Aku pun tak mau kalah. Kuberikan harga yang lebih murah untuk warungku. Kuikuti perkembangan terkini dalam dunia per'es teh'an. Dari warung yang menjual es plastik mulai beralih cup jumbo dengan stiker cantik.
"Ada untungnya punya saingan, warungku jadi tambah modern," kataku bangga.Â
Hari pertama tetanggaku buka, langsung diserbu anak sekolah. Warungku, tentu berkurang banyak pembeli. Jiwa Sengkuniku geram. Aku mulai menambah jumlah jualanku. Meskipun modalku mepet dan anak-anakku harus dikurangi uang jajannya. Sehari dua hari bahkan sebulan, nihil. Warung tetanggaku malah tambah ramai. Modal untuk krecekku carut marut. Aku berhutang.
"Aku lelah. Aku tak bisa menurutimu Sengkuni. Kau punya harta dan kuasa saja masih bisa kalah, apalagi aku yang tak sekuat dirimu."
Aku hanya duduk diam, memaksimalkan senyumku dalam meladeni pelanggan kecilku. Kuhela nafas dan berusaha menyemangati diriku sendiri kala melihat warung tetangga makin ramai.
Hatiku awalnya hanya menyemangati, panjang dan lama hingga menjadi sebuah ceramah kehidupan.
"Lihatlah, kau ini sebenarnya cuma bekerja serabutan. Tapi masih makan kenyang. Anak-anakmu semua sekolah dan bisa jajan. Tidak hanya itu, lihat lauk yang kalian makan. Ada telur dan ayam, bukan sejumput garam. Orang tuamu menerima kalian dengan sayang. Tak pernah perhitungan bahkan tak menuntut kau gunakan ijazah apoteker mahalmu untuk keuntungan. Bagaimana beban pikiran mereka, apa kau pernah membayangkan? Anak yang disekolahkan hingga sarjana hanya menjadi pedagang warung. Cihh. Tapi mereka tak mengeluh kau jadi apa. Tak mengeluh apa yang dulu sudah mereka modalkan untuk menjadikanmu sarjana. Sengkuni hanya menginginkan kekuasaan, tapi kau, kau ingin sekaya Nabi Sulaiman."
***
"Ada yang aneh," kata anak sulungku kepada neneknya.
"Apa?"
"Lihat. Bunda sampai mengepel dinding dan pintu. Semua keset juga sudah dicuci."