Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (13) Sel di Asrama

9 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:47 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (12) Ciee.. Calon Pendeta!

*****

Kamar tempat Soso tinggal mulanya hanya berisi 28 orang. Ada dua tempat tidur yang kosong. Di situ bercampur-baur antara murid kelas A, B, dan C. Soso, Seva, dan Pepa berada dalam satu kelas, kelas A, sementara Peta di kelas C. Hari ketiga, pagi-pagi sebelum lonceng berbunyi, seorang pengawas yang dikenal dengan nama Pak Dmitri, pengawas paling galak seantero asrama, mengantarkan dua orang anak dari ruangan lain. “Jangan pindah-pindah lagi, tempatmu di sini sekarang!” kata Pak Dmitri pada dua anak itu.

Seva, dan Pepa langsung pada melirik Soso. Bukan apa-apa, salah satu dari dua anak itu adalah anak paling menyebalkan di kelas mereka, Alexei Gardapkhadze alias si Sesa, anak kepala polisi di Mtsketha dan konon masih keturunan bangsawan Kakheti. Tapi di tangan Pak Dmitri, anak itu tidak berdaya seperti halnya anak-anak lain. 

Pak Dmitri, aslinya bernama Pangeran David Abashidze. Ia adalah satu-satunya guru pengawas di seminari itu yang asli Georgia. Tapi menurut bisik-bisik anak-anak, dia itu lebih Rusia dari orang Rusia sendiri, dan membenci orang Georgia layaknya musuhnya sendiri. Tak ada yang tahu kenapa alasannya. Tapi yang jelas, dia terkenal dengan ungkapannya, “Jangan ngomong pake bahasa anjing!” kalau ada anak yang kedapatan ngomong memakai bahasa Georgia, entah itu bisik-bisik, atau sekadar keceplosan.


Sesa dan satu anak lainnya itu langsung menuju kasur kosong yang letaknya dekat dengan pintu, sama sekali nggak strategis, makanya nggak ada yang mau menempati. Mereka tampak enggan melihat posisi tempat tidur yang nggak nyaman itu. Tapi tak ada yang protes, karena Pak Dmitri masih mengawasinya.

“Kalian, siap-siap, sebentar lagi jam sarapan!” kata Pak Dmitri.

Tak ada yang berbicara sampai Pak Dmitri meninggalkan ruangan. Tapi begitu Pak Dmitri tak tampak, Sesa mulai bertingkah. Dia meminta seorang anak, Jacob Ingorokva alias si Jaba bertukar tempat. Jaba yang merasa lebih dulu memilih tempat tentu saja enggan. Ia nyerocos dengan bahasa Rusia yang lancar. Mereka adu mulut.

Soso mulai gatal melihat kelakuan si Sesa itu, ia hampir saja bangkit untuk ikut campur, tapi Peta menarik tangannya. Soso pun mengurungkan niatnya, apalagi waktu sarapan sudah dekat, mereka sudah harus segera bersiap.

Teman seranjang si Jaba rupanya tak tahan dengan kelakuan anak baru itu. Ia turun dari ranjangnya yang di atas si Jaba dan menghardik si Sesa. Sesa yang emosi mengumpat dengan bahasa Georgia –ya tau sendiri lah, mana enak kali misuh-misuh pake bahasa asing yang bukan bahasa sendiri.

Tiba-tiba pintu terbuka, wajah sangar Pak Dmitri terlihat, “Mana anjing yang menyalak barusan?” tanyanya.

Beberapa anak langsung menudingkan tangannya ke arah Sesa. Tanpa ampun lagi, tangan kekar Pak Dmitri –Soso kadang berpikir, jangan-jangan Pak Dmitri itu bekas pegulat, soalnya badannya kekar banget—langsung menyeretnya keluar kamar. Pintu ditutup. Dan sesaat kemudian terdengar jeritan tertahan si Sesa. Anak-anak seruangan saling pandang. Soso segera mengingatkan mereka, “Jangan cari masalah, ayo ke kapel!”

Anak-anak yang semuanya berusia di bawah Soso itu tak ada yang membantah. Siapa pula mau berurusan dengan Pak Dmitri!

Setelah itu, Si Sesa masih terlihat di kapel saat ibadah pagi. Tapi saat sarapan, ia tak tampak. Tau-tau, pas masuk kelas, anak itu sudah berdiri di pojok depan kelas dengan satu kaki terlipat dan tangan kanannya melingkar ke belakang kepala memegangi telinga kirinya. Dia disetrap. Anak-anak kelas A pada berbisik-bisik, ada juga yang mesam-mesem. Tapi langsung pada diam begitu Pak Subutov masuk. Soso, si ketua kelas, segera memimpin doa. Dan pelajaran yang disukai Soso pun dimulai; sejarah.

*****

Jam istirahat, Soso sebetulnya pengen mengunjungi dua tempat, kalau nggak mampir ke rumahnya Irena, ya mampir ke toko bukunya Pak Yedid. Ke rumah Irena sudah ia lakukan untuk pamer sekolahannya, tinggal ke tempatnya Pak Yedid yang belum. Soso ingin mengabarkan pada pria Yahudi itu kalau sekarang dia sudah sekolah. Tapi ia sudah kadung janji pada teman-temannya, Seva, Peta, dan Pepa untuk mengajaknya ke jalan-jalan ke Golovinsky Prospect. Mendengar omong-omongan itu pas makan siang, beberapa orang anak yang sekamar dengan Soso pengen gabung. Jadilah selain empat sekawan itu, tiga orang lainnya ikut, mereka adalah dua anak yang tadi berseteru dengan si Sesa, yakni si Jaba, Peter Gelovani alias si Gego, dan satu orang lagi Kakhaber Kavkasidze alias si Kaka.

Tiga anak itu ternyata berasal dari daerah yang sama dengan Soso, Shida Kartli. Tapi mereka bukan berasal dari Gori, tapi dari Tskhinvali, kota kecil di utara Gori. Kalau Gori saja sudah kayak kampung, apalagi Tskhinvali. Si Gego malah lebih ndeso lagi, kampungnya di Sveri.[1] Tapi dia paling makmur diantara anak-anak itu, karena bapaknya adalah juragan sayuran.

Begitu lonceng istirahat berdentang, ratusan calon pendeta itu menghambur layaknya Laron yang keluar di musim hujan. Semuanya berpakaian jubah putih panjang, pakaian seragam mereka. Hanya para guru dan pengawas saja yang memakai podrjaznik[2] berwarna hitam. Para siswa juga punya pakaian itu, tapi hanya dikenakan pada saat-saat tertentu yang berkaitan dengan peribadatan saja. Jadi, siapapun yang berada di luar lingkungan seminari, bisa dengan mudah membedakan mana siswa dan mana yang guru. Biasanya, para guru pengawas akan mendampingi anak-anak itu. Tapi karena jumlahnya tidak sebanding, anak-anak bisa berkeliaran dengan bebas, selama tidak membuat masalah dan kembali saat waktu istirahat habis. 

Soso dan kelima temannya langsung menuju kawasan Golovinsky, pusat perniagaan elit di Tiflis saat itu.  Yah, meski umumnya mereka anak-anak orang berada, tapi karena dari kampung, tetep aja norak kalau berada di kota besar seperti Tiflis itu. Si Gego yang paling norak. Ketika mereka sudah mulai masuk kawasan Golovinsky yang kiri kanan jalannya penuh dengan bangunan indah dan pertokoan mewah, matanya terus jelalatan melihat gadis-gadis --dari yang seumuran sampai yang dewasa-- yang pada berpakaian modis, sampai dua kali kebentok tiang lampu di trotoar jalan yang sebetulnya cukup lebar itu.

“Anjir, ceweknya kok bisa cakep-cakep ya di sini…” katanya dalam bahasa Georgia. Kalau sudah di luar kayak gitu, semuanya bisa kembali ke asal, ngobrol dengan bahasa masing-masing, jadi nggak kaku kayak di lingkungan seminari.

“Ya iyalah, namanya juga cewek-cewek Rusia, nggak kayak cewek-cewek Kartli yang katrok…” kata Soso yang pura-pura ‘biasa’ karena sudah lama tinggal di Tiflis, tapi matanya sesekali juga nyasar kalau beneran ada cewek yang bening.

“Banyak ya di sini?” tanya Gego lagi.

“Banyak…” jawab Soso. “Tapi lebih cakep lagi cewek Ukraina…”

“Masak sih?” tanya si Gego lagi, “Kayak apa mereka?”

“Cewekku orang Ukraina…” jawab Soso, “Nanti kapan-kapan kukenalkan kalian…”

“Wah, kamu punya cewek di sini?” tanya Si Seva.

Soso mengangguk, “Iya lah, aku kan sudah lama di sini, masak jomblo terus…” jawabnya.

“Waah, cariin aku dong, So…” kata Seva lagi.

“Lah katanya kamu pengen jadi Uskup. Jadi Uskup nggak boleh punya istri, kalau pendeta boleh…” timpal si Peta.

“Itu kan cita-cita bapakku…” jawab Seva, “Ibuku sih pengennya aku jadi pendeta biasa aja, biar dia juga bisa nimang cucu…” lanjutnya.

“Kau sendiri mau jadi apa So?” tanya Gego.

“Aku pengen jadi sastrawan…” jawab Soso, asal. Tapi mungkin juga bener, soalnya dia memang sedang keranjingan membaca karya-karya sastra.

“Terus ngapain sekolah di seminari?” tanya Gego polos.

“Yaa karena sekolah itu yang ngasih beasiswa…” jawab Soso.

Lagi asyik-asyik ngobrol sambil jalan dan melihat-lihat suasana. Dari arah belakang mereka terdengar suara memanggil. “Wei, Goreli![3]”

Keenam anak itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Di belakang mereka tampak empat anak berpakaian sama dengan mereka, dan jelas sebagian mengenalnya; si Sesa, biang kerok kelas A, dan anak baru di kamar Soso cs itu.

Gego yang berbadan besar membalikkan badannya dan menghadang anak-anak itu. “Kamu mau apa?” tanyanya.

“Jangan pikir urusan kita sudah selesai ya!” kata si Sesa. Rupanya, anak itu masih dendam dengan kejadian kemarin yang menyebabkannya diberi hukuman di kelas.

“Terus maumu apa?” tanya Gego lagi. Anak itu tadinya terlihat sangat kocak. Tapi di depan si Sesa dan empat temannya, ia mendadak begitu garang.

Sesa tidak menjawab dengan mulut, tapi menjawabnya dengan sebuah tinju yang melayang ke arah wajah Gego. Gerakannya gesit, tampaknya dia belajar bela diri. Mungkin karena bapaknya polisi juga. Tapi di luar dugaan, tangan Gego nggak kalah gesit. Ia menangkap pergelangan tangan Sesa dan memelintirnya, lalu mendorongnya. Sesa terjengkang. Melihat temannya tersungkur, tiga orang kawan si Sesa langsung menyerbu Gego dan mengeroyoknya.

Seva, Peta, Jaba, dan Kaka terpancing. Mereka ikutan menyerbu untuk membantu Gego yang dikeroyok. Sementara Pepa yang anak pendeta itu tampak lebih tenang, ia melirik pada Soso yang masih berdiri di sampingnya. Soso sendiri sudah gatal, tapi ia ingat dengan ancaman hukuman di seminari. Ia masih anak baru, nggak mau cari perkara.

“So, gimana nih?” tanya Pepa.

“Ayo pisahin…” jawab Soso.

Dua anak itu bergegas mendekati perkelahian empat lawan empat itu, tepat di pinggir jalan yang ramai. Orang-orang mulai tertarik memperhatikan. Apalagi dengan seragam putih mereka yang mencolok.

Peta mencoba menyelamatkan Jaba yang berbadan kecil, yang jadi bulan-bulanan seorang anak yang badannya lebih besar. Sementara Soso mencoba memisahkan si Seva yang sedang bergumul di tanah. Belum juga memisahkan si Seva, Soso melihat si Pepa dihajar anak yang tadinya melawan si Jaba. Apesnya, si Pepa tersandung trotoar dan kepalanya menghantam tiang lampu jalan. Habis itu, anak yang menghajarnya masih saja menyerbunya, padahal si Pepa sudah tergeletak. Soso batal menolong si Seva, dan berniat menyelamatkan si Pepa. Ia mencoba menarik badan anak yang menghajar si Pepa, tapi kalah tenaga. Giliran anak itu berbalik dan menjotoskan tinjunya dan mendarat mulus di muka Soso.

Apa boleh buat, emosi Soso pun naik ke ubun-ubun. Sifat berandalannya yang sudah dipendam lebih setahun muncul lagi. Ia pun balas menyerang anak itu. Pergumulan pun terjadi…

*****

Sebelas anak itu berdiri berjejer di pojok lapangan di tengah asrama. Soso, Peta, Seva, Pepa, Jaba, Gego, Kaka, bersama dengan si Sesa dan tiga kawannya. Pakaian putih mereka sudah tak kinclong lagi, penuh dengan debu, bahkan ada yang sobek. Pakaian si Pepa malah lebih parah karena ketetesan darah dari kepalanya yang sudah diperban.

Di depan mereka, berdiri dua orang yang sudah mereka kenal, Abram Germogen alias Inspektur Germogen, kepala pengawas asrama, bersama dengan Pak Dmitri, anak buahnya yang kemarin menghukum si Sesa. Pak Dmitri memegangi cemeti dari lilitan akar yang tampak sangat lentur. Sementara Inspektur Germogen hanya mondar-mandir. Lalu tak lama kemudian meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun.

Masing-masing anak sudah mendapatkan jatah pecutan dari Pak Dmitri. Hadiah itu diberikan setiap kali Pak Dmitri mengajukan pertanyaan, “Jadi siapa yang mulai?” dan anak yang ditanya, kalau ia rombongan Soso, akan menunjuk si Sesa, sementara rombongan si Sesa akan menunjuk si Gego.

Soso sudah tiga kali menjawab dan tiga kali dapat hadiah. Pedes juga punggungnya disamber cemeti itu. Pas giliran Pak Dmitri mendatanginya lagi dan bertanya yang sama, Soso mengganti jawabannya, “Saya, Romo!”

“Bagus!” lepaskan pakaianmu. Kata Pak Dmitri. Soso sudah kebat-kebit, duh, dihajar cemeti pake baju aja sudah pedes, apalagi nggak pake baju. Tapi ia terpaksa melepaskan seragamnya, tinggalah dia memakai daleman dari linen yang sudah kusam dan celana pendek selutut. “Mundur!” kata Pak Dmitri lagi.

Loh… kirain mau dihajar. Pak Dmitri malah bergeser pada si Peta lalu mengulangi pertanyaan yang sama. Karena melihat Soso nggak dihajar dengan jawaban “Saya, Romo!” si Peta pun ikutan. Hasilnya sama, disuruh melepaskan seragam dan mundur. Akhirnya semua pada ikutan nyontek jawaban Soso. Begitu juga dengan rombongan si Sesa. Beneran nggak ada yang dihajar lagi. Mereka malah suruh berbaris memanjang. Soso di depan, diikuti yang lain. Mereka disuruh mengikuti Pak Dmitri meninggalkan lapangan. Pak Dmitri memberi kode pada seorang pengawas lainnya, dan bergegas mengikuti mereka ke bagian belakang gedung, masuk melalui lorong kecil, menurun, dan sampailah mereka di lantai di bawah lantai dasar.

Rupanya, di deretan bangunan paling belakang itu tak berlantai empat, melainkan ada lima lantai. Satu lantai lagi berada di bawah lantai dasar. Maklum, tanah di Tiflis memang tidak rata, jadi mungkin bangunan itu mengikuti kontur tanah yang ada. Anak-anak itu dibawa memasuki lorong yang gelap, banyak pintu di kiri dan kanan mereka. Jelas bukan ruang kelas, atau kamar.

Pengawas yang menemani Pak Dmitri membawa lampu minyak dan berjalan di depan Soso. Ia lalu berhenti di depan sebuah pintu kecil, mengambil seikat kunci, dan membuka pintu itu. “Kau, masuk!” katanya pada Soso yang berjalan paling depan.

Soso mulai paham. Ia menghela nafas dan memasuki ruangan gelap itu. Pengawas tadi menutup pintu dan menuncinya lagi.

*****

BERSAMBUNG: (14) Dalam Tembok Derita

Catatan:

[1] Tshkinvali dan Sveri secara de jure merupakan bagian dari Republik Georgia sekarang, masuk dalam provinsi Shida-Kharli, tetapi diklaim sebagai bagian dari Osetia Selatan yang ingin memisahkan dari dari Georgia dan bergabung dengan Osetia (utara) yang masuk dalam wilayah Rusia.

[2] Jubah dalam (cassock), pakaian umum semua pendeta dalam lingkungan Gereja Orthodoks Rusia, berwarna hitam, panjangnya sampai pergelangan kaki dengan kerah tinggi berkancing di tengah.

[3] Orang-orang Gori

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun