantren itu demi satu tujuan, menjadi lilin penerang tanpa mengutuk kegelapan. Maria ingin hadir untuk santri-santri yang datang dari berbagai latarbelakang suku dan budaya di Minahasa. Setidaknya, dia bisa menjelaskan filosofi bentuk tambah dalam ukiran salib. Garis vertikal sebagai simbol hablumminaullah dan garis horizontal sebagai simbol hablumminannas. Lantas,  perbedaan iman tidak harus membuat kita saling mengurangi nyawa melainkan menambah kesalehan kepada-Nya juga sesama. Surga tak selayaknya dipertengkarkan, itu bukan punya kita. Alangkah tololnya manusia masa kini.  

***

Langkah kaki Abdullah terasa berat untuk mendekat. Tapi, nuraninya  ingin segera melihat. Rasa penasaran pun semakin memberontak. Orang-orang di sekitar Masjid Pondok Pesantren Hidayatullah termasuk para santri dan ustadz dibuat histeris oleh tubuh wanita yang tersungkur di sepanjang jalan trans Kota Tomohon. Darahnya mengental di hidung, nafasnya terputus-putus. Terdengar sangat kasar. Ia meronta-ronta kesakitan. Banyak bagian kulit yang terkelupas. Kaki sebelah kirinya hancur tak berbentuk dilindas pelaku tabrak lari. Menggenaskan.

“Ada apa itu Pak? Mengapa banyak orang berkumpul?”

“Ada korban tabrak lari selepas sholat maghrib tadi”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun