Mohon tunggu...
Alienda Maulidiantie
Alienda Maulidiantie Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Universitas 17 Agustus yang masih menempuh pendidikan jurusan ilmu hukum

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tanggapan Kritis Terhadap UU Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia

24 April 2025   16:05 Diperbarui: 24 April 2025   16:16 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tanggapan Kritis Terhadap UU NoMOR 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia

 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 merupakan bentuk revisi atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Perubahan ini didasari oleh kebutuhan untuk menghadapi dinamika baru dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional, termasuk ancaman non-konvensional seperti terorisme, perang siber, dan konflik hibrida. Namun demikian, perubahan ini juga menimbulkan sejumlah kritik yang penting untuk dikaji secara hukum dan demokratis.

Penguatan Legalitas TNI dalam Sistem

Pertahanan Nasional Revisi ini mempertegas bahwa TNI berada di bawah Presiden dan dalam koordinasi strategis Kementerian Pertahanan. Hal ini secara teoritik sesuai dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi. Penegasan ini penting untuk memastikan bahwa TNI tidak bertindak di luar kontrol.

Hal ini amat sangat berdampak pada sistem checks and balance dari 3 lembaga pemerintahan di Indonesia yakni lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudisial. Berikut merupakan penjelasan dampak perubahan undang-undang tersebut:

1. Kelebihan Kekuasaan Eksekutif dan Potensi Penguatan Militerisme

Salah satu sorotan utama dari UU ini adalah posisi TNI yang secara eksplisit berada di bawah Presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer (Pasal 3 ayat 1). Dalam konteks lembaga eksekutif, hal ini memperkuat peran presiden sebagai panglima tertinggi. Namun, jika tidak dibarengi dengan mekanisme pengawasan yang kuat, hal ini berisiko membuka celah otoritarianisme dan dominasi kekuasaan eksekutif terhadap kebijakan militer.

Apalagi dalam pasal-pasal lain, Presiden juga memiliki kewenangan luas dalam memutuskan pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) -- termasuk operasi di dalam negeri seperti penanganan separatisme, konflik sosial, bahkan siber. Ini dapat mengaburkan batas antara fungsi sipil dan militer, serta menimbulkan kekhawatiran akan militerisasi fungsi-fungsi sipil yang seharusnya menjadi ranah Polri atau instansi sipil lainnya.

2. Minimnya Kekuatan Pengawasan Legislatif

Undang-undang ini memang menyebut bahwa pemerintah akan menginformasikan DPR tentang rencana operasi non-perang (Penjelasan Pasal 7 ayat 2), tetapi tidak memberikan wewenang formal bagi DPR sebagai lembaga legislatif untuk menyetujui atau menolak pengerahan kekuatan TNI. Fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan oleh DPR menjadi hanya bersifat simbolis dan informatif, bukan deliberatif dan kontrol substantif.

Ini sangat berisiko dalam konteks demokrasi, karena salah satu peran utama DPR adalah melakukan checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif. Ketika pengerahan kekuatan militer dalam urusan sipil tidak memerlukan persetujuan DPR, maka prinsip akuntabilitas menjadi lemah, dan DPR kehilangan sebagian fungsi pengawasannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun