Dalam pendekatan psikologis, subjek dan objek pengetahuan tidak lagi dipisahkan secara tajam. Peneliti berusaha memahami pengalaman manusia dengan menempatkan dirinya dalam situasi dan konteks yang sama. Ini disebut dengan konsep nacherleben --- yaitu "menghidupkan kembali" pengalaman orang lain di dalam kesadaran diri peneliti. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh bukanlah hasil pengukuran, tetapi hasil pemahaman yang empatik.
Bagi Dilthey, kehidupan manusia adalah totalitas pengalaman (Erlebnis) yang sarat dengan makna. Setiap tindakan, bahasa, dan simbol ekonomi adalah ekspresi (Ausdruck) dari pengalaman batin yang perlu ditafsirkan. Maka, tugas ilmu kemanusiaan adalah mengungkap makna di balik ekspresi tersebut.
Dalam konteks akuntansi, cara mengetahui psikologis membantu kita melihat bahwa setiap angka dalam laporan keuangan memiliki dimensi makna. Misalnya:
- angka laba bukan hanya ukuran keberhasilan finansial, tetapi juga simbol moral atas kejujuran dan tanggung jawab,
- pengeluaran untuk kegiatan sosial bukan sekadar biaya, tetapi ekspresi empati dan kepedulian terhadap masyarakat,
- laporan keuangan tahunan bukan hanya alat evaluasi kinerja, tetapi juga bentuk komunikasi nilai antara perusahaan dan publik.
Pendekatan psikologis ini menjadikan akuntansi sebagai teks sosial yang dapat ditafsirkan melalui metode hermeneutik. Akuntan bukan lagi pengamat pasif, tetapi penafsir aktif yang terlibat dalam memahami makna tindakan ekonomi.
Dengan memahami akuntansi melalui psikologi hermeneutik, penelitian akuntansi dapat beralih dari sekadar mencari hubungan antar variabel menjadi usaha untuk memahami konteks historis, budaya, dan nilai-nilai yang mempengaruhi praktik ekonomi. Misalnya, penelitian akuntansi di masyarakat pedesaan akan menafsirkan makna transaksi dan pencatatan bukan hanya dari segi keuangan, tetapi juga dari nilai gotong royong dan kepercayaan sosial yang menyertainya.
Kesatuan Fisiologi dan Psikologi dalam Hermeneutika Akuntansi
Bagi Dilthey, kedua cara mengetahui ini tidak boleh dipisahkan secara ekstrem. Fisiologi memberikan objektivitas dan keteraturan dalam pengetahuan, sementara psikologi memberikan kedalaman makna dan pemahaman. Dalam kehidupan ilmiah yang seimbang, keduanya harus berjalan berdampingan.
Dalam akuntansi, keseimbangan ini berarti bahwa pengukuran kuantitatif dan analisis empiris harus dilengkapi dengan pemahaman interpretatif terhadap makna di balik data. Laporan keuangan tidak cukup hanya dijelaskan melalui teori keuangan, tetapi juga harus dipahami melalui konteks sosial, etika, dan budaya di mana laporan itu disusun.
Misalnya, ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk melaporkan kerugiannya secara terbuka, keputusan itu tidak hanya memiliki makna ekonomi, tetapi juga moral dan sosial. Transparansi tersebut merupakan tindakan simbolik yang mencerminkan nilai kejujuran dan tanggung jawab kepada pemangku kepentingan.
Dengan demikian, fisiologi dan psikologi bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi dua dimensi epistemologis yang saling melengkapi dalam memahami realitas manusia. Dalam kerangka hermeneutik akuntansi, keduanya membentuk dasar bagi pengetahuan yang utuh pengetahuan yang tidak hanya menjelaskan dunia ekonomi, tetapi juga memahami manusia yang hidup di dalamnya.