Female genital mutilation atau sunat pada perempuan adalah prosedur pemotongan maupun pengangkatan bagian luar alat kelamin wanita untuk tujuan yang tidak berkaitan dengan kesehatan (World Health Organization, 2025).
Bagian luar yang diangkat saat female genital mutilation adalah vulva yang terdiri atas bagian-bagian penting seperti jaringan lemak yang menutupi tulang kemaluan hingga masing-masing lubang saluran kemih yang sangat rentan terhadap infeksi, sehingga prosedur female genital mutilation ini akan berdampak serius tidak hanya pada kesehatan reproduksi, tetapi juga dapat mengancam nyawa korban.
Praktik yang seharusnya dapat dikatakan sebagai kegiatan yang ilegal ini nyatanya masih banyak diterapkan di beberapa negara sebagai bentuk tradisi, salah satunya adalah Afrika, World Health Organization mencatat ada 230 juta wanita yang tersebar di 30 negara Afrika sudah pernah melakukan prosedur tersebut. Female genital mutilation bukanlah fenomena sederhana tentang kepatuhan masyarakat kepada nilai leluhur, ini adalah bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak bagi perempuan di Afrika.
Praktek sunat perempuan di Afrika diperkirakan sudah ada sejak 200 tahun lalu sebagai hasil dari akulturasi budaya penduduk asli dengan pengaruh luar. Belum ada runtutan resmi bagaimana tradisi ini berkembang, namun ada negara di Afrika yang 90% penduduk perempuannya pernah melakukan sunat, yaitu Sierra Leone dengan soweis (juru sunat) yang bangga dengan “pekerjaannya”.
Warga Afrika menganggap bahwa female genital mutilation adalah tradisi pubertas untuk mempertahankan kodrat perempuan yang dianggap suci dan tidak ternodai. Mereka menilai dengan dilakukannya prosedur pemotongan sebagian alat kelamin dapat mencegah perempuan (dan juga wanita) memiliki hasrat berhubungan seksual saat remaja sehingga dapat “menjaga” kesucian mereka hingga pernikahan tiba. Tidak hanya itu, warga Afrika juga percaya bahwa sunat pada perempuan akan membuat mereka setia pada suaminya kelak.
Padahal jika kita lihat melalui pandangan rasional dan medis, sunat pada perempuan tidak memiliki pengaruh terhadap tingginya hasrat seksual seseorang, justru banyak faktor negatif yang akan timbul dari tindakan tersebut. Lapisan yang nantinya dihilangkan untuk meresmikan sunat adalah lapisan pelindung, jika itu dihilangkan maka akan terjadi kerusakan pada jaringan genital perempuan yang awalnya sehat dan normal.
Sunat yang dilakukan akan mengganggu fungsi alami dan pertumbuhan perempuan mengingat prosedur dilakukan saat mereka menginjak fase pubertas. Sesaat setelah prosedur dilakukan, perempuan akan mengalami pendarahan, pembengkakan, masalah pada saluran kencing, bahkan jika korban mengalami shock yang berlebih akan mengakibatkan kematian.
Tidak hanya itu, perempuan juga harus mengalami dampak jangka panjang dari sunat ini, diantaranya masalah vagina seperti keputihan, nyeri berkepanjangan, gangguan datang bulan, peningkatan resiko komplikasi saat persalinan. Pasalnya sudah banyak korban nyata dari fenomena female genital mutilation di Afrika yang berusia 15-49 tahun.
Salah satunya adalah Fatmata Turay yang meninggal di usia 19 tahun setelah pulang ke kampung halamannya di Sierra Leone dan menjalani prosedur sunat di sana.
Dengan segala penderitaan yang perempuan alami akibat praktek sunat tersebut, dapat dikatakan bahwa ini adalah fenomena yang mengancam keamanan manusia dan hak perempuan supaya tidak perlu mendapatkan stereotype serta perlakuan berbeda terhadap sifat-sifat dasar manusia yang tidak hanya terfokus pada perempuan.
Menurut Commission on Human Security, disebutkan bahwa keamanan manusia adalah upaya untuk melindungi hal inti atau vital dalam kehidupan manusia yang dicirikan dengan kebebasan dari ancaman hak dan pemenuhan kebutuhan. Keamanan ini juga berarti manusia harus dilindungi dari kekerasan baik verbal maupun non verbal serta dipastikan mendapat freedom from want dan freedom from fear (UNDP, 1994).