Bayangkan seorang orang tua di tengah pameran pendidikan. Puluhan stan sekolah menawarkan kurikulum internasional, fasilitas canggih, dan jaminan masuk universitas ternama. Bingung, ia bertanya pada salah satu perwakilan sekolah, "Apa tujuan mendasar pendidikan di sini? Lulusan seperti apa yang ingin sekolah ini hasilkan?" Pertanyaan itu, yang sering kali terlewatkan di tengah gemerlap promosi, sebenarnya adalah inti dari segala proses belajar-mengajar. Kita terlalu sering terjebak dalam diskusi tentang bagaimana cara mengajar yang efektif, tanpa pernah berhenti sejenak untuk merenungkan mengapa kita mendidik dan untuk apa pendidikan itu sendiri ada. Fenomena sehari-hari ini menunjukkan betapa seringnya kita menjalankan mesin pendidikan tanpa mengetahui tujuannya. Tulisan ini mengajak kita untuk menelisik lebih dalam pendidikan melalui kacamata filsafat, yang ternyata tidak serumit kedengarannya dan sangat relevan untuk menentukan masa depan anak-anak kita.Â
Mengapa percakapan tentang tujuan pendidikan menjadi sangat mendesak saat ini?. Kita hidup di zaman yang penuh disrupsi. Laporan dari berbagai forum ekonomi dunia berulang kali menyebutkan bahwa puluhan jenis pekerjaan akan hilang dan digantikan oleh profesi baru yang bahkan belum terbayangkan. Di sisi lain, isu kesehatan mental di kalangan remaja, krisis iklim, dan polarisasi sosial menjadi tantangan nyata yang tidak bisa dijawab hanya dengan rumus matematika atau hafalan tanggal sejarah. Sistem pendidikan kita seolah tertinggal, sibuk mengejar target-target kuantitatif seperti skor PISA atau persentase kelulusan, namun gagap dalam membekali generasi muda dengan daya lenting, empati, dan kemampuan berpikir kritis. Urgensi ini diperkuat oleh fakta bahwa banyak lulusan merasa tidak siap menghadapi kompleksitas dunia kerja dan kehidupan nyata. Tanpa landasan filosofis yang kokoh, pendidikan hanya akan menjadi pabrik yang mencetak pekerja, bukan manusia seutuhnya yang siap menjadi warga dunia yang bertanggung jawab (Anwar, 2015)
Untuk menjawab kebingungan tersebut, filsafat pendidikan menawarkan tiga tujuan atau fungsi utama yang bisa diibaratkan sebagai alat navigasi: investigatif (teropong), preskriptif (peta), dan inspirasional (kompas).
1. Â Fungsi Investigatif: Meneropong Asumsi Tersembunyi
Fungsi pertama ini bertindak layaknya seorang detektif atau astronom yang menggunakan teropong. Tujuannya adalah untuk mengkaji, menganalisis, dan mempertanyakan asumsi-asumsi yang mendasari praktik pendidikan kita. Mengapa siswa harus duduk rapi menghadap ke depan? Apa yang sesungguhnya diukur oleh ujian pilihan ganda? Apakah peringkat kelas benar-benar mencerminkan kecerdasan anak? Filsafat investigatif mengajak kita untuk tidak menerima begitu saja tradisi atau kebijakan yang ada.Â
Sebagai contoh kasus, mari kita lihat fenomena ranking di sekolah. Secara permukaan, ranking terlihat sebagai alat untuk memotivasi siswa agar berprestasi. Namun, pendekatan investigatif akan membongkar asumsi di baliknya. Apakah kompetisi adalah satu-satunya cara memotivasi? Apa dampak psikologis bagi siswa yang selalu berada di peringkat bawah? Apakah ranking justru mematikan kolaborasi dan kreativitas?. Dengan "meneropong" praktik ini, kita bisa melihat bahwa ranking mungkin lebih banyak menghasilkan kecemasan dan mentalitas persaingan tidak sehat daripada semangat belajar yang tulus. Implikasi praktisnya bagi orang tua dan guru adalah mulai beralih dari pertanyaan "Anak saya ranking berapa?" menjadi "Apa kemajuan yang sudah anak saya capai minggu ini?" atau "Di bagian mana ia menunjukkan minat terbesarnya?" (Permana, 2024).
2. Fungsi Preskriptif: Menyediakan Peta Jalan
Setelah fungsi investigatif membongkar masalah, fungsi preskriptif datang untuk menawarkan solusi atau arah. Jika praktik lama dianggap tidak lagi sesuai, lalu praktik seperti apa yang seharusnya kita jalankan? Fungsi ini memberikan resep atau "peta jalan" tentang bagaimana pendidikan seharusnya diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai tertentu. Peta ini bisa datang dari berbagai aliran filsafat, seperti progresivisme yang menekankan pembelajaran berbasis pengalaman, atau esensialisme yang fokus pada pengetahuan inti (Chrismastianto et al, 2023).
Contoh nyata dari fungsi preskriptif adalah penerapan model Project-Based Learning (PBL) di banyak sekolah saat ini. Model ini lahir dari resep filosofis yang menyatakan bahwa belajar akan lebih bermakna jika siswa terlibat aktif dalam memecahkan masalah dunia nyata, bukan sekadar menerima informasi pasif. Resepnya jelas: bentuk kelompok, berikan masalah otentik, biarkan mereka berkolaborasi, dan presentasikan solusi mereka. Pandangan ini berbeda dengan metode ceramah tradisional yang memandang guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Implikasi praktisnya adalah sekolah dan guru didorong untuk merancang pengalaman belajar yang relevan, kolaboratif, dan aplikatif, sesuai dengan peta jalan yang diyakininya akan membawa siswa ke tujuan pembelajaran yang lebih baik (Mones, 2023).
3. Fungsi Inspirasional: Menjadi Kompas Moral dan Tujuan
Ini adalah fungsi yang paling mendasar dan sering terlupakan. Jika peta memberikan rute, maka kompas memberikan arah mata angin---tujuan akhir yang menjadi alasan kita melakukan perjalanan ini. Fungsi inspirasional bertanya: "Untuk apa semua ini kita lakukan? Manusia seperti apa yang ingin kita bentuk?". Ia berbicara tentang visi, etika, dan makna. Apakah tujuan akhir pendidikan untuk menciptakan individu yang bahagia, warga negara yang demokratis, hamba Tuhan yang taat, atau tenaga kerja yang produktif?.