2. Plato: Pendidikan sebagai Jalan Menjadi Filsuf-Raja
Plato (427--347 SM), murid langsung Socrates, memperluas dan membakukan gagasan pendidikan dalam kerangka sistem yang utuh. Ia memandang pendidikan sebagai tahapan berjenjang panjang. Menurutnya, pendidikan dasar berlangsung hingga usia 18 tahun, dilanjutkan pendidikan menengah sampai usia 30 tahun, dan hanya mereka yang terus belajar setelah usia 30 yang dapat menjadi filsuf-raja yaitu manusia yang berpendidikan utuh.
3. Aristoteles: Pendidikan sebagai Pembentuk Kebiasaan Menuju Kebajikan
Aristoteles (384--322 SM), murid Plato, membawa pemikiran pendidikan ke arah yang lebih praktis dan seimbang. Ia meyakini bahwa pendidikan harus menciptakan kebiasaan baik (ethos) untuk membentuk manusia ideal. Tujuan akhirnya adalah mencapai Eudaimonia---kebahagiaan sejati yang lahir dari hidup yang bermakna dan bermoral.
Pendidikan menurut Aristoteles adalah proses menanamkan kebiasaan untuk membentuk karakter. Ia menekankan keseimbangan antara teori dan praktik. Pemikirannya inilah yang banyak memengaruhi filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan konsep jalmo utama---manusia berbudi luhur dan berguna bagi masyarakat.
4. Konghucu (Confucius): Pendidikan sebagai Jalan Harmoni Sosial dan Moralitas
Konghucu (551--479 SM), seorang filsuf dari Tiongkok, meletakkan pendidikan sebagai sarana membentuk moralitas dan ketertiban sosial. Ia menekankan nilai-nilai Ren (kemanusiaan), Li (tata krama), dan Xiao (kesetiaan keluarga).
Bagi Konghucu, pendidikan harus mendidik individu agar menjadi bagian dari masyarakat yang adil dan harmonis. Nilai-nilai ini hingga kini masih dipegang di negara-negara seperti Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam. Ia tidak hanya mengajarkan moral personal, tapi juga tanggung jawab sosial sebagai wujud keharmonisan kolektif.
5. Laozi: Pendidikan Alami dalam Keseimbangan Alam
Laozi (abad ke-6 SM) membawa pandangan yang unik melalui filosofi Taoisme. Menurutnya, pendidikan tidak seharusnya memaksakan pengetahuan, tetapi membiarkan kebijaksanaan tumbuh secara alami selaras dengan jalan alam (Dao).
Gagasan ini menentang pendekatan pendidikan yang kaku dan menekan. Ia menekankan pendidikan sebagai pengalaman hidup, bukan sekadar hafalan atau dogma. Konsep ini kini muncul dalam pendekatan pembelajaran reflektif, pembelajaran berbasis alam, dan pengembangan mindfulness di sekolah-sekolah modern.
6. Pythagoras: Pendidikan sebagai Harmoni Jiwa melalui Ilmu dan Musik
Pythagoras (570--495 SM) dikenal luas karena rumus segitiganya, tetapi kontribusinya dalam pendidikan jauh lebih dalam. Ia melihat pendidikan sebagai jalan mencapai harmoni---baik secara kosmis maupun personal.
Pythagoras mengajarkan bahwa melalui matematika dan musik, jiwa dapat diseimbangkan dan dikembangkan. Baginya, ilmu dan seni adalah dua sisi yang tak terpisahkan dari pendidikan manusia seutuhnya. Konsep ini relevan dalam era STEAM education (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics) yang mengintegrasikan sains dan seni dalam pembentukan kepribadian peserta didik.
7. Isocrates: Pendidikan Retorika untuk Warga Negara Aktif dan Bijak
Isocrates (436--338 SM) membawa pendekatan berbeda dalam pendidikan, yaitu melalui retorika. Ia percaya bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk individu yang mampu berpikir, berbicara, dan bertindak secara bijak dalam ruang publik.
Dalam pandangannya, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga keterampilan berkomunikasi dan mengambil keputusan. Filosofi ini menjadi dasar penting dalam pembelajaran public speaking, leadership, dan civic education. Di kalangan santri, pelatihan muhadharah mencerminkan semangat Isocrates dalam menyiapkan generasi pemimpin yang fasih dan bijak.
8. Buddha Gautama:Â Pendidikan untuk Kebijaksanaan dan Pembebasan Diri
Siddharta Gautama (563--483 SM), atau Buddha, memandang pendidikan sebagai sarana mencapai pencerahan dan membebaskan diri dari penderitaan. Bukan sekadar akumulasi pengetahuan, pendidikan menurut Buddha harus membentuk kesadaran, karakter, dan empati.
Ia mengajarkan bahwa proses belajar harus membawa individu menuju kehidupan yang lebih bermakna dan penuh welas asih. Dalam konteks pendidikan modern, gagasan ini berkaitan erat dengan pendidikan holistik, emotional intelligence, dan pendidikan berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal.
Membuka Diri untuk Lompatan Transformasi
Sering kali, ketika kita membicarakan tokoh pendidikan dari latar agama atau budaya yang berbeda, muncul resistensi. Mungkin terasa asing atau bertentangan dengan keyakinan kita. Namun, bila kita menutup diri dari khazanah pengetahuan lintas peradaban, maka transformasi revolusioner yang kita cita-citakan tak akan pernah sampai pada kedalaman makna yang hakiki.
Maka, penting untuk menanamkan sikap terbuka---bahwa belajar dari siapa pun bukan berarti menggadaikan iman, melainkan memperkaya daya nalar dan strategi pendidikan kita. Inilah modal awal untuk merancang pendidikan Indonesia yang unggul, inklusif, dan berpijak kuat pada nilai-nilai universal maupun wahyu Ilahi.
Epilog: Menuju Revolusi Pendidikan yang Berakar dan Berorientasi Masa Depan
Dzikir Jum'at ini bukan hanya refleksi spiritual, tapi juga pengingat intelektual. Bahwa pendidikan sejati adalah ibadah yang tak berhenti. Dalam lintasan para filosof dari Sokrates hingga Buddha Gautama, kita menemukan mozaik inspirasi: keberanian berpikir, keikhlasan mendidik, dan kedalaman membangun manusia.
Kini, saatnya kita menyambung warisan-warisan itu dengan risalah Islam, menyelaraskannya dalam konteks Indonesia yang lebih arif dan bijaksana. Bila generasi muda Indonesia dididik dengan semangat maieutika Socrates, hikmah Laozi, retorika Isocrates, dan adab Konghucu, maka lahirlah bangsa besar yang tak hanya cerdas, tapi juga luhur.
Mari kita teguhkan langkah, karena mendidik bukan sekadar mencerdaskan, tapi menyusun peradaban.
Ali aminulloh
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI