Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (13) Sel di Asrama

9 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:47 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua anak itu bergegas mendekati perkelahian empat lawan empat itu, tepat di pinggir jalan yang ramai. Orang-orang mulai tertarik memperhatikan. Apalagi dengan seragam putih mereka yang mencolok.

Peta mencoba menyelamatkan Jaba yang berbadan kecil, yang jadi bulan-bulanan seorang anak yang badannya lebih besar. Sementara Soso mencoba memisahkan si Seva yang sedang bergumul di tanah. Belum juga memisahkan si Seva, Soso melihat si Pepa dihajar anak yang tadinya melawan si Jaba. Apesnya, si Pepa tersandung trotoar dan kepalanya menghantam tiang lampu jalan. Habis itu, anak yang menghajarnya masih saja menyerbunya, padahal si Pepa sudah tergeletak. Soso batal menolong si Seva, dan berniat menyelamatkan si Pepa. Ia mencoba menarik badan anak yang menghajar si Pepa, tapi kalah tenaga. Giliran anak itu berbalik dan menjotoskan tinjunya dan mendarat mulus di muka Soso.

Apa boleh buat, emosi Soso pun naik ke ubun-ubun. Sifat berandalannya yang sudah dipendam lebih setahun muncul lagi. Ia pun balas menyerang anak itu. Pergumulan pun terjadi…

*****

Sebelas anak itu berdiri berjejer di pojok lapangan di tengah asrama. Soso, Peta, Seva, Pepa, Jaba, Gego, Kaka, bersama dengan si Sesa dan tiga kawannya. Pakaian putih mereka sudah tak kinclong lagi, penuh dengan debu, bahkan ada yang sobek. Pakaian si Pepa malah lebih parah karena ketetesan darah dari kepalanya yang sudah diperban.

Di depan mereka, berdiri dua orang yang sudah mereka kenal, Abram Germogen alias Inspektur Germogen, kepala pengawas asrama, bersama dengan Pak Dmitri, anak buahnya yang kemarin menghukum si Sesa. Pak Dmitri memegangi cemeti dari lilitan akar yang tampak sangat lentur. Sementara Inspektur Germogen hanya mondar-mandir. Lalu tak lama kemudian meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun.

Masing-masing anak sudah mendapatkan jatah pecutan dari Pak Dmitri. Hadiah itu diberikan setiap kali Pak Dmitri mengajukan pertanyaan, “Jadi siapa yang mulai?” dan anak yang ditanya, kalau ia rombongan Soso, akan menunjuk si Sesa, sementara rombongan si Sesa akan menunjuk si Gego.

Soso sudah tiga kali menjawab dan tiga kali dapat hadiah. Pedes juga punggungnya disamber cemeti itu. Pas giliran Pak Dmitri mendatanginya lagi dan bertanya yang sama, Soso mengganti jawabannya, “Saya, Romo!”

“Bagus!” lepaskan pakaianmu. Kata Pak Dmitri. Soso sudah kebat-kebit, duh, dihajar cemeti pake baju aja sudah pedes, apalagi nggak pake baju. Tapi ia terpaksa melepaskan seragamnya, tinggalah dia memakai daleman dari linen yang sudah kusam dan celana pendek selutut. “Mundur!” kata Pak Dmitri lagi.

Loh… kirain mau dihajar. Pak Dmitri malah bergeser pada si Peta lalu mengulangi pertanyaan yang sama. Karena melihat Soso nggak dihajar dengan jawaban “Saya, Romo!” si Peta pun ikutan. Hasilnya sama, disuruh melepaskan seragam dan mundur. Akhirnya semua pada ikutan nyontek jawaban Soso. Begitu juga dengan rombongan si Sesa. Beneran nggak ada yang dihajar lagi. Mereka malah suruh berbaris memanjang. Soso di depan, diikuti yang lain. Mereka disuruh mengikuti Pak Dmitri meninggalkan lapangan. Pak Dmitri memberi kode pada seorang pengawas lainnya, dan bergegas mengikuti mereka ke bagian belakang gedung, masuk melalui lorong kecil, menurun, dan sampailah mereka di lantai di bawah lantai dasar.

Rupanya, di deretan bangunan paling belakang itu tak berlantai empat, melainkan ada lima lantai. Satu lantai lagi berada di bawah lantai dasar. Maklum, tanah di Tiflis memang tidak rata, jadi mungkin bangunan itu mengikuti kontur tanah yang ada. Anak-anak itu dibawa memasuki lorong yang gelap, banyak pintu di kiri dan kanan mereka. Jelas bukan ruang kelas, atau kamar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun