Mohon tunggu...
Allyssa Auralila
Allyssa Auralila Mohon Tunggu... Mahasiswi Universitas Mercu Buana | Prodi Akuntansi S1 | NIM 43223010097

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

12 Oktober 2025   23:21 Diperbarui: 12 Oktober 2025   23:21 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025

Nama: Allyssa auralila

NIM: 43223010097

Mata Kuliah: Teori Akuntansi 

Dosen pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025

Pendahuluan: Dualitas Pengetahuan dalam Ilmu

Wilhelm Dilthey (1833--1911) adalah seorang filsuf Jerman yang memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu sosial dan humaniora (Geisteswissenschaften). Ia dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan konsep dualisme pengetahuan, yakni pembedaan antara ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu roh atau ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Pemikiran ini muncul sebagai respons terhadap dominasi positivisme pada abad ke-19 yang menekankan bahwa semua bentuk pengetahuan harus tunduk pada metode ilmiah yang bersifat kuantitatif dan empiris.

Menurut Dilthey, pandangan positivistik tersebut tidak mampu menjelaskan kompleksitas kehidupan manusia. Positivisme hanya berfokus pada hal-hal yang dapat diukur dan diamati, sehingga mengabaikan dimensi makna, nilai, dan pengalaman batin manusia. Bagi Dilthey, pengetahuan tentang manusia tidak dapat disamakan dengan pengetahuan tentang alam karena keduanya memiliki hakikat dan cara memahami yang berbeda secara ontologis maupun metodologis.

  • Ilmu Alam (Naturwissenschaften)

Ilmu alam berfokus pada realitas luar yang dapat diobservasi, diukur, dan dijelaskan melalui hukum sebab-akibat. Dalam pendekatan ini, peneliti memosisikan diri sebagai pengamat yang netral dan terpisah dari objek yang dikaji. Tujuannya adalah menjelaskan fenomena dengan cara menemukan hubungan kausal yang bersifat universal.

Jika dikaitkan dengan akuntansi, paradigma ilmu alam tercermin dalam pendekatan positivistik. Akuntansi dipandang sebagai sistem pengukuran ekonomi yang bersifat netral dan dapat diuji dengan metode kuantitatif. Laporan keuangan dianggap sebagai representasi objektif dari kondisi ekonomi suatu entitas. Misalnya, penelitian yang menilai pengaruh leverage terhadap profitabilitas atau hubungan antara corporate social responsibility (CSR) dengan nilai pasar perusahaan sepenuhnya menggunakan pendekatan empiris yang mengukur variabel-variabel secara matematis.

Namun, Dilthey mengingatkan bahwa pandangan seperti ini hanya menangkap "permukaan" realitas manusia. Ia memang bisa menjelaskan bagaimana suatu fenomena terjadi, tetapi tidak bisa menjelaskan mengapa dan apa maknanya bagi manusia. Dalam pandangan Dilthey, realitas sosial dan ekonomi tidak bisa direduksi menjadi angka semata, sebab di dalamnya terdapat nilai-nilai, emosi, dan pengalaman hidup yang tidak dapat diukur secara objektif.

  • Ilmu Roh atau Ilmu Humaniora (Geisteswissenschaften)

Berbeda dengan ilmu alam, ilmu kemanusiaan berfokus pada kehidupan batin, makna, dan pengalaman manusia. Tujuannya bukan untuk menjelaskan fenomena dari luar, melainkan untuk memahami (verstehen) kehidupan dari dalam diri manusia itu sendiri. Pengetahuan dalam ilmu kemanusiaan tidak dibangun melalui eksperimen, tetapi melalui proses penafsiran terhadap makna yang terkandung dalam tindakan, bahasa, dan ekspresi manusia.

Bagi Dilthey, memahami manusia berarti berusaha menghidupkan kembali pengalaman batinnya melalui empati dan refleksi (nacherleben). Manusia bukan sekadar objek pengamatan, melainkan subjek yang hidup, bersejarah, dan memiliki kesadaran diri. Dalam konteks ini, ilmu kemanusiaan menuntut kemampuan untuk menafsirkan makna yang terkandung dalam pengalaman manusia---suatu proses yang bersifat hermeneutik.

Hermeneutika yang dikembangkan Dilthey berangkat dari pandangan bahwa seluruh aspek kehidupan manusiate rmasuk seni, agama, budaya, dan bahkan ekonomi adalah bentuk ekspresi dari kehidupan batin (Ausdruck des Lebens). Oleh karena itu, tugas ilmu kemanusiaan bukan untuk mengukur, tetapi untuk menafsirkan makna di balik ekspresi tersebut.

Relevansi Dualitas Pengetahuan terhadap Akuntansi

Pemikiran Dilthey ini memiliki relevansi penting dalam konteks akuntansi modern. Selama ini, akuntansi sering diperlakukan sebagai "ilmu sosial berorientasi alam" karena sangat menekankan aspek objektivitas, kuantifikasi, dan rasionalitas. Pendekatan seperti ini memang penting untuk menjaga konsistensi data, tetapi berisiko mengabaikan nilai kemanusiaan di balik angka-angka tersebut.

Padahal, akuntansi sejatinya tidak hanya berfungsi sebagai alat pencatatan transaksi ekonomi, tetapi juga sebagai bahasa sosial dan moral yang mencerminkan nilai, tanggung jawab, serta pengalaman hidup manusia. Setiap laporan keuangan memiliki makna simbolik yang merepresentasikan hubungan manusia dengan dunia ekonomi dan sosialnya.

Sebagai contoh, laba dalam laporan keuangan dapat dimaknai secara berbeda tergantung pada konteks sosial dan budaya. Di masyarakat tradisional, laba sering diartikan sebagai rezeki yang mengandung nilai spiritual dan keberkahan. Dalam konteks korporasi modern, laba menjadi ukuran kinerja dan legitimasi perusahaan di hadapan publik. Dalam konteks moral religius, laba bisa dimaknai sebagai keseimbangan antara usaha dan kejujuran.

Perbedaan makna ini menunjukkan bahwa akuntansi bukan sekadar alat teknis, tetapi juga fenomena kemanusiaan yang hidup dalam nilai dan budaya. Maka dari itu, Dilthey menegaskan bahwa akuntansi seharusnya tidak hanya dipelajari dari sisi eksperimental dan kuantitatif, melainkan juga dari sisi interpretatif dan moral.

Hermeneutika Sebagai Dasar Pemahaman Akuntansi

Hermeneutika yang diperkenalkan Dilthey membuka jalan bagi cara baru memahami akuntansi. Jika ilmu alam mencari hukum universal yang berlaku bagi semua fenomena, maka hermeneutika mencari makna yang kontekstual dan historis. Artinya, akuntansi harus dilihat sebagai praktik sosial yang selalu terikat pada waktu, tempat, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Sebagai contoh, sistem akuntansi kolonial mencerminkan nilai kontrol dan kekuasaan, sementara sistem akuntansi koperasi di Indonesia mencerminkan nilai gotong royong dan solidaritas sosial. Setiap sistem akuntansi, dengan demikian, adalah cerminan dari "jiwa historis" masyarakat yang melahirkannya.

Dengan memahami akuntansi secara hermeneutik, kita dapat melihat bahwa angka-angka dalam laporan keuangan tidak bersifat netral. Ia adalah simbol kehidupan manusia yang sarat makna moral dan sosial. Maka, peneliti akuntansi tidak seharusnya hanya menjadi "pengamat netral," melainkan juga penafsir yang terlibat secara empatik dalam memahami dunia ekonomi manusia.

Dua Cara Mengetahui: Fisiologi dan Psikologi sebagai Metafora Epistemologis

Wilhelm Dilthey berpendapat bahwa dalam memahami realitas, manusia memiliki dua cara mengetahui yang dapat dijelaskan secara metaforis melalui fisiologi dan psikologi. Fisiologi menggambarkan cara mengetahui yang berorientasi pada objek luar dan fenomena empiris, sedangkan psikologi menggambarkan cara memahami kehidupan batin dan pengalaman subjektif manusia. Kedua cara ini tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi dalam membentuk pengetahuan yang utuh tentang manusia dan dunia.

  • Fisiologi: Mengetahui Alam dari Luar (Naturwissenschaften)

Fisiologi, dalam pandangan Dilthey, menjadi representasi dari ilmu alam (Naturwissenschaften) yang berupaya menjelaskan fenomena eksternal melalui observasi, eksperimen, dan penalaran kausal. Cara mengetahui ini didasarkan pada keyakinan bahwa dunia luar bersifat objektif dan tunduk pada hukum alam yang dapat ditemukan melalui metode ilmiah.

Dalam pendekatan fisiologis, subjek dan objek pengetahuan dipisahkan secara tegas. Peneliti berperan sebagai pengamat netral yang berusaha menjelaskan hubungan sebab-akibat antara berbagai variabel yang dapat diukur. Tujuannya adalah memperoleh kepastian, prediktabilitas, dan hukum yang berlaku universal.

Pendekatan ini kemudian diadopsi oleh banyak ilmu sosial modern, termasuk akuntansi. Paradigma positivistik dalam akuntansi berakar kuat pada cara berpikir fisiologis, di mana setiap fenomena ekonomi dianggap dapat diukur, diuji, dan dijelaskan secara matematis. Laporan keuangan, misalnya, dilihat sebagai cerminan objektif dari realitas ekonomi perusahaan, bukan hasil konstruksi sosial atau interpretasi manusia.

  • Penelitian akuntansi berbasis positivisme biasanya berorientasi pada hubungan antarvariabel, seperti:
  • pengaruh leverage terhadap profitabilitas,
  • pengaruh corporate social responsibility terhadap nilai perusahaan,
  • atau hubungan antara ukuran perusahaan dengan tingkat pengungkapan informasi keuangan.

Semua penelitian ini menggunakan metode statistik yang bertujuan untuk menjelaskan (erklren) realitas dengan cara yang terukur dan rasional. Namun, menurut Dilthey, pengetahuan seperti ini hanya menyentuh aspek luar dari kehidupan manusia. Ia tidak menjangkau dimensi makna, perasaan, dan nilai yang melekat pada tindakan manusia.

Dalam konteks akuntansi, cara mengetahui fisiologis memang penting untuk menciptakan keteraturan dan keandalan informasi, tetapi jika diterapkan secara mutlak, ia berisiko mereduksi manusia menjadi sekadar "angka" dalam sistem ekonomi. Akuntan hanya menjadi pelaksana teknis yang menghitung tanpa memahami makna sosial dari pekerjaannya.

Oleh karena itu, Dilthey menegaskan perlunya cara mengetahui kedua yaitu psikologi agar pengetahuan manusia tidak berhenti pada fenomena luar, tetapi juga menembus kehidupan batin yang menjadi sumber makna.

  • Psikologi: Memahami Manusia dari Dalam (Geisteswissenschaften) 

Psikologi dalam pemikiran Dilthey tidak merujuk pada ilmu kejiwaan eksperimental seperti yang berkembang pada masa sekarang, melainkan pada cara memahami manusia dari dalam dirinya sendiri melalui pengalaman, kesadaran, dan makna hidup. Cara mengetahui ini menjadi dasar dari ilmu roh atau ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), yang bertujuan bukan untuk menjelaskan secara kausal, tetapi untuk memahami (verstehen) secara hermeneutik.

Dalam pendekatan psikologis, subjek dan objek pengetahuan tidak lagi dipisahkan secara tajam. Peneliti berusaha memahami pengalaman manusia dengan menempatkan dirinya dalam situasi dan konteks yang sama. Ini disebut dengan konsep nacherleben --- yaitu "menghidupkan kembali" pengalaman orang lain di dalam kesadaran diri peneliti. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh bukanlah hasil pengukuran, tetapi hasil pemahaman yang empatik.

Bagi Dilthey, kehidupan manusia adalah totalitas pengalaman (Erlebnis) yang sarat dengan makna. Setiap tindakan, bahasa, dan simbol ekonomi adalah ekspresi (Ausdruck) dari pengalaman batin yang perlu ditafsirkan. Maka, tugas ilmu kemanusiaan adalah mengungkap makna di balik ekspresi tersebut.

Dalam konteks akuntansi, cara mengetahui psikologis membantu kita melihat bahwa setiap angka dalam laporan keuangan memiliki dimensi makna. Misalnya:

  • angka laba bukan hanya ukuran keberhasilan finansial, tetapi juga simbol moral atas kejujuran dan tanggung jawab,
  • pengeluaran untuk kegiatan sosial bukan sekadar biaya, tetapi ekspresi empati dan kepedulian terhadap masyarakat,
  • laporan keuangan tahunan bukan hanya alat evaluasi kinerja, tetapi juga bentuk komunikasi nilai antara perusahaan dan publik.

Pendekatan psikologis ini menjadikan akuntansi sebagai teks sosial yang dapat ditafsirkan melalui metode hermeneutik. Akuntan bukan lagi pengamat pasif, tetapi penafsir aktif yang terlibat dalam memahami makna tindakan ekonomi.

Dengan memahami akuntansi melalui psikologi hermeneutik, penelitian akuntansi dapat beralih dari sekadar mencari hubungan antar variabel menjadi usaha untuk memahami konteks historis, budaya, dan nilai-nilai yang mempengaruhi praktik ekonomi. Misalnya, penelitian akuntansi di masyarakat pedesaan akan menafsirkan makna transaksi dan pencatatan bukan hanya dari segi keuangan, tetapi juga dari nilai gotong royong dan kepercayaan sosial yang menyertainya.

Kesatuan Fisiologi dan Psikologi dalam Hermeneutika Akuntansi

Bagi Dilthey, kedua cara mengetahui ini tidak boleh dipisahkan secara ekstrem. Fisiologi memberikan objektivitas dan keteraturan dalam pengetahuan, sementara psikologi memberikan kedalaman makna dan pemahaman. Dalam kehidupan ilmiah yang seimbang, keduanya harus berjalan berdampingan.

Dalam akuntansi, keseimbangan ini berarti bahwa pengukuran kuantitatif dan analisis empiris harus dilengkapi dengan pemahaman interpretatif terhadap makna di balik data. Laporan keuangan tidak cukup hanya dijelaskan melalui teori keuangan, tetapi juga harus dipahami melalui konteks sosial, etika, dan budaya di mana laporan itu disusun.

Misalnya, ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk melaporkan kerugiannya secara terbuka, keputusan itu tidak hanya memiliki makna ekonomi, tetapi juga moral dan sosial. Transparansi tersebut merupakan tindakan simbolik yang mencerminkan nilai kejujuran dan tanggung jawab kepada pemangku kepentingan.

Dengan demikian, fisiologi dan psikologi bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi dua dimensi epistemologis yang saling melengkapi dalam memahami realitas manusia. Dalam kerangka hermeneutik akuntansi, keduanya membentuk dasar bagi pengetahuan yang utuh pengetahuan yang tidak hanya menjelaskan dunia ekonomi, tetapi juga memahami manusia yang hidup di dalamnya.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025

Dasar Episteme: Justifikasi Pengetahuan tentang Manusia

Pemikiran Wilhelm Dilthey tidak hanya berfokus pada perbedaan antara ilmu alam dan ilmu kemanusiaan, tetapi juga pada dasar episteme, yaitu bagaimana pengetahuan tentang manusia dapat dibenarkan dan dianggap sah secara ilmiah. Dilthey berusaha membangun dasar pengetahuan yang berbeda dari positivisme Auguste Comte, yang menilai bahwa hanya ilmu empiris yang berlandaskan observasi dan verifikasi yang dapat disebut "ilmiah."

Bagi Dilthey, pandangan Comte tersebut terlalu sempit karena mengabaikan hakikat manusia sebagai makhluk yang hidup dalam makna dan sejarah. Ia berpendapat bahwa pengetahuan tentang manusia harus berangkat dari pengalaman hidup (Erlebnis), bukan dari pengukuran objektif semata.

  • Ilmu alam mencari penjelasan (Erklren).

Dalam tradisi ilmu alam, pengetahuan diperoleh melalui penjelasan kausal (Erklren). Ilmuwan berusaha menjelaskan fenomena dengan menghubungkan sebab dan akibat. Namun, bagi Dilthey, manusia tidak dapat dijelaskan seperti benda mati karena manusia memiliki kesadaran, tujuan, dan makna yang tidak bisa direduksi menjadi hubungan sebab-akibat.

Oleh karena itu, ilmu tentang manusia memerlukan pendekatan pemahaman (Verstehen). Dengan verstehen, seseorang tidak hanya mengetahui bahwa suatu peristiwa terjadi, tetapi juga memahami mengapa peristiwa itu bermakna bagi pelakunya. Pemahaman ini bersifat hermeneutik, artinya ia diperoleh melalui proses interpretasi terhadap ekspresi kehidupan manusia  baik dalam bentuk tindakan, simbol, maupun bahasa.

Contohnya, dalam dunia akuntansi, seorang peneliti mungkin ingin memahami mengapa suatu perusahaan memilih untuk tidak memaksimalkan laba dalam jangka pendek. Pendekatan erklren akan mencari penjelasan rasional seperti kebijakan investasi atau strategi pasar. Namun, pendekatan verstehen akan menelusuri makna di balik keputusan tersebut: mungkin karena perusahaan memprioritaskan keberlanjutan, kesejahteraan karyawan, atau nilai etika tertentu.

Dengan demikian, Dilthey menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah tidak harus selalu bersifat eksperimental, tetapi dapat pula dibangun melalui pemahaman yang mendalam terhadap kehidupan manusia.

  • Ilmu manusia mencari pemahaman (Verstehen).

Salah satu sumbangan penting Dilthey adalah konsep rasionalitas interpretatif. Menurutnya, ilmu kemanusiaan tetap ilmiah karena memiliki struktur rasionalnya sendiri, meskipun tidak menggunakan metode kuantitatif seperti ilmu alam. Rasionalitas dalam ilmu kemanusiaan tidak diukur dari kemampuan memprediksi, melainkan dari kemampuan menafsirkan secara logis dan koheren.

Dalam konteks ini, kebenaran ilmiah tidak dilihat sebagai sesuatu yang absolut, tetapi sebagai koherensi makna yang dapat diterima oleh komunitas ilmiah. Artinya, pemahaman dianggap sah jika hasil interpretasi tersebut masuk akal secara historis dan sosial.

Dalam akuntansi, rasionalitas interpretatif ini berarti bahwa laporan keuangan dan praktik pencatatan dapat dipahami secara sah apabila interpretasinya konsisten dengan konteks sosial dan moral di mana ia dibuat. Misalnya, praktik akuntansi di pesantren atau koperasi memiliki logika dan nilai tersendiri yang sah dalam konteks sosialnya, meskipun mungkin berbeda dengan standar korporasi modern.

Dengan demikian, epistemologi hermeneutik membuka ruang bagi pluralitas dalam ilmu akuntansi. Tidak ada satu kebenaran tunggal yang berlaku universal, melainkan berbagai kebenaran yang lahir dari konteks kehidupan manusia yang berbeda-beda.

Implikasi bagi Teori Akuntansi

Pemikiran Wilhelm Dilthey tentang hermeneutika dan dualitas pengetahuan memiliki dampak langsung terhadap pengembangan teori akuntansi modern. Akuntansi tidak dapat dipahami semata-mata sebagai sistem teknis yang berorientasi pada angka, tetapi juga sebagai sistem sosial yang sarat makna. Oleh karena itu, teori akuntansi perlu menyeimbangkan dua cara mengetahui: menjelaskan fenomena secara objektif sekaligus memahami maknanya secara kontekstual.

  • Epistemologi Ganda Akuntansi

Epistemologi ganda dalam akuntansi menunjukkan bahwa disiplin ini memiliki dua dimensi pengetahuan yang saling melengkapi: epistemologi luar dan epistemologi dalam.

Epistemologi luar berakar pada pendekatan positivistik yang melihat akuntansi sebagai sistem pengukuran ekonomi yang bersifat objektif dan kuantitatif. Tujuannya adalah menciptakan keteraturan, konsistensi, serta kemampuan untuk membandingkan data antarperiode dan antarentitas. Melalui epistemologi ini, akuntansi memperoleh kredibilitas ilmiah karena didukung oleh data empiris dan metode statistik.

Sementara itu, epistemologi dalam bersumber dari pandangan hermeneutik yang melihat akuntansi sebagai ekspresi sosial dan simbolik dari kehidupan manusia. Dalam epistemologi ini, angka-angka bukan hanya data netral, tetapi simbol yang mengandung makna moral, budaya, dan spiritual. Laporan keuangan dianggap sebagai "teks sosial" yang perlu ditafsirkan untuk memahami nilai dan tujuan yang terkandung di dalamnya.

Kedua epistemologi ini tidak boleh dipertentangkan. Akuntansi membutuhkan keduanya secara seimbang: objektivitas dari epistemologi luar, serta kedalaman makna dari epistemologi dalam. Dengan menggabungkan keduanya, teori akuntansi dapat berkembang menjadi ilmu yang tidak hanya akurat secara teknis, tetapi juga relevan secara sosial dan manusiawi.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
  • Perubahan Peran Peneliti

Implikasi berikutnya dari pemikiran Dilthey adalah perubahan paradigma dalam peran peneliti akuntansi. Jika dalam paradigma positivistik peneliti dianggap sebagai pengamat netral yang berdiri di luar objek kajian, maka dalam paradigma hermeneutik peneliti menjadi bagian dari proses pemahaman itu sendiri.

Peneliti hermeneutik tidak sekadar mengumpulkan data, tetapi berinteraksi dengan konteks sosial dan budaya yang diteliti. Ia harus menggunakan empati (Einfhlung) dan refleksi untuk menafsirkan makna tindakan ekonomi para pelaku. Dengan demikian, penelitian akuntansi bukan hanya bersifat deskriptif atau eksplanatif, tetapi juga interpretatif dan reflektif.

Peran baru ini menuntut adanya kesadaran etis dalam proses penelitian. Peneliti tidak hanya bertanggung jawab terhadap validitas data, tetapi juga terhadap makna yang ia hasilkan. Setiap hasil penelitian merupakan interpretasi yang lahir dari hubungan timbal balik antara peneliti dan dunia sosial yang diteliti. Oleh karena itu, penelitian akuntansi harus dilakukan dengan kejujuran intelektual, empati sosial, dan tanggung jawab moral.

Pendekatan ini membuat penelitian akuntansi lebih dekat dengan realitas manusia. Misalnya, ketika meneliti praktik akuntansi pada lembaga sosial, peneliti tidak cukup hanya mencatat data transaksi, tetapi juga harus memahami motivasi dan nilai-nilai spiritual yang melandasinya. Dengan cara ini, penelitian akuntansi menjadi sarana untuk memahami kehidupan, bukan sekadar mengukur aktivitas ekonomi.

  • Dasar Justifikasi Pengetahuan

Dalam paradigma hermeneutik, justifikasi pengetahuan tidak lagi diukur melalui generalisasi dan replikasi seperti pada ilmu alam, melainkan melalui koherensi dan kedalaman makna. Artinya, suatu pemahaman dianggap sah jika interpretasi yang dihasilkan selaras dengan konteks sosial, historis, dan moral dari objek yang dikaji.

Bagi Dilthey, kebenaran dalam ilmu kemanusiaan bersifat historis dan intersubjektif. Kebenaran bukanlah fakta absolut yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari proses pemahaman yang terjadi di antara manusia. Prinsip ini sangat relevan dalam akuntansi, karena praktik akuntansi selalu dipengaruhi oleh sejarah, budaya, serta norma yang berlaku di masyarakat.

Dengan demikian, dasar justifikasi pengetahuan akuntansi tidak hanya berasal dari kesesuaian antara teori dan data, tetapi juga dari kebermaknaan interpretatif. Sebuah laporan keuangan dianggap benar bukan hanya karena sesuai dengan standar akuntansi, tetapi juga karena mampu mencerminkan nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab sosial.

Oleh karena itu, validitas dalam teori akuntansi tidak dapat diukur hanya melalui reliabilitas angka, melainkan juga melalui keutuhan makna. Dalam kerangka ini, akuntansi menjadi disiplin ilmu yang hidup yang tidak hanya menelusuri kebenaran formal, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai moral dan spiritual yang mendasari setiap tindakan ekonomi manusia.

Wilhelm Dilthey tidak hanya membedakan cara manusia mengetahui dunia, tetapi juga menjelaskan hakikat realitas (ontologi) dari pengetahuan tersebut. Bagi Dilthey, realitas manusia bukan sesuatu yang statis dan material, melainkan kehidupan (das Leben) yang terus bergerak, menafsirkan, dan mengekspresikan dirinya. Dalam pandangan ini, dunia sosial dan ekonomi termasuk akuntansi adalah bagian dari ekspresi kehidupan manusia yang memiliki makna, nilai, dan sejarah.

Ontologi hermeneutik Dilthey berupaya menjelaskan bagaimana kehidupan manusia mewujud dalam simbol, bahasa, dan tindakan. Dengan memahami struktur ontologis ini, akuntansi dapat dipahami bukan sekadar sistem pencatatan, tetapi sebagai ekspresi dari kehidupan manusia dalam berhubungan dengan dunia ekonomi dan sosialnya.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025

Ontologi Hermeneutik sebagai Ontologi Kehidupan

Bagi Dilthey, hakikat realitas adalah kehidupan itu sendiri (das Leben). Kehidupan tidak bisa direduksi menjadi kumpulan fakta atau hukum kausal. Ia adalah aliran pengalaman, kesadaran, dan makna yang terus berubah. Dalam kehidupan, manusia mengalami, menilai, dan menafsirkan dunia secara aktif.

Kehidupan inilah yang menjadi dasar bagi seluruh realitas sosial, termasuk akuntansi. Setiap aktivitas pencatatan, pelaporan, dan pengambilan keputusan keuangan merupakan bagian dari proses manusia memahami dan mengekspresikan kehidupannya. Maka, akuntansi tidak bisa dipahami sebagai sistem mekanis, melainkan sebagai bagian dari proses manusia dalam mengorganisasi pengalaman ekonominya agar bermakna.

Sebagai contoh, laporan keuangan bukan hanya hasil perhitungan rasional, tetapi juga hasil dari interpretasi kehidupan organisasi---bagaimana perusahaan menilai pencapaiannya, bagaimana ia melihat tanggung jawabnya terhadap masyarakat, dan bagaimana ia memaknai keberlanjutan.

Dunia Hidup (Lebenswelt) sebagai Realitas Ontologis Akuntansi

Konsep Lebenswelt atau "dunia hidup" menjelaskan bahwa realitas sosial terbentuk dari pengalaman sehari-hari manusia. Dunia hidup adalah ruang di mana manusia berinteraksi, berkomunikasi, dan memberi makna terhadap segala sesuatu.

Dalam konteks akuntansi, dunia hidup ini mencakup seluruh praktik dan simbol ekonomi yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Laporan keuangan, misalnya, tidak muncul begitu saja, melainkan dibentuk oleh interaksi antara pelaku ekonomi, regulasi, nilai-nilai budaya, dan harapan masyarakat.

Sebagai contoh, akuntansi di masyarakat agraris memiliki dunia hidup yang berbeda dengan akuntansi di korporasi modern. Dalam masyarakat agraris, pencatatan keuangan sering kali dihubungkan dengan rasa syukur dan nilai gotong royong; sementara dalam korporasi, pencatatan lebih terkait dengan efisiensi, keuntungan, dan akuntabilitas publik.

Artinya, setiap praktik akuntansi merepresentasikan dunia hidupnya sendiri. Maka, untuk memahami makna akuntansi, peneliti harus memasuki konteks sosial di mana praktik itu dijalankan.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025

Simbol: Wujud Ontologis dari Kehidupan yang Mengekspresikan Diri

Kehidupan manusia selalu mengekspresikan dirinya melalui simbol. Simbol adalah bentuk luar dari makna batin. Melalui simbol, pengalaman batin yang abstrak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan kepada orang lain.

  • Simbol sebagai Jejak Makna

Setiap angka dalam akuntansi adalah simbol yang menyimpan jejak makna kehidupan ekonomi. Misalnya, saldo kas bukan sekadar jumlah uang yang tersedia, tetapi cerminan dari kemampuan organisasi menjaga kepercayaan publik. Laporan laba bukan hanya ukuran kinerja finansial, tetapi juga simbol keberhasilan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.

Dengan memahami simbol, akuntansi menjadi sarana untuk membaca "bahasa kehidupan ekonomi." Seorang peneliti hermeneutik tidak berhenti pada angka, tetapi menelusuri kisah di balik angka tersebut --- kisah tentang usaha, nilai, dan keputusan moral.

  • Bahasa Akuntansi sebagai Bahasa Simbolik Kehidupan

Bahasa akuntansi adalah salah satu bentuk ekspresi simbolik yang kompleks. Ia menggunakan kode, istilah, dan angka untuk menyampaikan makna tertentu. Namun, seperti bahasa pada umumnya, maknanya tidak pernah tunggal.

Contohnya, istilah "laba" dapat bermakna positif dalam konteks bisnis, tetapi bisa juga dianggap ambigu jika dicapai dengan cara yang tidak etis. Laporan keuangan bisa dimaknai sebagai bukti keberhasilan, tetapi juga bisa dipertanyakan jika tidak transparan. Karena itu, bahasa akuntansi harus dibaca secara hermeneutik dipahami dalam konteks sosial dan nilai-nilai yang melingkupinya.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
  • Ekspresi (Ausdruck): Manifestasi Ontologis dari Jiwa Sosial

Bagi Dilthey, setiap tindakan manusia adalah ekspresi (Ausdruck) dari kehidupan batinnya. Ekspresi ini bukan sekadar simbol, tetapi juga cara manusia mengungkapkan jati dirinya di dunia sosial.

Dalam akuntansi, setiap keputusan seperti bagaimana suatu transaksi dicatat, bagaimana laporan disusun, atau bagaimana laba diumumkan merupakan bentuk ekspresi sosial. Keputusan-keputusan itu mencerminkan nilai dan orientasi moral organisasi.

Misalnya, ketika perusahaan memutuskan untuk menunda pembagian dividen demi mendukung kesejahteraan karyawan, tindakan itu merupakan ekspresi solidaritas sosial. Dengan demikian, setiap praktik akuntansi adalah wujud nyata dari "jiwa sosial" organisasi.

  • Hubungan Ontologis antara Manusia dan Dunia Akuntansi

Dilthey menolak pandangan bahwa manusia dan dunia adalah dua entitas yang terpisah. Sebaliknya, manusia hidup di dalam dunia dan dunia memperoleh maknanya melalui pengalaman manusia. Hubungan ini bersifat ko-eksistensial.

Dalam konteks akuntansi, manusia tidak hanya "menggunakan" sistem akuntansi, tetapi juga membentuk dan dibentuk oleh sistem itu. Akuntansi memengaruhi cara manusia berpikir tentang nilai, keberhasilan, dan tanggung jawab. Sebaliknya, nilai-nilai manusia memengaruhi bagaimana akuntansi dijalankan.

Misalnya, ketika masyarakat menilai bahwa kejujuran adalah nilai utama, maka sistem akuntansi yang dihasilkan pun akan menekankan transparansi dan akuntabilitas. Tetapi jika orientasi utama adalah laba tanpa batas, akuntansi bisa berubah menjadi alat pembenaran manipulasi angka.

Dengan demikian, hubungan manusia dan akuntansi bersifat dialektis keduanya saling membentuk dalam proses kehidupan sosial.

  • Hubungan Ontologis antara Manusia dan Dunia Akuntansi

Dilthey menolak pandangan bahwa manusia dan dunia adalah dua entitas yang terpisah. Sebaliknya, manusia hidup di dalam dunia dan dunia memperoleh maknanya melalui pengalaman manusia. Hubungan ini bersifat ko-eksistensial.

Dalam konteks akuntansi, manusia tidak hanya "menggunakan" sistem akuntansi, tetapi juga membentuk dan dibentuk oleh sistem itu. Akuntansi memengaruhi cara manusia berpikir tentang nilai, keberhasilan, dan tanggung jawab. Sebaliknya, nilai-nilai manusia memengaruhi bagaimana akuntansi dijalankan.

Misalnya, ketika masyarakat menilai bahwa kejujuran adalah nilai utama, maka sistem akuntansi yang dihasilkan pun akan menekankan transparansi dan akuntabilitas. Tetapi jika orientasi utama adalah laba tanpa batas, akuntansi bisa berubah menjadi alat pembenaran manipulasi angka.

Dengan demikian, hubungan manusia dan akuntansi bersifat dialektis keduanya saling membentuk dalam proses kehidupan sosial.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
  • Ontologi Akuntansi sebagai Ekspresi Jiwa Historis

Setiap praktik akuntansi memiliki akar historisnya. Ia lahir dari konteks sosial, budaya, dan ekonomi tertentu. Karena itu, akuntansi bersifat historis selalu berubah mengikuti dinamika nilai masyarakat.

Misalnya, akuntansi kolonial yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda menekankan kontrol dan kepatuhan. Sebaliknya, akuntansi koperasi yang berkembang di Indonesia menonjolkan nilai keadilan dan kebersamaan.

Hal ini menunjukkan bahwa akuntansi bukan entitas universal yang netral, melainkan hasil dari pengalaman sejarah manusia. Ia adalah cermin dari "jiwa historis" masyarakat yang melahirkannya. Dengan memahami sejarah akuntansi, kita dapat memahami bagaimana nilai dan budaya membentuk cara manusia menghitung, mencatat, dan menilai kehidupan ekonominya.

  • Kesimpulan Ontologis

Ontologi hermeneutik Dilthey menegaskan bahwa hakikat realitas manusia adalah kehidupan yang bermakna dan terus menafsirkan dirinya. Dalam konteks akuntansi, hal ini berarti bahwa sistem, laporan, dan praktik ekonomi tidak dapat dipahami tanpa melihatnya sebagai bagian dari kehidupan sosial manusia.

Akuntansi bukan sekadar alat teknis, melainkan cermin kehidupan yang mengekspresikan nilai, sejarah, dan kesadaran moral masyarakat. Melalui pendekatan hermeneutik, akuntansi dapat dipahami secara lebih utuh sebagai wujud kehidupan yang berbicara melalui simbol, bahasa, dan ekspresi sosial.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025

Aksiologi Akuntansi Hermeneutik Wilhelm Dilthey

Setelah menjelaskan dasar epistemologis dan ontologis, Wilhelm Dilthey menempatkan aksiologikajian tentang nilai sebagai puncak dari pemahaman manusia. Aksiologi hermeneutik berfokus pada bagaimana pengetahuan digunakan secara bermakna, bagaimana nilai dihidupi dalam tindakan, dan bagaimana makna moral hadir dalam kehidupan manusia.

Dalam konteks akuntansi, aksiologi hermeneutik berarti memandang akuntansi bukan hanya sebagai alat pengukuran atau sistem pelaporan, tetapi sebagai sarana etis dan spiritual yang mencerminkan nilai kehidupan. Angka-angka dalam laporan keuangan bukan sekadar hasil perhitungan rasional, melainkan ekspresi nilai kemanusiaan seperti empati, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.

  • Pendahuluan: Dari Pengetahuan Menuju Nilai

Dilthey menegaskan bahwa ilmu tidak hanya berhenti pada pengetahuan, tetapi harus berorientasi pada kehidupan yang bernilai. Pengetahuan tanpa nilai akan kehilangan arah dan berpotensi menjadi alat yang tidak manusiawi. Dalam akuntansi, orientasi terhadap nilai berarti memahami bahwa setiap angka memiliki konsekuensi moral bagi kehidupan sosial.

Laporan keuangan tidak hanya menyajikan informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi, tetapi juga menyampaikan pesan moral tentang tanggung jawab, kejujuran, dan kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, akuntansi yang sejati harus menyeimbangkan efisiensi rasional dengan kemanusiaan moral.

  • Nilai Kehidupan (Lebenswert) dalam Akuntansi

Konsep Lebenswert (nilai kehidupan) dalam pandangan Dilthey menegaskan bahwa setiap tindakan manusia harus memiliki makna bagi kehidupan itu sendiri. Nilai kehidupan tidak bersumber dari peraturan eksternal, tetapi dari kesadaran batin manusia yang berusaha mencapai kebaikan.

Dalam akuntansi, Lebenswert berarti bahwa setiap proses pencatatan dan pelaporan harus berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya, transparansi bukan hanya kewajiban administratif, tetapi bentuk penghargaan terhadap kepercayaan publik. Keakuratan bukan hanya soal angka yang benar, tetapi juga tentang komitmen pada kejujuran.

Akuntansi yang mengandung nilai kehidupan tidak hanya menilai laba dan rugi, tetapi juga dampak sosial dari kegiatan ekonomi. Keputusan akuntansi yang baik adalah keputusan yang selaras dengan nilai-nilai moral dan membawa manfaat bagi kehidupan bersama.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
  • Empati (Einfhlung) sebagai Etika Pemahaman

Empati atau Einfhlung merupakan inti dari hermeneutika Dilthey. Ia adalah kemampuan untuk "menghidupkan kembali" pengalaman orang lain di dalam kesadaran diri sendiri. Dalam konteks akuntansi, empati menjadi landasan etika yang memungkinkan akuntan, auditor, dan peneliti untuk memahami realitas ekonomi secara manusiawi.

Akuntansi hermeneutik menuntut agar pelaku akuntansi tidak hanya menghitung, tetapi juga merasakan. Misalnya, seorang auditor yang memahami konteks kesulitan ekonomi klien akan menilai laporan keuangan dengan keseimbangan antara keadilan dan kemanusiaan. Seorang manajer yang memahami dampak keputusannya terhadap karyawan tidak hanya mengejar efisiensi, tetapi juga kesejahteraan.

Empati menjadikan akuntansi lebih bermoral, karena ia mengembalikan manusia sebagai pusat praktik ekonomi. Dengan empati, angka bukan lagi sekadar alat evaluasi, tetapi juga sarana komunikasi antarhati yang dilandasi niat baik dan tanggung jawab sosial.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
  • Makna Moral pada Angka Akuntansi

Dalam kerangka aksiologi hermeneutik, setiap angka memiliki dimensi moral. Laporan keuangan bukan sekadar dokumen ekonomi, melainkan teks moral yang mencerminkan pilihan etis organisasi. Ketika perusahaan melaporkan keuntungan yang besar tetapi menutup-nutupi dampak sosial negatifnya, angka-angka itu kehilangan makna moralnya.

Sebaliknya, laporan yang jujur dan transparan mencerminkan keberanian moral untuk mengakui kenyataan. Dalam hal ini, akuntansi berfungsi sebagai "cermin nurani organisasi" media yang memantulkan integritas atau ketidaktulusan para pelaku ekonomi.

Makna moral inilah yang menjadikan akuntansi bukan hanya sistem informasi, tetapi juga sistem pertanggungjawaban etis. Melalui akuntansi, manusia menegaskan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan dalam kehidupan bersama.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
  • Integrasi Nilai, Empati, dan Makna Moral

Nilai, empati, dan makna moral bukanlah unsur yang berdiri sendiri; ketiganya saling terintegrasi dalam membentuk jiwa hermeneutik akuntansi.

Nilai memberi arah, empati memberi kedalaman, dan makna moral memberi legitimasi terhadap tindakan ekonomi. Ketika ketiganya berpadu, akuntansi menjadi ilmu yang hidup bukan sekadar alat ukur, tetapi sarana manusia memahami dan menata kehidupannya secara bermakna.

Integrasi ini tampak nyata dalam praktik ketika keputusan keuangan dibuat dengan kesadaran penuh akan dampaknya terhadap manusia. Misalnya, perusahaan yang memilih menunda ekspansi demi mempertahankan kesejahteraan karyawan menunjukkan bahwa laba bukan satu-satunya ukuran keberhasilan. Keputusan tersebut mencerminkan integrasi nilai (prioritas kesejahteraan), empati (memahami kondisi manusia), dan makna moral (tanggung jawab sosial).

Dalam konteks ini, akuntansi menjadi bahasa kehidupan moral. Ia berbicara bukan hanya tentang angka, tetapi tentang cinta, kejujuran, dan rasa kemanusiaan. Akuntansi yang terintegrasi secara aksiologis membantu manusia melihat ekonomi bukan sebagai arena kompetisi semata, melainkan sebagai ruang etis tempat manusia belajar memahami, memberi, dan hidup bersama.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
  • Aksiologi sebagai Jiwa Hermeneutika Akuntansi

Bagi Dilthey, aksiologi adalah jiwa dari seluruh struktur ilmu manusia. Ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati bukan hanya tentang mengetahui, melainkan tentang hidup dengan sadar dan bermoral. Hermeneutika tanpa nilai hanyalah retorika; akuntansi tanpa moral hanyalah perhitungan kosong.

Oleh karena itu, aksiologi menjadi fondasi terakhir dari ilmu akuntansi hermeneutik. Ia memastikan bahwa praktik ekonomi tidak terlepas dari tanggung jawab etis. Ilmu dan nilai harus bersatu: ilmu memberi arah rasional, nilai memberi arah moral.

Melalui perspektif ini, akuntansi dipahami sebagai cermin kemanusiaan sarana untuk menafsirkan kehidupan ekonomi dengan empati, menegaskan kejujuran melalui angka, dan membangun kepercayaan sosial melalui transparansi. Akuntansi tidak lagi sekadar alat administratif, tetapi menjadi praktik etis yang menghubungkan manusia dengan sesamanya dan dengan makna kehidupan itu sendiri.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025

Sintesis Filosofis Umum

Dari keseluruhan analisis epistemologis, ontologis, dan aksiologis hermeneutik Wilhelm Dilthey, dapat disimpulkan bahwa:

  • Secara epistemologis, akuntansi adalah proses memahami realitas ekonomi melalui kombinasi penjelasan rasional dan pemahaman maknawi.
  • Secara ontologis, akuntansi adalah ekspresi kehidupan manusia yang menafsirkan dan menata pengalaman ekonominya.
  • Secara aksiologis, akuntansi adalah tindakan bermoral yang memadukan nilai, empati, dan makna moral.

Dengan demikian, akuntansi hermeneutik tidak hanya menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa manusia menghitung, tetapi juga untuk apa manusia menghitung.
Laporan keuangan bukan lagi dokumen teknis, melainkan narasi eksistensial tentang manusia yang berjuang memahami dan menghidupi nilai-nilai kebaikan dalam dunia ekonomi.

Akuntansi yang demikian tidak hanya benar secara teknis, tetapi juga benar secara manusiawi karena ia hidup dari cinta, empati, dan moralitas yang menjadi inti dari kehidupan itu sendiri.

Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025
Sumber: PPT 'Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey' by Prof Apollo, FEB UMB 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun