Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Membolak-balik Waktu di Kampung Naga

3 Oktober 2014   04:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:34 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_326984" align="aligncenter" width="591" caption="Kampung Naga dilihat dari jauh"][/caption]

(Tulisan pertama tentang Kampung Naga)

Selalu saja ada kegelisahan hidup di zaman yang terasa berputar makin cepat ini. Ada benda-benda yang datang mengisi hidup kita yang datang silih berganti, hari ini terasa canggih, besok hari sudah tertinggal usia. Kaum neo-futuris, seperti yang dikatakan Anthony G Wilhelm seolah tak bisa berhenti mengejar segala kebaruan dalam hidup kita. Hidup, bagi mereka adalah menyesuaikan diri dengan zaman, berlari sejajar dengan segala temuan teknologi. Tertinggal adalah mati.

Dan kita --sori, saya, awalnya terjejali pikiran seperti itu. Setidaknya belasan tahun yang lalu. Zaman pager masih barang istimewa, saya memaksakan diri untuk memilikinya, sekadar gengsi, padahal benda itu nyaris tanpa guna, bahkan menyusahkan; harus bayar biaya langganan, dan setiap kali dihubungi, justru harus keluar duit untuk balik menghubungi orang yang menghubungi kita. Pager lewat, almarhum, ganti handphone yang waktu itu barang sangat-sangat istimewa; menenteng hape terasa sama seperti keluar dari Lamborghini. Menerima atau menghubungi orang lewat hape, sama dengan kepergok sedang menunggangi Ferrari. Rasanya. Tak peduli isi pulsa paling murah 100 ribu, fasilitas sms belum ada, keluar kota kena biaya roaming. Lalu laptop. Lalu...

Lalu kesadaran itu muncul. Teknologi bukan untuk dikejar, meski bukan untuk diabaikan. Muncul kesadaran lain, menjadi kaum tekno-realis yang menurut Wilhelm, kaum ini memandang teknologi dengan lebih realistis; butuh gunakan, tidak butuh tidak perlu memaksakan memilikinya. Sejak itu, meski baru membaca buah pikir Wilhelm belakangan, saya berhenti mengejar kepemilikan teknologi. Hape punya, sekadar bisa menghubungi dan dihubungi tanpa harus mengejar fitur dan model. Laptop ada, selama masih bisa dipakai, ganti urusan nanti. Tablet? Sampai sekarang masih belum kepikiran untuk punya, begitu pula BB; selama masih ada alat lain, nanti saja.

Tapi tiba-tiba, sebuah kunjungan ke Kampung Naga di Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Membuat saya memikirkan satu opsi dari Wilhelm; menjadi kaum dystopian, yang memandang teknologi dengan sangat berhati-hati, jika tidak bisa dikatakan anti.

Waktu mendadak seperti berhenti ketika berbelok di jalur utama Garut-Singaparna Tasikmalaya ini. Limaratus meteran menuruni anak tangga yang curam, dan, kita sudah berada di zaman yang sudah lama mematikan waktu.

Tak ada aliran listrik di kampung kecil dengan 113 bangungan dan diisi oleh 108 kepala keluarga itu. Di pojok rumah Mang Endut, pemandu kunjungan kami, ada sesosok benda besi hitam dengan pegangan kayu yang sudah mengkilap karena sering dipegang; setrika arang. Di pawon –dapur—yang berada setengah meteran di atas tanah, terdapat seonggok benda dari tanah liat; hawu, alias tungku, lengkap dengan peralatan masak sezamannya seperti seeng untuk memasak nasi dan merebus air lengkap dengan haseupan, wadah penahan beras dari anyaman bambu. Kawan hawu yang lebih modern juga tergeletak di situ, sedang digunakan malah, yaitu kompor minyak tanah. Di pojok rumah lain, tergantung tiga buah damar –lampu cempor minyak tanah, bersama dua kawannya yang lebih canggih; lampu petromax.

[caption id="attachment_326979" align="aligncenter" width="591" caption="Setrika Arang di Kampung Naga"]

14122613752111819363
14122613752111819363
[/caption]

[caption id="attachment_326980" align="aligncenter" width="591" caption="Lampu Teplok dan Petromax di Kampung Naga"]

1412261425157179828
1412261425157179828
[/caption]

[caption id="attachment_326981" align="aligncenter" width="591" caption="Dapur di Kampung Naga"]

14122614901992931317
14122614901992931317
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun